Kamis, April 25, 2024

Daging Qurban untuk Siapa?

Yulianti Muthmainnah
Yulianti Muthmainnah
Resource Center Institut KAPAL Perempuan, Dosen UHAMKA Jakarta, Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah
daging-kurban
Warga antre untuk mendapatkan daging kurban di masjid Al-Azhom, Tangerang, Banten, Senin (12/9). ANTARA FOTO/Lucky R./

Idul Adha, dikenal pula dengan Lebaran Haji atau Hari Raya Qurban, telah tiba. Qurban berarti menyembelih hewan ternak seperti unta, lembu, sapi, atau kamping, dilaksanakan setelah salat Id hingga hari tasyriq (13 Dzulhijjah). Berqurban dengan seekor kambing cukup untuk seluruh ahlu al-bait (keluarga) ataupun kaum muslimin yang dikehendaki.

Qurban selalu identik dengan sejarah Nabi Ibrahim yang diperintahkan Allah SWT untuk menyembelih anaknya, Ismail, melalui mimpi (al-ru’ya al-shadiqah/mimpi yang benar). Dialog antara ayah dan anak pun terjadi. Ismail, kala itu berusia tujuh tahun, mengizinkan ayahnya menjalankan perintah Sang Khalik tanpa rasa ragu (QS. ash-Shaffaat:102).

Dengan penuh ketakwaan mereka menjalankan perintah Allah. Siti Hajar, ibunda Ismail, yang mengasah pedang, memastikan pedang benar-benar tajam agar tak menyakiti anak kesayangannya. Sebuah pengorbanan luar biasa dari tangan yang membesarkan Ismail selama tujuh tahun tanpa suami, karena Ibrahim harus berada di Mesir dan Hajar di Mekkah  (Ibnu Sahid As-Sundy dalam Samudra Cinta Sarah dan Ibrahim AS).

Ibrahim dan Ismail pergi menuju Jabal Qurban (gunung qurban). Ibrahim membaringkan leher Ismail di atas sebuah batu, pedang siap diayunkan untuk menjalankan perintahNya. Namun Allah berkehendak lain, Ismail diganti dengan seekor hewan. Ibrahim tidak menyembelih Ismail tetapi seekor hewan (QS. ash-Shaffaat:103-107). Inilah kisah yang menjadi penanda qurban.

Hukum qurban sunnah muakkadah. Selain sebagai ibadah kepada Allah, qurban juga memiliki makna sosial yang penting. Dengan berqurban, setiap Muslim diharapkan dapat berbagi kebahagiaan pada sesama.

Mengapa perempuan sering di(ter)tinggal?

Change.org bermitra dengan Kitabisa.com melaporkan kisah Pak Selamet. Ia seorang pemulung yang diajak menikmati steak di sebuah restoran. Selama 32 tahun hidupnya, ini kali pertama Pak Selamet makan daging sapi.

Pak Selamet tidak sendiri, ada 350 keluarga di sebuah dusun di Bengkulu yang sudah tujuh tahun tidak kebagian daging qurban akibat daerah miskin dan terpencil. Saat yang sama ada 80% orang di kota berqurban di masjid terdekat. Penerima qurban bisa mencapai 3 kantong per keluarga.

Sering pula kita saksikan pembagian daging qurban berebut/berdesakan. Mengapa hal ini terjadi?

Al-Qur’an memberikan panduan pihak-pihak yang berhak menerima zakat. Yakni, fakir, miskin, riqab/budak, gharim/orang dengan banyak utang, mualaf, fisabilillah, ibnu sabil, dan amil (Q.S at-Taubah:60). Artinya, mereka juga menjadi pihak utama yang berhak atas qurban.

Akan tetapi, pendataan terhadap mereka masih sangat kurang. Apalagi data perempuan miskin, janda, atau perempuan kepala keluarga dan memiliki banyak tanggungan, semakin sulit didapat. Pada contoh Kitabisa.com, misalnya, Pak Selamat yang diundang. Karena ia merepresentasikan laki-laki, suami, kepala keluarga yang mencari nafkah (UU Perkawinan 1/1974).

Kenyataannya, ada 7,9 juta perempuan menjadi kepala keluarga dari 67,6 juta kepala keluarga di Indonesia. Mereka bukan pencari nafkah tambahan, tapi utama. Tetapi, banyak dari mereka tidak ter(di)data.

Salah satu faktor penyebabnya, karena kita belum memiliki atau tidak terbiasa melakukan pendataan secara komprehensif dengan melibatkan masyarakat secara langsung. Masyarakatlah yang memberikan penilaian terhadap kriteria yang sungguh membutuhkan, karena mereka 24/7 tinggal bersama dalam satu komunitas.

Partisicipatory Rural Assessment (PRA) adalah sebuah pendekatan yang mengembangkan teknik-teknik pelibatan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi program-program pembangunan masyarakat. Pemetaan partisipatif, ranking masalah, rangking sosial dan ekonomi, kalender musim, diagram venn, dan aktivitas harian merupakan alat-alat yang dapat digunakan.

PRA ini telah dipraktikkan Institut KAPAL Perempuan bersama mitranya di enam provinsi untuk mendata perempuan miskin dan kelompok marginal yang selama ini sulit mendapatkan akses pembangunan maupun bantuan sosial.

Peserta PRA adalah perempuan, masyarakat, RT/RW, dan para tokoh untuk menyusun gambar suatu desa. Kriteria miskin disusun bersama. Indikator gender seperti data rumah mana yang ada kematian bayi/anak dan ibu karena melahirkan, KDRT, perempuan kepala keluarga juga dibuat. Hasilnya, karena disusun bersama, menghasilkan data siapa yang benar-benar membutuhkan bantuan.

Saya sudah menerapkan PRA, yakni pemetaan partisipatif di komunitas saya tinggal sebelum membagikan paket lebaran, tiga bulan lalu. Karena paket bantuan lebaran terbatas, maka secara sederhana saya hanya mengundang pimpinan pengajian, tokoh, dan representasi beberapa perempuan dan laki-laki dari masyarakat.

Kami membuat peta desa. Rumah-rumah sekitar saya tinggal. Kami menyepakati kriteria miskin. Alhasil, para perempuan miskin, janda tua, yang selama ini sering terlewatkan dari paket lebaran, mendapatkan paket tersebut.

Berdasarkan pengalaman-pengalaman tersebut, saya berharap, panitia qurban setidaknya bisa merancang ulang bagaimana daging qurban dapat diberikan pada pihak-pihak utama. Dengan demikian, temuan Kitabisa.com satu rumah mendapatkan tiga kantong, berebut qurban, tidak terulang lagi. Dan semakin banyak perempuan marginal yang bisa mengaksesnya.

Yulianti Muthmainnah
Yulianti Muthmainnah
Resource Center Institut KAPAL Perempuan, Dosen UHAMKA Jakarta, Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.