Ekstrimisme dan radikalisme nampaknya tidak mengenal negara berpenduduk mayoritas Muslim seperti Indonesia atau negara-negara Eropa di mana kaum Muslimin merupakan komunitas minoritas. Ekstrimisme tumbuh tanpa mempertimbangkan faktor demografis—banyak atau sedikitnya jumlah kaum Muslim di kawasan tertentu.
Lingkungan sosial-budaya, politik dan ekonomi yang berbeda di kedua kawasan demografis bisa menjadi faktor pembeda yang dapat membuat atau mencegah orang—khususnya anak muda—menganut paham keagamaan ekstrim dan radikal. Berbagai faktor itu dapat beramalgamasi membuat anak muda memeluk paham keagamaan ekstrim dan radikal.
Kerentanan Anak Muda: Komparasi
Anak muda (siswa SMA/MA dan mahasiswa) adalah bagian masyarakat paling rentan terhadap pengaruh radikalisme. Kebanyakan pelaku aksi ekstrim dan radikal adalah anak muda—mereka yang berusia sejak dari 15 sampai 40an tahun.
Berbagai studi ilmiah dan akademik menyimpulkan, kerentanan anak muda itu bersumber dari pribadi dan karakter yang belum mapan; lingkungan keluarga dan komunitas Muslim yang tidak selalu kondusif dan suportif.
Kerentanan anak muda ini kemudian dimanfaatkan kelompok dan sel radikal dan teroristik; mereka menjadikan anak muda sebagai target utama rekrutmen untuk melakukan program dan target mereka.
Dalam pembicaraan penulis dengan kalangan pemerintahan, akademisi dan aktivis pada dua kesempatan berbeda di London dan Amsterdam pekan pertama April 2017 terungkap, anak muda Muslim di berbagai negara Eropa menghadapi turbulensi sosial, budaya dan ekonomi yang tak jarang membuat sebagian mereka tidak mampu bertahan dalam kedamaian.
Meski sebagian besar anak muda ini sudah merupakan generasi ketiga atau keempat migran Muslim, kebanyakan mereka karena perbedaan cara pandang dan tradisi sosial-budaya tetap tidak bisa atau belum terintegrasi ke dalam lingkungan Eropa sekitarnya. Karena itu, banyak di antara mereka terasing atau teralienasi dari lingkungan sosial-budaya lebih luas.
Keadaan ini diperburuk dengan kesulitan kebanyakan mereka mendapat pekerjaan yang memberi peluang bagi mereka untuk mencapai mobilitas ekonomi dan sosial. Mereka tetap berada pada marjin berbagai sektor lapangan kerja—yang tidak menjanjikan kehidupan dan masa depan lebih baik.
Lingkungan keagamaan yang mereka temui juga sering tidak kondusif dan suportif untuk memberikan kedamaian bagi anak-anak muda. Komunitas Muslim di Inggris, Belanda dan negara-negara Eropa lain sangat terfragmentasi.
Komunitas Muslim terpecah-belah baik dalam pemahaman dan praksis keislaman maupun sosial budaya dan politik sesuai dengan latar belakang negeri asal mereka. Orientasi yang kuat ke tanah asal masing-masing menjadi salah satu hambatan pokok bagi terciptanya hubungan antar-komunitas Muslim yang lebih kondusif.
Lingkungan sosial-keagamaan yang ditandai sektarianisme agama, etnis, kabilah dan sosial-budaya ini juga menjadi faktor penting yang membuat anak muda Muslim mudah tergelincir ke dalam pandangan dan praksis keagamaan ekstrim dan radikal.
Pandangan dan sikap ekstrim dan radikal itu dapat tumbuh lebih cepat karena kemudahan anak muda masa kini mengakses informasi instan yang beredar di dunia maya dan media sosial. Di sinilah terjadi proses radikalisasi secara sendiri (self radicalization) yang sulit diantisipasi dan dibendung.
Self-radicalization bisa terjadi di mana saja. Tidak hanya di negara-negara Eropa di mana kaum Muslim minoritas, tetapi juga di Indonesia di mana umat Muslim menjadi komunitas mayoritas tunggal mutlak.
Namun, anak muda Muslim minoritas kurang beruntung karena lingkungan dan iklim sosial-budaya keagamaan kurang kondusif baik secara internal umat Muslim secara keseluruhan maupun dengan lingkungan non-Muslim lebih luas. Karena itu, mereka agak sulit juga menemukan tempat yang nyaman secara psikologis dan spiritual.
Keadaan inilah yang juga menjadi salah satu penyebab pokok relatif lebih mudahnya anak muda Muslim di Eropa terjerumus ke dalam ekstrimisme dan radikalisme. Di sini sering terjadi proses transformasi keagamaan; dari semula tidak terlalu peduli pada agama untuk kemudian memahami agama secara ketat, literal dan ad hoc.
Anak muda Muslim Indonesia jauh lebih beruntung karena lingkungan keagamaan, sosial-budaya dan politik yang jauh lebih kondusif. Pemahaman dan praksis Islam wasathiyah jelas mencegah terjerumusnya anak muda Muslim secara mudah ke dalam ektrimisme dan radikalisme.
Meski demikian, ormas-ormas Islam wasathiyah yang ada di seantero Nusantara tetap lebih memperhatikan secara khusus anak-anak muda. Apalagi sudah banyak penelitian yang menemukan bahwa anak-anak muda Muslim ini menjadi target rekrutmen sel atau kelompok radikal.
Melindungi anak-anak muda Muslim Indonesia dari infiltrasi dan rekrutmen ekstrimisme dan radikalisme tak lain adalah memastikan masa depan Islam wasathiyah yang berkelanjutan.
Radikalisme di Perguruan Tinggi (PT)
Terorisme dan radikalisme kelihatan masih berada di sekitar kita hingga hari-hari depan—entah sampai kapan. Bahkan radikalisme dan terorisme cenderung kian meruyak; menampilkan jaringan dan sel-sel baru lebih kecil, yang kelihatan bergerak secara terpisah seolah tanpa komando kepemimpinan puncak jaringan atau inti sel lebih besar yang sudah terekam dalam file Polri. Kecenderungan terakhir ini sangat mencemaskan, karena sel-sel relatif kecil, terpisah, dan independen bisa jadi lebih cepat menyebar dan sulit terdeteksi Densus 88. Sangat boleh jadi, gejala baru ini merupakan konsekuensi tidak diharapkan ketika jaringan kelompok teror lama telah banyak dilumpuhkan aparat kepolisian.
Kemudian, belum lama ini juga terjadi kehebohan tentang radikalisme yang disebut berbagai kalangan terdapat di hampir seluruh PT Indonesia—7 di antaranya terpapar secara signifikan. Juga ada kalangan dosen yang mendukung dan menyebarkan paham radikal. Apa yang terjadi di PT kita nampanya hanyalah puncak dari gunung es lebih besar; kasus-kasus seperti itu juga dapat ditemukan dalam skala berbeda di banyak PT.
Berbagai penelitian dan pengakuan mereka yang keluar dari sel-sel radikal dan ekstrim mengisyaratkan, mahasiswa perguruan tinggi umum (PTU) lebih rentan terhadap rekrutmen daripada mahasiswa perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKI). Gejala ini berkaitan dengan kenyataan, cara pandang mahasiswa PTU—khususnya di bidang eksakta, sains dan teknologi—cenderung hitam putih. Sementara mahasiswa PTKI yang mendapat keragaman perspektif tentang Islam, cenderung lebih terbuka dan penuh nuansa.
Dengan suasana kebebasan akademis dan juga kebebasan sosial di kampus jelas sangat sulit bagi pimpinan PT mengontrol para mahasiswa mereka—apalagi para alumni yang telah menyebar ke berbagai sektor kehidupan dan umumnya tidak pernah kembali ke almamaternya.
Karena itu, kampus sebagai ranah publik dengan mahasiswa dan alumni yang terkait kealmamateran bisa tidak imun terhadap berbagai pengaruh dan infiltrasi paham, wacana dan gerakan dari luar. Karena itu, dari waktu ke waktu di lingkungan kampus berbagai PT hampir selalu ada kelompok-kelompok radikal dan ekstrim—baik ekstrim kanan maupun kiri.
Dengan demikian kampus hampir selalu menjadi lahan subur bagi rekrutmen sel-sel ekstrim kiri ataupun kanan. Sejak sejak akhir 1970an, sel-sel ekstrim kanan sangat giat melakukan rekrutmen di kampus; membentuk kelompok dan sel NII yang lazim dikenal sebagai usrah (keluarga) yang menolak keabsahan pemerintahan Soeharto yang mereka sebut ‘thaghut’. Penolakan ini secara simbolik mereka lakukan misalnya dengan membakar KTP; menikah lewat wali Amir (pemimpin) mereka sendiri tanpa melalui Kantor Urusan Agama (KUA).
Zaman kebebasan dan demokrasi pasca-Soeharto membukakan ruang sangat lapang bagi berbagai kelompok dengan orientasi ideologis ekstrim kiri dan kanan untuk kembali ke kampus. Kelompok kiri tidak mampu bertahan lama, sehingga memberikan ruang sangat besar bagi kelompok dan ekstrim radikal Islam sejak dari NII sampai kepada sel-sel radikal lainnya. Kelompok dan sel seperti ini dengan pemahaman keagamaan yang jauh berbeda dengan arus utama Islam segera terlibat dalam aksi pelanggaran hukum sejak dari penculikan, pencurian, perampokan, terorisme sampai upaya makar terhadap NKRI.
Merancang Kembali Mata Kuliah
Ideologi radikal dan teroristik tidak bisa dihadapi hanya dengan wacana; atau bahkan dengan tindakan represif aparat hukum sekalipun, misalnya dengan penerbitan Perppu No 2/2017 yang telah diterima DPR RI sebagai UU No 16/2017 tentang Ormas; dan juga Perpres No 7/21 tentang Rencana Aksi Nasional tentang Pencegahan dan Penanggulangan Berbasis Ekstrimisme (RAN PE) yang diterbitkan pada 7 Januari 2021.
Pertama-tama ideologi semacam itu harus dihadapi dengan kontra-ideologi dan perspektif keagamaan-keindonesiaan yang utuh. Sebab itu, tidak perlu ‘redesain’ kurikulum secara menyeluruh (Kompas, 26/4/11, hal 1) karena dapat mengganggu stabilitas akademis-keilmuan. Tetapi sebaliknya yang mendesak dilakukan adalah revitalisasi beberapa Mata Kuliah (MK) yang relevan karena bersifat ‘ideologis’, yakni MK Pancasila, MK Pendidikan Kewargaan, dan MK Agama.
Pancasila sebagai dasar negara dan kerangka ideologis negara-bangsa Indonesia telah marjinal sejak masa reformasi (lihat Tajuk Rencana Kompas, 26/4/11, hal 6). Ini juga terjadi di lingkungan PT. MK Pancasila yang di beberapa PTU dan PTAI sejak masa awal Reformasi telah diganti dengan MK Falsafat Pancasila atau bahkan dihapus sama sekali. MK Filsafat Pancasila lebih merupakan wacana akademis daripada ideologis. Padahal, hanya dengan memahami Pancasila dapat ditumbuhkan semangat kebangsaan-keindonesiaan dan kewargaan aktif dan bertanggungjawab.
MK lain yang juga penting untuk memperkuat wawasan kebangsaan adalah MK Kewarganegaraan atau Pendidikan Kewargaan (Civic Education) yang di banyak PTAI dan PTU merupakan pengganti MK Kewiraan yang dihapus pasca-kekuasaan Presiden Soeharto yang militeristik. Silabus yang ada dalam Pendidikan Kewargaan mengandung substansi yang sarat dengan penguatan paham kebangsaan-keindonesiaan dalam berbagai aspeknya.
Terakhir MK Agama yang semestinya tidak hanya mengulangi ajaran teologis-normatif agama, tetapi seharusnya juga memberikan penguatan perspektif keagamaan-kebangsaan. Lebih dari itu, MK ini seharusnya diorientasikan untuk penguatan sikap intelektual tentang multikulturalisme dan multireligio yang mencakup keragaman agama. MK ini sekaligus diarahkan untuk penguatan toleransi intra dan antar-agama serta antara umat beragama dengan negara.
Pembelajaran ketiga MK tersebut jelas tidak bisa dilakukan secara indoktrinatif ala penataran P4 di masa Orde Baru. Perlu terobosan-terobosan baru dalam metode pembelajaran yang dialogis, partisipatif, analitis dan kritikal, serta melibatkan role playing dan role-modeling. Dengan cara ini, pembelajaran ketiga MK tersebut dapat bukan hanya terhindar dari kebosanan, tetapi juga lebih memungkinkan terjadinya internalisasi ke dalam diri para mahasiswa.
Revitalisasi Organisasi Kemahasiswaan
Yang tidak kurang pentingnya pula adalah revitalisasi lembaga, badan dan organisasi kemahasiswaan baik intra dan ekstra kampus. Sampai beberapa tahun belakangan, organisasi intra-kampus, seperti BEM, lebih banyak terlibat dalam aktivisme politik—dalam demo dan aksi protes lain terkait isyu politik dan pemerintahan. Tetapi. Sedikitnya dalam beberapa tahun terakhir, aktivisme mahasiswa cenderung sangat menurun. Banyak kalangan menduga terjadinya disorientasi kemahasiswaan karena berbagai faktor sosial, budaya, politik, ekonomi dan bahkan keagamaan.
Hal yang sama juga terjadi pada organisasi mahasiswa ekstra-kampus seperti HMI, PMII, GMNI, PMKRI, GMKI, IMM, KAMMI dan semacamnya yang kebanyakannya tidak lagi terlalu aktif dalam kaderisasi para anggotanya. Bahkan ada kecenderungan kuat, keanggotaan sebagian besar organisasi merosot secara signifikan. Dalam berbagai kesempatan, penulis makalah ini menganjurkan agar organisasi ekstra yang dilarang masuk kampus sejak masa NKK/BKK sejak akhir 1970-an harus diizinkan kembali masuk kampus, sehingga dapat memunculkan kontra-wacana dan kontra-gerakan terhadap kelompok/sel radikal (pasca-pelarangan HTI kini menjadi OTB) yang masih beroperasi bebas di kampus. Lebih jauh, beberapa penelitian PPIM dan CSRC di UIN Jakarta menunjukkan, keanggotaan dan aktivisme organisasi merupakan faktor penting mencegah terjerumusnya seseorang ke dalam gerakan radikal dan ekstrim.
Menristekdikti Mohammad Nasir akhir meresponi posisif himbauan penulis tersebut. Pada 29 Oktober 2018 Menteri Nasir menerbitkan Permenristekdikti yang mengizinkan kembali organisasi mahasiswa ekstra universitas yang kemudian disebut sebagai ‘Kelompok Cipayung Plus’ untuk kembali bergerak di kampus. Dalam Pasal 1 Permenristekdikti itu dinyatakan: “Perguruan Tinggi bertanggungjawab melakukan pembinaan ideologi bangsa, NKRI, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika melalui kokurikuler, intrakurikuler maupun ekstrakurikuler”.
Untuk penerapannya, PT dapat membentuk organisasi atau lembaga yang berkaitan dengan ideologi Pancasila untuk mewadahi berbagai organisasi ekstra kampus yang sebelumnya dilarang masuk dan berkiprah di kampus. Organisasi atau lembaga yang di dalamnya ada representasi ormas ekstra mahasiswa dapat berbentuk Unit Kegiatan Mahasiswa Pembinaan Ideologi Bangsa (UKM PIB). Melalui UKM PIB ini ormas ekstra mahasiswa dapat mengembangkan wacana dan praksis ideologi Pancasila sebagai kontra-wacana dan kontra-radikalisme yang dikembangkan sekelompok mahasiswa lain.
UKM PIB juga dapat mengkonter gejala lain, para mahasiswa ‘non-aktivis’ dan ‘kutubuku’ untuk sangat mudah terkesima, sehingga segera dapat mengalami ‘cuci otak’ dan indoktrinasi pemikiran dan gerakan radikal dan ekstrim. Mereka cenderung naif dan polos karena tidak terbiasa berpikir analitis dan kritis seperti lazim dalam dunia kaum mahasiswa aktivis.
Rekrutmen ideologis kelompok radikal, ekstrim dan teroristik hampir bisa dipastikan terus berlanjut. Karena itu, sudah saatnya langkah-langkah tadi menjadi prioritas pihak-pihak terkait.
Tulisan ini bahan presentasi webinar Nasional Deradikalisme ‘Peran Perguruan Tinggi Menghadapi Gerakan Radikalisme’ Universitas Hasyim Asy’ari, Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, 17 Juni 2021