Jumat, April 26, 2024

Qurban Politik Idul Adha

Abd. Rohim Ghazali
Abd. Rohim Ghazali
Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah

Peternak menunjukkan hewan sapi miliknya yang telah dipesan Presiden Joko Widodo di Sobokerto, Ngemplak, Boyolali, Jawa Tengah, Sabtu (10/9). [ANTARA FOTO/ Aloysius Jarot Nugroho]
Qurban merupakan salah satu ritual tahunan yang sarat muatan politik. Setiap Idul Adha tiba, hampir semua partai politik mempersembahkan qurban, baik secara kelembagaan (institusional) maupun personal.

Ciri-ciri dari qurban (bermotif) politik adalah: pertama, dilakukan oleh lembaga politik atau aktivis politik; kedua, dilaksanakan di wilayah/daerah yang menjadi konstituen dari partai atau aktivis politik yang berqurban; dan ketiga, ada ekspose media (bila perlu besar-besaran) yang disengaja (dengan mengundang wartawan).

Lantas, apakah qurban yang bermotif politik seperti ini berpahala dan diterima oleh Allah SWT? Wallahu a’lam!, kita hanya bisa menduga-duga.

Kalau soal pahala, mungkin bisa didapat, minimal pahala di dunia. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya setiap perbuatan (amal) tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang ia niatkan….” (HR Bukhari Muslim).

Partai politik dan atau politisi yang berqurban, meskipun mungkin disertai retorika keikhlasan dan penegasan tanpa pamrih, niatnya jelas untuk mendapatkan simpati dan pujian dari publik (rakyat). Harapannya, simpati dan pujian itu bisa bertransformasi menjadi dukungan pada saat pemilihan umum.

Jika niatnya untuk mendapatkan simpati dan pujian, maka itulah “pahala” yang akan didapat dari persembahan qurbannya, yakni dibalas berdasarkan apa yang diniatkan. Tapi apakah akan bertransformasi menjadi dukungan nyata dalam pemilu? Belum tentu, karena banyak faktor yang mendorong seseorang, atau sekelompok orang, untuk mendukung atau tidak mendukung partai politik.

Secara garis besar, ada tiga tahap dukungan politik. Rasa simpati, berada di tahap kedua setelah pengenalan (tahap pertama). Setelah simpati, tahap berikutnmya (ketiga) adalah mendukung/memilih. Artinya, rasa simpati saja tidak cukup untuk memberi dukungan.

Untuk mengubahnya menjadi dukungan, rasa simpati yang sudah diberikan oleh publik harus terus dijaga/dipelihara dengan cara “berqurban terus menerus (setiap tahun)”; ditambah “infak dan sedekah” di luar hari raya Idul Adha; dan yang lebih penting adalah dengan memperjuangkan kepentingan dan berupaya mewujudkan harapan-harapan rakyat.

Jika partai politik mengabaikan interaksi dan melupakan aspirasi politik dari publik—yang (walaupun) telah bersimpati—maka jangan terlalu berharap akan mendapatkan dukungan dari mereka. Qurban yang sudah diberikan kepada mereka setiap tahun pun bisa menjadi sia-sia, tidak “berpahala”.

Jika “pahala” saja tidak dapat, sulit rasanya untuk mengatakan bahwa qurban mereka diterima Allah SWT. Agar qurban bisa diterima, ada syarat jasmaniah dan ruhaniah. Syarat jasmaniah menyangkut kriteria hewan yang akan diqurbankan. Sedangkan syarat ruhaniah adalah niat semata-mata untuk mendekatkan diri pada Allah.

Jika syarat jasmaniah berimplikasi pada sah atau tidaknya berqurban, maka syarat ruhaniah berhubungan dengan “nasib” akhir dari qurban itu apakah diterima oleh Allah atau tidak. Syarat jasmaniah menyangkut proses, sedangkan syarat ruhaniah menyangkut hasil.

Dalam potongan firman Allah surah al-Hajj (22) ayat [37] disebutkan “Allah tidak akan meminta (menerima) daging dan darah (qurban), tetapi yang diminta/diharapkan adalah ketakwaannya.”

Bagi partai politik dan para politisi, ketakwaan itu terlalu abstrak, atau bahkan absurd, karena tidak ada implikasi langsung bagi penerimaan dan peningkatan perolehan suara dalam pemilu. Kalaupun benar ketakwaan itu ada, maka itu sekadar “bonus” (semacam keberuntungan) dari qurban yang telah dilaksanakannya.

Padahal, kalau dikaji secara lebih mendalam, takwa memiliki kaitan yang sangat erat dengan perilaku publik (rakyat) dalam pemilu. Coba perhatikan, menurut Imam Ghazali, takwa memiliki tiga makna: yakni takut (dari siksa/murka Allah), taat (pada perintah Allah), dan bersih hati (dari dosa-dosa/kesalahan pada Allah).

Dengan memaknai takwa seperti Imam Ghazali, maka orientasi atau ultimate goal dari takwa adalah rasa sayang dan belas kasih (tidak disiksa/dimurkai) Allah SWT. Rasulullah SAW pernah bersabda, “sayangilah siapa saja yang ada di bumi, niscaya kamu akan disayangi oleh yang ada di langit.” (HR. Thabrani).

Untuk mendapatkan kasih sayang Allah, syaratnya harus menyayangi sesama manusia di muka bumi. Mempersembahkan qurban, jika dilakukan dengan cara dan niat yang benar, karena didorong oleh rasa kasih sayang pada sesama manusia, maka implikasinya menjadi ganda, yakni peningkatan ketakwaan (pada Allah) dan sekaligus dukungan rakyat.

Seandainya qurban diniatkan semata-mata mendambakan kasih sayang Allah, maka kasih sayang pada rakyat menjadi syarat utamanya. Dukungan rakyat menjadi bonus dari kedekatan pada Allah.

Abd. Rohim Ghazali
Abd. Rohim Ghazali
Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.