Senin (18/1) penulis berkesempatan untuk memberikan kuliah umum secara daring dengan adik-adik di Politeknik Akamigas Cepu, Jawa Tengah. Maraknya pemberitaan mengenai kendaraan listrik dan tren energi baru terbarukan rupanya membuat banyak mahasiswa politeknik di bawah kementerian ESDM ini khawatir dengan masa depan industri migas. Apakah kekhawatiran itu realistis?
Kendaraan berbasis listrik memang menjadi tren dan pembicaraan di seluruh dunia. Bahkan sentimen ini telah mendorong pendiri dan CEO Tesla, Elon Musk menjadi orang terkaya di dunia versi Forbes. Selama tahun 2020 harga saham saham Tesla naik hingga 720%.
Meski era kendaraan listrik mulai bersemi, data yang ada justru menunjukkan bahwa kebutuhan migas di masa depan akan tetap tinggi. OPEC memperkirakan kebutuhan migas hingga tahun 2045 akan bertambah sekitar 20 juta barel per hari dibandingkan tahun 2020 sekitar 90,7 juta barel per hari.
Transportasi masih akan menjadi konsumen migas terbesar dunia. Jika tahun 2020 transportasi menyerap 44% dari produksi minyak dunia, di tahun 2045 nanti, dengan penambahan konsumsi yang meningkat hampir 20 juta barel per hari, transportasi mengkonsumsi 43%. Secara prosentase angkanya turun, namun secara volumi konsumsi migas dari sektor transportasi akan terus bertumbuh.
Sementara migrasi masyarakat dunia ke kendaraan listrik hanya akan mengkonversi penggunaan bahan bakar minyak sekitar 6 juta barel per hari pada tahun 2040. Relatif kecil dibandingkan kenaikan konsumsi migas dunia.
Faktor kedua yang membuat sektor migas akan tetap propsektif adalah kebutuhan gas bum dalam bentuk LNGi yang akan terus meningkat. Proyeksi Wood Mackenzie produksi LNG dunia pada tahun 2030 tidak akan mampu menutupi kebutuhan konsumen. Ada selisih sekitar 70 juta ton gas per tahun.
Faktor selanjutnya yang membuat sektor migas tetap strategis adalah tingginya kebutuhan industri, seperti Petrochemical. OPEC memperkirakan ada kenaikan sekitar 2% kebutuhan migas dari sektor Petrochemical sampai tahun 2045 nanti. Saat ini, konsumsi migas dari Petrochemical sekitar 14 % dari produksi migas harian dunia.
Kepada adik-adik di Politeknik Akamigas penulis juga sampaikan bahwa kebijakan sebuah negara akan sangat mempengaruhi bisnis migas di masa depan. Dan sejauh ini, Amerika Serikat sebagai salah satu konsumen dan produsen migas terbesar di dunia tetap fokus untuk menggunakan energi ini untuk menggerakkan ekonomi mereka hingga beberapa tahun ke depan. Ini berbeda dengan kebijakan negara negara Eropa yang lebih fokus pada pengembangan energi terbarukan.
Karena itu, kemampuan SDM-SDM lokal yang unggul dan bisa berkompetisi dengan ahli-ahli migas dunia sangat dibutuhkan untuk menjamin dan memastikan bahwa sumber daya migas di Indonesia dapat dikelola dan dikembangkan oleh putra-putra terbaik di negeri ini. Insha Allah.