Jumat, Maret 29, 2024

Radikalisme, Makhluk Apakah Itu?

Mun'im Sirry
Mun'im Sirry
Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA, Owner KEPITING++. Beberapa karyanya: "Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal" (Suka Press, 2018), "Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis atas Kritik Al-Quran terhadap Agama Lain" (Gramedia, 2013), "Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis" (Mizan, 2015), dan "Scriptural Polemics: The Qur’an and Other Religions" (Oxford University Press, 2014).

Belakangan istilah “radikalisme” menjadi buzzword yang begitu populer. Sejumlah kementerian dalam kabinet Presiden Joko Widodo periode kedua diberi mandat khusus menangkal radikalisme agama. Kabar teranyar, Presiden Jokowi mengusulkan istilah “radikalisme” diganti dengan “manipulator agama”. Apa yang sesungguhnya terjadi?

Literatur tentang radikalisme sebenarnya sangat luas, walaupun di Indonesia istilah tersebut belum menjadi perdebatan kesarjanaan yang memadai. Akibatnya, radikalisme dikaitkan dengan hal-hal problematik. Misalnya, ujung dari proses radikalisasi ialah kekerasan atau terorisme. Pemahaman semacam ini berimplikasi pada strategi deradikalisasi, yakni program rehabilitasi untuk mengubah pemahaman keagamaan radikal.

Kekeliruan premis di atas berawal dari kebingungan epistemik: Kok, bisa orang yang tampak taat beragama melakukan aksi kekerasan dan terorisme, meledakkan dirinya demi membunuh orang lain? Bagaimana mungkin agama digunakan untuk membenarkan tindakan tidak manusiawi tersebut? Pastilah ada yang salah dalam cara mereka beragama sehingga mereka lebih tepat disebut “manipulator agama.”

Banyak hal bisa didiskusikan dari kesalahan premis di atas. Tulisan ini hanya akan menyorot keterkaitan antara radikalisme dan kekerasan terorisme. Jika ada kesempatan akan dilanjutkan dengan tulisan lain untuk memetakan rute menuju radikalisme, yang sebenarnya tidak sesederhana yang kita duga.

Radikalisme dan Terorisme

Literatur mutakhir mulai mempertanyakan keterkaitan radikalisme dengan terorisme. Sebab, tidak semua Muslim radikal melakukan tindakan terorisme, dan tidak semua kaum teroris melakukan aksinya atas dasar pemahaman keagamaan radikal. 

Tentu perlu ada kejelasan kapan seseorang bisa dikatakan radikal. Pemahaman keagamaan apa saja yang dikategorikan radikal? Beberapa kasus mungkin bisa disepakati. Misalnya, ide mendirikan negara Islam atau mengganti Pancasila dengan khilafah; sikap intoleran terhadap agama atau kelompok lain, termasuk penolakan kepemimpinan non-Muslim. Dalam spektrum yang lebih luas, mungkin, bisa disebutkan dukungan atau sikap simpatik terhadap kelompok radikal-teroris, seperti ISIS atau kelompok-kelompok jihadis lain. 

Jika contoh di atas bisa disepakati sebagai bentuk radikalisme, maka tak sulit untuk mematahkan argumen keterkaitan antara radikalisme dan terorisme. Secara statistik, dalam banyak survei disebutkan, dukungan pada ide mendirikan negara Islam atau khilafah dan/atau penolakan terhadap kepemimpinan non-Muslim cukup tinggi, namun tidak otomatis termanifestasi dalam aksi terorisme.

Hasil temuan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada 2005 dan 2018 memperlihatkan dukungan pada khilafah mengalami peningkatan signifikan, yakni dari 4,6 persen menjadi 13,2 persen. Tahun sebelumnya, LSI menemukan penolakan terhadap non-Muslim menjadi pemimpin juga meningkat. Yakni, 49 persen yang meningkat dari 32,4 persen pada 2010.

Penelitian kami terhadap anak muda terpelajar yang dikomandani Prof. Bagong Suyanto dari Universitas Airlangga, Surabaya, juga menunjukkan tingginya dukungan pada khilafah dan penolakan terhadap kemimpinan non-Muslim. Penelitian yang dilakukan pada 12 SMA di Jawa Timur dan 7 universitas yang ditengarai terpapar paham radikal ini juga menemukan penolakan terhadap penggunaan kekerasan atau aksi teror untuk mewujukan ide-ide radikal mereka.

Temuan ini sejalan dengan fenomena global yang diungkap oleh lembaga penelitian dunia, seperti Pew Research Center dan Gallup. Kedua think-tank ini menemukan puluhan juta kaum Muslim bersimpati pada “aspirasi jihadis”, tapi mereka tidak terlibat dalam kekerasan. Sebaliknya, sebagian besar kaum teroris bukanlah ideolog doktrin ekstremis. Beberapa individu teroris yang ditangkap ternyata tidak memiliki pengetahuan mendalam tentang ideologi radikal. 

Paham Keagamaan Radikal

Beberapa temuan penelitian di atas diketengahkan bukan untuk mendorong supaya pemerintah tidak melakukan tindakan apa pun untuk menangkal radikalisme. Namun demikian, program deradikalisasi yang dikembangkan pemerintahan Jokowi perlu dilandasi pemahaman tentang radikalisme secara memadai.

Dalam tulisannya, Siapa Kelompok Radikal Islam Itu?, Prof. Nadirsyah Hosen memetakan tiga kelompok radikal, yakni kaum takfiri, kelompok jihadis dan kalangan yang hendak mendirikan negara khilafah. Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia – New Zealand ini menekankan, “Jika mereka masih berada pada tahap radikal dalam keyakinan, maka harus dilakukan wacana tandingan.”

Seruan Prof. Hosen perlu digaribawahi karena beberapa alasan. Pertama, penyebaran ideologi radikal cenderung menyasar kampus-kampus umum, yang tidak mengajarkan materi agama. Tujuh universitas negeri yang diidentifikasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), semuanya adalah kampus umum. (Dalam kaitan ini, banyak kalangan mempertanyakan wisdom Presiden Jokowi menunjuk purnawirawan sebagai Menteri Agama dengan mandat menangkal radikalisme, karena radikalisasi anak muda justeru terjadi di luar wilayah kementerian agama.)

Penelitian kami mengungkapkan infiltrasi paham dan kelompok radikal ke dunia kampus umum mudah terjadi karena tidak adanya “wacana tandingan” dan pemahaman keagamaan alternatif untuk melawan paham radikal. Tentu solusinya bukan menambah pelajaran agama, melainkan penekanan pada critical thinking yang seharusnya menjadi fondasi kehidupan intelektual mahasiswa kampus.

Kedua, fenomena radikalisasi anak muda terpelajar tampaknya mengikuti prinsip “mudah masuk, mudah keluar.” Barangkali karena minimnya pengetahuan agama, banyak mahasiswa begitu mudah tertarik pada kegiatan kelompok radikal, ikut pengajian atau yang dikenal dengan “liqa” (pertemuan). 

Kami menemukan, sebagian besar mahasiswa baru terlibat aktivitas radikal ketika memulai kuliah. Jadi, mereka bisa digolongkan “newbie”, dan karenanya juga gampang meninggalkan kelompok radikal karena alasan-alasan yang sederhana, seperti susah melupakan hobinya mendengarkan musik atau larangan pacaran.

Ketiga, kebijakan program deradikalisasi yang “sekadar main hantam saja” (meminjam bahasa Prof. Hosen) bukan hanya dikhawatirkan tidak menyentuh akar masalah, tapi juga mengabaikan potensi deradikalisasi-diri (self-deradicalization) yang kerap terjadi di kalangan anak muda terpelajar. Perlu dicatat, walaupun ada orang merasa “menemukan kebenaran” setelah bergabung dengan kelompok radikal, tidak sedikit juga yang mengaku berada di jalan yang salah dan akhirnya kembali memilih kehidupan normal.

Mereka yang terekspose ke dalam kelompok radikal punya kesempatan untuk mempertanyakan dampak paham radikal terhadap dirinya, keluarga, dan masyarakat sekitarnya. Mereka menolak praktik dogmatik ideologi absolutis yang diberlakukan kelompok radikal bukan karena hendak mengikuti versi Islam yang direstui pemerintah. Meminjam Michel Foucault, dengan technologies of the self, seseorang punya kapasitas untuk menentukan pilihan dan berbuat sendiri, tanpa tekanan dari pemerintah.

Karena itu, program deradikalisasi pemerintah jangan dilakukan “sekadar main hantam saja.” Apalagi, secara naif, merasa berhak mengubah pemahaman keagamaan seseorang dan menganggap setiap orang yang berbeda pemahaman sebagai “manipulator agama.” 

Ada dua cara menyelesaikan masalah, termasuk radikalisme: smart way atau stupid way. Mau pilih yang mana?

Bacaan keren terkait

Pelajaran Deradikalisasi dari Poso

“Dian” yang Harus Dipadamkan

Mengapa Kita Perlu Memperkuat Literasi Keagamaan Kita

HTI dan Khilafah itu Produk Politik

Apakah Celana “Cingkrang” Identik Teroris?

Mun'im Sirry
Mun'im Sirry
Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA, Owner KEPITING++. Beberapa karyanya: "Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal" (Suka Press, 2018), "Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis atas Kritik Al-Quran terhadap Agama Lain" (Gramedia, 2013), "Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis" (Mizan, 2015), dan "Scriptural Polemics: The Qur’an and Other Religions" (Oxford University Press, 2014).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.