Pada 1 Ramadhan 1435 Hijriah (29 Juni 2014) kelompok militan Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) mendeklarasikan “negara” Khilafah. Ini berarti datangnya Ramadhan kali ini genap 2 tahun usia Khilafah yang ISIS dirikan.
Ketika itu ISIS mantap mendeklarasikan Khilafah setelah militan ini berhasil merebut tiga kota penting di wilayah utara Irak, yakni Mosul, Tikrit, dan Tal Afar hanya dalam waktu satu pekan.
Deklarasi Khilafah yang diklaim ISIS diumumkan oleh juru bicara ISIS Abu Muhammad Al- Adnani dengan pidato berjudul Hadza Wa’dullah (Ini adalah Janji Allah). Pesan audio ini disebarkan oleh Al-Furqan di internet yang dikenal sebagai corong media ISIS. Dalam kesempatan itu pula ISIS mengumumkan Abu Bakar Al-Baghdadi sebagai Khalifah (pemimpin Khilafah) yang menaungi seluruh umat Islam di dunia.
Jika kita melihat ke belakang, sejatinya deklarasi tersebut merupakan deklarasi ketiga yang dilakukan oleh kelompok yang sama. Dimulai dari deklarasi Negara Islam Irak (ISI) pada tahun 2006 yang sebagian besar tokoh jihadis mendukungnya (termasuk cabang Al Qaidah Irak). Kemudian diikuti dengan deklarasi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) pada tahun 2013, yang mendapat penentangan dari beberapa tokoh jihadis. Terakhir adalah deklarasi Negara Khilafah (Islamic State), yang bertujuan menaungi seluruh umat Islam di dunia dalam satu negara.
Ketika ISIS mendeklarasikan Khilafah, isu Khilafah kembali hangat diperbincangkan. Menyikapi Khilafah ISIS, penolakan umat Islam setidaknya terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah kalangan yang menolak keabsahan Khilafah ISIS karena dianggap tidak memenuhi syarat-syarat sah kekhilafahan. Mereka adalah para jihadis dan kelompok Islamis yang memiliki impian serupa: berdirinya negara Khilafah.
Kelompok kedua adalah kalangan yang berpendirian bahwa sistem Khilafah sudah tidak memiliki relevansi diterapkan pada masa kini. Kalangan ini justru adalah mayoritas umat Islam di dunia.
Terlepas dari penolakan umat Islam di dunia, rupanya ISIS tidak terlalu ambil pusing dengan semua itu. ISIS selalu menghipnotis pengikutnya dengan jargon Daulah Khilafah Baqiyah wa Tatamaddad! Yang artinya “Negara Khilafah akan tetap ada dan ekspansif!”.
Dalam capaiannya mempertahankan kekhilafahan selama 2 tahun, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi. Yaitu, meski kekhilafahan ini sudah berjalan dua tahun, ternyata sama sekali tak mengubah pendirian kelompok-kelompok jihad berpengaruh untuk bergabung di bawah Khilafah ISIS. Satu-satunya kelompok militan kenamaan yang sudi bergabung hanya Boko Haram dari Nigeria pada tahun 2015.
Kedua, jika lebih diteliti lebih mendalam, perdebatan tema Khilafah yang terjadi pada mayoritas umat Islam saat ini bukan terletak pada legitimasi Khilafah yang telah ISIS dirikan itu, namun lebih kepada relevansi ide kekhilafahan jika diterapkan pada masa sekarang.
Khilafah versi mana pun (ISIS, Al-Qaidah atau Hizbut Tahrir) tak ada bedanya. Semuanya diskriminatif, seperti penolakan mereka terhadap peran non-Muslim dalam bernegara, memandang non-Muslim sebagai masyarakat kelas dua di negara Khilafah.
Dalam negara Khilafah, yang berhak membuat undang-undang hanya Khalifah. Hal ini berangkat dari sebuah asumsi bahwa Khalifah adalah wakil Tuhan. Jika logika ini diteruskan, maka suara Khalifah adalah suara Tuhan, pegawainya pegawai Tuhan, gajinya gaji Tuhan dan seterusnya. Karena wakil Tuhan, ia tak boleh dikritik dan diturunkan.
Mayoritas umat Islam tak mau ambil pusing dengan perdebatan sah atau tidaknya Khilafah yang didirikan ISIS. “Prestasi” ISIS menegakkan dan mempertahankan Khilafah selama 2 tahun justru membuat umat Islam semakin percaya diri. Singkatnya, umat Islam memandang Khilafah bukan sistem pemerintahan yang ideal untuk kaum Muslim (terlebih bagi non-Muslim), bahkan ancaman bagi kerukunan dan perdamaian.