Jumat, Maret 29, 2024

Problem Sosiolinguistik dalam Diksi “Pencitraan” Pilkada Jakarta

Yanto Mushtofa
Yanto Mushtofa
Alumni Fakultas Tarbiyah, Jurusan Tadris Bahasa Inggris, Universitas Islam Syarif Hidyatullah Jakarta. Pemimpin Redaksi Majalah "Media Panduan Sentra", Ketua Yayasan Insan Nahlah Semesta Bogor.

go-ahokKetua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie (kedua kiri) dan kawan-kawan berpose saat peluncuran aplikasi GoAhokPSI, di Jakata, Kamis (31/3). ANTARA FOTO/Rosa Panggabean

Dalam satu pengajian di Pondok Pesantren Mahasiswa dan Sarjana (PPMS) Ulil Albab Universitas Ibnu Khaldun, Bogor, belum lama ini, KH Didin Hafidhuddin menyatakan tersinggung jika dikatakan tak ada pemimpin Muslim yang baik. Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu mengaku kecewa dengan apa yang disebutnya “propaganda sesat” yang mengatakan lebih baik pilih pemimpin kafir yang jujur daripada pemimpin Muslim yang korupsi.

“Ini sudah keterlaluan. Siapa bilang pemimpin kafir itu jujur? Siapa bilang semua pemimpin muslim itu baik?” kata Kyai Didin seperti dikutip Suara-Islam.com (13/4/2016).

Sebagai tokoh umat yang dikenal luas, Kiai Didin pantas mengutarakan kegelisahan itu, yang ditujukan untuk menanggapi dinamika politik di Ibu Kota. Kiai Didin pantas gelisah karena relatif masih lemahnya popularitas para bakal calon yang digadang-gadang sebagai wakil umat Islam berhadapan dengan popularitas petahana Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama.

Namun demikian, ada bagian lain dari pernyataan Kiai Didin yang menarik untuk dicermati. “Kalau ada pemimpin kafir yang berhasil, itu bukan fakta, melainkan hanya pencitraan semata. Sedangkan jika pemimpin Muslim yang berhasil, maka itu baru fakta,” katanya. “Tidak sedikit, kok, pemimpin Muslim yang berhasil.”

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menguji kebenaran kesimpulan tersebut. Tulisan ini hanya mencoba mengulas problem semantik yang terkandung dalam pernyataannya, ketika menggunakan kata “pencitraan.” Ya, kata “pencitraan” semakin hari semakin kerap muncul dalam rana politik dengan pengertian yang cenderung negatif.

Arti kata “citra”, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah “rupa”, “gambar”, “gambaran”. Dalam lema “citra”, KBBI menyertakan pula arti dalam ranah politik dengan klausa seperti ini: “gambaran diri yang diciptakan oleh seorang tokoh masyarakat.”

Seandainya politik diterima secara netral dan normal sebagai bagian dari proses atau tata kehidupan dalam masyarakat negara-bangsa, maka klausa seperti yang dipilih KBBI tersebut semestinya tidak menyiratkan sesuatu yang negatif atau pejoratif. Artinya, “citra” adalah keniscayaan dalam politik negara-bangsa. Seorang pemimpin muncul karena ada “citra” padanya yang bisa ditangkap oleh khalayak warga.

Meski demikian, sebagaimana bahasa-bahasa lain di dunia, Bahasa Indonesia juga berkembang mengikuti alam pikiran yang tumbuh dalam masyarakat. Paparan tak berkesudahan kerut-kerut wajah buruk kehidupan politik menyebabkan khalayak warga masyarakat lambat laun membangun persepsi negatif terhadap politik. Persepsi negatif itu begitu akut sampai pada tingkat alergi.

Warga menjadi apatis. Setiap hal yang berbau politik selalu pertama-tama disikapi skeptis. Tak ada yang benar dan baik dalam politik. Tak terkecuali kata “citra”, sebagaimana diuraikan dalam KBBI tersebut, yang semestinya netral, menjadi negatif. Bahasa Indonesia pelan-pelan menyerap lema “citra” berimbuhan “pe-an”, sehingga membentuk kata “pencitraan”, dalam konotasi yang negatif.

Apakah itu normal? Tidak. Itu bukan semata-mata menyangkut masalah proses pertumbuhan linguistik belaka. Dalam terminologi sosiolinguistik, bahasa merepresentasikan dimensi-dimensi dasar dari perilaku sosial dan interaksi antarmanusia. Kata Walt Wolfram (1991), “Bahasa adalah lambang paling kuat dari perilaku sosial.”

Karenanya, pergeseran makna seperti yang terjadi terhadap kata “citra” perlu diwaspadai sebagai cerminan dari sebentuk kelainan yang bisa tumbuh menjadi penyakit dalam tubuh masyarakat. Dalam hal ini, kelainannya adalah ketidakpercayaan warga masyarakat pada politik dan unsur-unsur bangunannya.

Unsur-unsur bangunan politik adalah semua faktor yang memungkinkan mekanisme politik bekerja. Di dalamnya ada tata kelola, aturan main, undang-undang, dan peraturan; ada kepemimpinan; dan tentu saja yang paling penting adalah partisipasi warga masyarakat. Jika semua unsur-unsurnya sehat, maka mekanisme pun berjalan dengan sehat. Jika ada bagian-bagian yang sakit, maka mekanisme politik tidak bekerja secara optimal.

Ketika ada bagian yang tidak sehat, yang dibutuhkan bukanlah menghilangkan bagian itu, melainkan menyehatkannya. Sebagai contoh, mekanisme politik mengharuskan adanya pemilihan pimimpin secara terbuka. Dalam unsur ini melekat keniscayaan “tawaran-permintaan” sebagaimana layaknya perniagaan. Ada kebutuhan warga masyarakat akan pengelolaan negara atau daerah secara baik dan bertanggung jawab. Ada penawaran konsep dari calon pemimpin dengan rekam jejak dan prestasi.

Dari situlah muncul kebutuhan adanya kampanye dalam mekanisme politik. Kampanye politik adalah bagian yang semestinya normal, netral, dan wajar. Itulah sarana calon pemimpin dalam menawarkan “citra”-nya. Demi menjaga agar tetap normal, netral, dan wajar, aturan main kampanye dibuat.

Ketika unsur kampanye berjalan tidak semestinya, solusinya bukan penghilangan unsur itu, tapi pengawasan dan pembenahan. Begitu pula ketika warga masyarakat kesulitan mencerna “tawaran” karena keterbatasan pengetahuan, solusinya juga tentu saja bukan meniadakan partisipasi warga masyarakat, melainkan mengedukasi warga masyarakat. Sesederhana itu.

Jadi, tidak seyogyanya seorang tokoh nasional turut serta membesarkan arus penggeseran makna kata “pencitraan” dalam ranah politik. Selain tidak bermanfaat bagi upaya penyehatan unsur-unsur mekanisme politik, pernyataan seperti itu malah menumbuhkan apatisme dan akhirnya membuat kehidupan politik semakin tidak sehat.

Kalaulah dirasa ada “citra” dari seorang tokoh lain yang lebih baik dari tokoh lawannya, maka cara yang paling masuk akal untuk mengungguli lawan adalah menampilkan “citra” yang dirasa lebih baik itu. Bukan dengan meniadakan “pencitraan”. Bukan pula dengan menista “citra” lawan tanpa adab.

Logika yang sangat sederhana, “citra” lawan dengan sendirinya akan redup jika ada “citra” yang bersinar lebih terang. Bila itu tercapai, politik menjadi sehat, lawan pun menjadi segan dan hormat. Ingat, lawan politik (rival) tidaklah sama dengan musuh (enemy). Rival politik sejatinya adalah mitra dalam menjalankan mekanisme politik.

Sejarah Indonesia telah menyediakan begitu banyak keteladanan tokoh adhiluhung politik Islam di masa lampau. Mereka berhasil membangun “citra” sehingga mampu tampil memukau di panggung politik nasional. Pada saat yang sama, mereka juga disegani dan dihormati lawan politik.

Karena itu, ketimbang sibuk mencerca kekafiran Ahok, mengapa tidak mengajari para politikus Muslim membaca kembali riwayat keteladanan Mohamad Natsir dan rekan-rekan Masyumi-nya, misalnya?

Yanto Mushtofa
Yanto Mushtofa
Alumni Fakultas Tarbiyah, Jurusan Tadris Bahasa Inggris, Universitas Islam Syarif Hidyatullah Jakarta. Pemimpin Redaksi Majalah "Media Panduan Sentra", Ketua Yayasan Insan Nahlah Semesta Bogor.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.