Kamis, April 25, 2024

Radikalisme: PR Besar Keislaman-Keindonesiaan

Yanto Mushtofa
Yanto Mushtofa
Alumni Fakultas Tarbiyah, Jurusan Tadris Bahasa Inggris, Universitas Islam Syarif Hidyatullah Jakarta. Pemimpin Redaksi Majalah "Media Panduan Sentra", Ketua Yayasan Insan Nahlah Semesta Bogor.

 

Tragedi teror di kawasan Sarinah, Jakarta Pusat, Kamis (14/1). (Andrey Gromico/The Geotimes)
Aksi teror di kawasan Sarinah, Jakarta Pusat, Kamis (14/1). (Andrey Gromico/The Geotimes)

Telah berulang-ulang tragedi yang bersumber dari radikalisme berbasis ideologi mendera bangsa Indonesia, dari yang berskala letupan kecil sampai pada ledakan pemberontakan berdarah-darah. Tentu potensi letupan dan ledakan itu bukan tidak disadari oleh para Pendiri Bangsa, yang pada diri sendiri mereka telah melekat pengalaman panjang berinteraksi, berdiskusi, berdebat, dan berkompromi lintas golongan-budaya-agama untuk sampai pada perumusan satu Indonesia.

Mereka tumbuh dan dibentuk oleh pengalaman panjang kebersamaan ber-Indonesia. Namun, faktanya, letupan dan konflik berdarah seakan tak mau berkesudahan. Yang paling mutakhir, serangan bom di kawasan Thamrin, Jakarta, beberapa hari lalu.

Bermacam-macam cara dan resep untuk meredamnya telah dicoba, dari yang bergaya iklan dan kampanye sampai yang berwujud indoktrinasi dan represi. Pada dekade 1980-an, berjuta-juta anak sekolah, mahasiswa, guru, dan pegawai negeri pada umumnya diwajibkan mengikuti Penataran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) sebagai bagian dari ikhtiar merawat dan melestarikan jati diri Indonesia.

Dulu, ada matapelajaran “Civic” di sekolah, kemudian diperbarui menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP), dan kemudian berubah menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).

Memang belum ada hasil penelitian yang bisa memberi gambaran seberapa efektif langkah-langkah afirmasi melaui jalur pendidikan itu dalam membentuk kualitas bangsa Indonesia. Bisa dipastikan setiap anak yang lulus sekolah mencapai angka “positif” pada lembar hasil Ujian Negara-nya. Sebab, kalau tidak, mereka tidak lulus sekolah.

Anak-anak sekolah juga secara sah beroleh tanda sebagai manusia Pancasila karena telah lulus dan mengantongi sertifikat Penataran P-4. Namun, sampai kini bangsa Indonesia masih meratapi kegagalan tampil sebagai bangsa Bermartabat Indonesia yang dikagumi bangsa-bangsa lain, bangsa Bermoral-Pancasila, Bangsa Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Ironis. Tapi, di manakah sesungguhnya sumber kegagalan itu?

Kembali kepada masalah tragedi radikalisme berbasis ideologi, patut diajukan pertanyaan mendasar mengapa letupan dan ledakan itu selalu punya jalan untuk terjadi? Jangan-jangan bangsa ini sejatinya belum tuntas merumuskan ke-Indonesiaan yang tidak semata-mata mendatangkan kepatuhan, tetapi juga kerelaan penuh kesadaran serta kenyamanan bagi setiap unsur dan warna yang tumbuh di dalamnya. Saya mencoba mengurai pertanyaan tersebut dari perspektif seorang warga muslim Indonesia.

Secara garis besar, Indonesia sampai kini mempertahankan dualisme jalur pendidikan, yakni sekolah-sekolah di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan sekolah-sekolah di bawah naungan Kementerian Agama. Saya tidak berpretensi memperdebatkan pilihan tersebut, akan tetapi menerimanya sebagai fakta dengan latar belakang sosio-historis yang panjang.

Secara formal, kedua jalur pendidikan itu memang tidak ada masalah dengan ke-Indonesiaan. Sekolah-sekolah keagamaan, baik berupa madrasah atau pesantren, bisa tetap hidup dan tumbuh tentu karena tetap menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. Jika didalami, muncul pertanyaan lanjutan apa sesungguhnya yang diisikan dan bagaimana cara mengisikannya dalam hal menanamkan pemahaman dan kesadaran tentang keislaman dan keindonesiaan?

Pertanyaan ini krusial karena letupan dan teror bom seperti yang terjadi di kawasan Sarinah, Jakarta, adalah bukti tak terbantahkan adanya kekosongan itu. Sebab, hanya dalam keadaan kosonglah doktrin transnasional bisa terisikan, tumbuh, dan berbiak. Ada tempat terbuka yang menunggu diisi, dan karena yang datang mengisi adalah doktrin dari dunia antah-berantah, maka jangan harap kesadaran tentang keislaman dan keindonesiaan yang padu tumbuh dengan sendirinya. Seperti pepatah China, menanam padi bisa tumbuh rumput, tapi menanam rumput tak mungkin bisa panen padi.

Pertanyaan-pertanyaan di atas membawa konsekuensi logis perlunya kerja besar merumuskan keislaman dan keindonesiaan secara sistematis, menyeluruh, dan terperinci, khususnya di lingkungan pendidikan. Jelas bahwa sumber utama masalahnya bukan resistensi (jika ada) kelompok atau golongan penyelenggara sekolah, akan tetapi lebih pada ketiadaan konsep yang komprehensif dan operasional.

Organisasi seperti Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah dengan jaringan sekolah dan pesantren terbesar di Indonesia tentu memiliki sumberdaya melimpah untuk diharapkan sumbangsihnya. Dengan konsep yang komprehensif dan operasional sesuai tahap dan jenjang sekolah, kelak seyogyanya setiap muslim lulusan SMA/Madrasah Aliyah atau yang sederajat sudah memiliki basis kesadaran yang kokoh tentang peran hidupnya sebagai seorang muslim dan sekaligus warga negara Indonesia. Ia tidak ragu dan tak goyah oleh pemikiran-pemikiran yang dibacanya, didengarnya, atau yang diperkenalkan kepadanya, apalagi pemikiran-pemikiran yang dapat membahayakan hidupnya.

Bagaimana kesadaran seperti itu bisa tumbuh kokoh? Tak ada cara lain selain membangunnya sejak pendidikan usia dini, terus berlanjut secara sistematis, terukur tahap demi-tahap sesuai jenjang sekolah. Konsep itu harus mencakup sistem isi, sistem cara (metode), dan sistem asesmen serta evaluasi yang kompak dan padu.

Terkait dengan pengembangan konsep tersebut, praktik di sekolah-sekolah yang menerapkan model pembelajaran Metode Sentra dapat memberi gambaran bagaimana keterpaduan sistem dan sub-sistem memungkinkan anak membangun keterpaduan pengetahuan dan sikap hidup.

Prinsip-prinsip model tersebut sebetulnya sudah diadopsi dalam Kurikulum 2013. Hanya saja, Kurikulum 2013 masih lebih menitik-beratkan hasil ketimbang proses (result-heavy), terutama dengan dominannya faktor KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) dan orientasi kepada hasil Ujian Akhir. Sedangkan Metode Sentra lebih menitik-beratkan pada proses pembelajaran setiap anak sebagai pengalaman individual yang harus dihargai.

Di sekolah-sekolah ber-Metode Sentra, setiap guru–selain menjalankan tugas pokok dan fungsi hariannya sebagai pendidik—adalah pelaku aktif dalam mengembangkan konten kurikulum. Tema-tema belajar yang telah ditetapkan pemerintah disusun dan dikembangkan isinya sesuai dengan konteks dan kebutuhan lokal sekolah. Mereka menyusun apa yang dinamakan Materi Tema dengan cakupan Terms, Facts and Principles (Pokok-pokok pengertian, Fakta-fakta, dan Prinsip-prinsip). Semua guru terlibat berkolaborasi untuk menghasilkan item-item Materi Tema yang terklasifikasi dan sistematis.

Sistematika materi memungkinkan guru mengalirkan pembiasaan berpikir kritis, logis, terstruktur, dan terklasifikasi pada peserta didik sejak usia dini. Tema yang sama, seperti Negaraku, bisa disajikan berulang setiap tahun, namun anak akan selalu menemukan hal-hal baru yang terbangun menjadi konsep dalam pikirannya sesuai dengan daya serap dan tahapan-tahapan usianya.

Dari Materi Tema “bersama” itu, masing-masing guru menerjemahkannya dalam rencana pembelajaran (lesson plan) harian, mingguan, dan bulanan, tentu saja termasuk di dalamnya perlengkapan, alat, dan cara mengalirkan materi dalam suasana belajar yang membahagiakan.

Maka, bisa dibayangkan, dengan model seperti itu, seorang anak muslim lulusan SD/Madrasah Ibtidaiyah bisa menjelaskan dengan determinasi tinggi, isi terstruktur, dan detail yang kaya, bila ditanya “Apa yang bisa kamu jelaskan tentang Indonesia?” Anak yang memiliki pilihan-pilihan kehidupan yang sangat kaya dalam menjadi muslim dan warga negara Indonesia, tentu tak akan pernah sudi membinasakan diri menjadi telur busuk peradaban.

Yanto Mushtofa
Yanto Mushtofa
Alumni Fakultas Tarbiyah, Jurusan Tadris Bahasa Inggris, Universitas Islam Syarif Hidyatullah Jakarta. Pemimpin Redaksi Majalah "Media Panduan Sentra", Ketua Yayasan Insan Nahlah Semesta Bogor.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.