Joe Biden dilantik menjadi presiden AS ke-46 pada 20 Januari 2022 lalu. Kemenangan Biden di Pilpres 2020 juga diikuti dengan kemenangan Partai Demokrat di DPR dan Senat.
Tapi partai Demokrat hanya unggul tipis 322 vs. 193 kursi di DPR dan 50 vs. 50 kursi di Senat. Untungnya karena wapres Kamala Haris merangkap sebagai presiden Senat, Partai Demokrat bisa menguasai kursi mayoritas di Senat.
Keunggulan yang tipis di DPR dan Senat menjadi tantangan tersendiri bagi Biden karena sebagian besar program-programnya harus mendapat pengesahan di DPR dan Senat.
Seperti lazimnya presiden-presiden terpilih, program 100 hari Biden akan menjadi sorotan dan menjadi tantangan berat untuk presiden ke-46 yang tidak didukung oleh kekuatan besar di Kongres.
Paling tidak ada 3 program utama di 100 hari pertama pemerintahan Biden: Pertama, membangun kabinet plural yang merepresentasikan pluralitas konstituen Partai Demokrat; kedua, merealisasikan vaksinasi untuk 100 juta warga AS; ketiga, menggolkan dana stimulus COVID-19 senilai US$1,9 triliun (Rp 27.372,8 triliun)
Tim Kabinet Paling Plural dalam Sejarah AS
Partai Demokrat adalah partai pluralis yang konstituen utamanya merupakan koalisi kaum kulit putih liberal dengan kelompok kulit hitam, Hispanik dan Asia, yang mereka menganut beragam agama dan kepercayaan.
Jadi tidak heran jika Biden berupaya keras untuk membangun kabinet yang sangat plural dalam program 100 harinya. Kabinet yang dibangun Biden memang jauh lebih plural dari kabinet Trump dan bahkan lebih plural dari kabinet Obama
Berdasarkan data NPR.Org, dari 23 menteri yang diajukan Biden ke Senat, 11 menteri kulit putih dan 12 menteri non-kulit putih, terdiri dari 5 menteri kulit hitam, 4 menteri Hispanik, 2 keturunan Asia, dan 1 menteri warga Native American.
Bandingkan dengan Obama yang menteri non-kulit putihnya terdiri dari 4 menteri kulit hitam, 3 Asia dan 2 Hispanik. Atau Trump yang hanya punya 1 menteri kulit hitam, 1 Hispanic dan 2 Asia.
Biden Lampaui Target Vaksinasi 100 Juta Warga dalam 100 Hari Pertama
Trump adalah salah satu dari hanya 3 presiden AS petahana yang gagal di pilpres periode kedua. Salah satu penyebabnya adalah penanganan salah terhadap pandemi COVID-19.
Trump baru terlihat serius menangani Covid-19 pada pertengahan Mei 2020, ketika jumlah kasus mencapai lebih dari 1,5 juta dan kematian mendekati angka 100.000. Terutama dengan meluncurkan program Operation Warp Speed, yakni proyek kemitraan pemerintah federal AS dengan sektor swasta antara lain dalam mempercepat pengembangan, pembuatan dan distribusi vaksin COVID-19.
Ketika pilpres digelar pada 3 November 2020, jumlah kasus Covid-19 mencapai hampir 10 juta dan korban meninggal mendekati angka 240.000 orang. Sementara vaksin Pfizer dan Moderna yang dijanjikan Trump belum juga siap.
Mismanagement dalam penanganan Covid dan situasi ekonomi yang memburuk membuat ‘rapor’ Trump penanganan Covid mencapai -16%, nett job approval rating mencapai -14% dan 68% warga AS tidak puas dengan kondisi AS saat itu, berdasarkan polling Quinnipiac 22 Oktober.
Tak pelak lagi hal ini membuat Trump kalah di pilres serta Partai Republik kehilangan kursi mayoritas di Senat dan tetap minoritas di DPR.
Sementara Biden, segera setelah dilantik langsung tancap gas dengan mengumumkan program vaksinasi 100 juta warga AS dalam 100 hari pertama. Kerjasama erat berbagai stakeholder terutama perusahaan farmasi produsen vaksin membuat target vaksinasi 100 juta warga bisa dicapai hanya dalam 60 hari saja.
Biden kemudian mengumumkan target baru yang lebih ambisius: menuntaskan vaksinasi seluruh warga AS pada 1 Mei 2021 dan mencapai kondisi normal pada ultah kemerdekaan 4 Juli 2021.
Dana Stimulus Pandemi Senilai US$1,9 triliun Rp 27. 372,8 triliun) Terwujud
Menurut US Bureau of Economic Analysis, GDP AS sepanjang 2020 anjlok 3.5%, sedangkan lapangan kerja pada Februari 2021 berkurang 9.2 juta dibandingkan tahun sebelumnya.
Kebangkrutan di berbagai industri juga terus berlangsung. Menurut laporan New Generation Research yang dilansir The Washington Post, hampir 7,000 perusahaan di 5 sektor saja yakni Real Estat, Migas, Restoran, Hiburan dan Ritel mengajukan kepailitan sepanjang tahun 2020.
Jadi Undang-Undang American Rescue Plan yang ditandatangani Presiden Joe Biden pada 11 Mei 2021 dan menyalurkan dana US$1.9 triliun diharapkan dapat mempercepat pemulihan ekonomi, mengurangi angka pengangguran dan membantu para pekerja yang menganggur melalui bantuan langsung tunai dan pemotongan pajak bagi warga berpenghasilan rendah dan menengah.
Misalnya, keluarga dengan kepala keluarga berpenghasilan hingga US$ $112.500 per tahun setiap anggota keluarganya akan menerima bantuan langsung US$1.400. Keluarga tersebut juga akan mendapat potongan pajak US$3,000 hingga US$3,600 per anak.
Selain itu, anggaran stimulus disalurkan pula berupa bantuan dana untuk pemerintah negara bagian, pengendalian pandemi, vaksinasi, pembukaan sekolah-sekolah dan tunjangan penganguran.
Agenda tersembunyi di balik program 100 Biden: Mematahkan Kutukan Midterm Election
Dalam politik AS, memenangkan kursi kepresidenan tidak berarti banyak jika tidak disertai dengan mayoritas di DPR dan Senat. Jika partai oposisi menguasai DPR atau Senat, program-program pemerintah tidak akan berjalan dengan mulus.
Masalahnya adalah partai dari presiden berkuasa akan menghadapi ‘kutukan’ midterm election. Yakni mereka akan kehilangan kursi di DPR dan mungkin juga Senat.
Analisis FiveThirty Eight terhadap midterm elections yang digelar sejak berakhirnya Perang Dunia II menunjukkan, partai yang menguasai Gedung Putih akan kehilangan rata-rata 27 kursi di midterm election.
Hal yang terjadi di periode pertama Barack Obama telah membuat Biden dan timnya khawatir. Ketika Obama terplih pada 2008, Partai Demokrat menguasai mayoritas di DPR dengan 256 vs 178 kursi dan mayoritas di Senat dengan 59 vs. 41 kursi.
Di midterm elections 2010, Partai Demokrat kehilangan 63 kursi di DPR sehingga menjadi minoritas dan berkurang 6 kursi di Senat, meski tetap mayoritas. Padahal, setahun sebelumnya Obama menggelontorkan paket stimulus ekonomi senilai US$831 miliar.
Jadi kabinet plural yang mengakomodasi konstituen Partai Demokrat yang beragam, program vaksinasi dan pembukaan ekonomi yang mengacu pada sains, dan paket stimulus besar-besaran yang menyentuh hampir semua warga berpenghasilan rendah dan menengah ini memiliki satu tujuan: Merekatkan ‘koalisi pelangi’ di pilpres 2020 agar tetap kompak dan bersemangat mencoblos di midterm election 2022.
Dengan demikian, Partai Demokrat bisa mempertahankan kursi mayoritas di DPR dan Senat.
Apakah program 100 hari Biden akan bisa mematahkan ‘kutukan’ midterm election? Kita masih harus nunggu perkembangan lebih lanjut.
Apalagi 100 hari pertama pemerintahan Biden pun masih 28 hari lagi!