Rabu, April 17, 2024

Presiden Macron Melawan “Separatisme Islamis” Bukan Melawan Islam

Muhamad Ali
Muhamad Ali
Associate Professor, Religious Studies Department & Chair, Middle East and Islamic Studies Program, University of California, Riverside.

Pernyataan Presiden Jokowi baru-baru ini terhadap komentar dan pidato Presiden Macron merupakan ungkapan kecaman dan kebebasan berpendapat seorang kepala negara dalam hubungan antarnegara. Mungkin akan lebih efektif jika Presiden Jokowi menelepon Duta Besar Perancis di Indonesia, atau menelepon langsung Presiden Macron untuk bertanya langsung apa yang mereka maksud pernyataan Macron. Presiden Jokowi juga perlu meningkatkan kebijakan melawan radikalisme, ektremisme, terorisme, dan kekerasan kepada minoritas di Indonesia. Itu juga yang dilakukan BNPT, atau dengan cara lain juga dilakukan berbagai kelompok “moderat” di Indonesia.

Pidato Macron dilakukan 2 Oktober disampaikan kepada kalangan terbatas, dan terjadi sebelum kasus pembunuhan atas guru sejarah Samuel Paty pada 16 Oktober. Saya dengarkan pidatonya dalam bahasa Perancis. Ini petikannya.

Il faut donc faire respecter la laïcité fermement, justement. Sans se laisser entraîner dans le piège de l’amalgame tendu par les polémistes et par les extrêmes qui consisterait à stigmatiser tous les musulmans. Le problème, c’est le séparatisme islamiste. Ce projet conscient, théorisé, politico-religieux, qui se concrétise par des écarts répétés avec les valeurs de la République, qui se traduit souvent par la constitution d’une contre-société et dont les manifestations sont la déscolarisation des enfants, le développement de pratiques sportives, culturelles communautarisées qui sont le prétexte à l’enseignement de principes qui ne sont pas conformes aux lois de la République. C’est l’endoctrinement et par celui-ci, la négation de nos principes, l’égalité entre les femmes et les hommes, la dignité humaine. Le problème, c’est cette idéologie, qui affirme que ses lois propres sont supérieures à celles de la République. Je ne demande à aucun de nos citoyens de croire ou de ne pas croire, de croire un peu ou modérément, ça n’est pas l’affaire de la République, mais je demande à tout citoyen, quelle que soit sa religion ou pas, de respecter absolument toutes les lois de la République.

Artinya: “Oleh karena itu, kita harus memastikan bahwa sekularisme dihormati dengan tegas dan tepat. Tanpa ditarik ke dalam perangkap amalgam yang dibuat oleh para polemik dan ekstrim yang akan menstigmatisasi semua Muslim. Masalahnya adalah separatisme Islamis. Proyek sadar, berteori, politik-agama, yang terwujud dalam penyimpangan berulang-ulang dari nilai-nilai Republik, yang sering menghasilkan konstitusi kontra-masyarakat dan yang manifestasinya adalah putus sekolah anak, perkembangan olahraga dan praktik budaya yang dikomunikasikan yang menjadi dalih untuk prinsip pengajaran yang tidak sesuai dengan hukum Republik. Itu adalah indoktrinasi dan menegasikan prinsip-prinsip kita, kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, martabat manusia. Masalahnya adalah ideologi ini, yang menegaskan bahwa hukumnya sendiri lebih tinggi dari hukum Republik. Saya tidak meminta warga negara kita untuk percaya atau tidak, untuk percaya sedikit atau secukupnya, ini bukan urusan Republik, tapi saya meminta kepada setiap warga negara, apapun agamanya atau tidak, untuk menghormati sepenuhnya semua hukum Republik.”

Pidato Macron tidak diarahkan kepada Islam sebagai agama, dan umat Islam sebagai warga dunia. Macron berpendapat, masalahnya adalah separatisme Islamis, atau istilah-istilah lain yang sering digunakan di Perancis: radikalisme, ektremisme, integrisme, bertentangan dengan prinsip dan Nilai Republik. Presiden Macron mengakui ada dua kubu ekstrem: polemisis dan ekstrem yang menstigmatisasi seluruh umat Islam. Macron mengecam stigmatisasi Islam dan umat islam itu.

Dengan serangan teror bertubi-tubi di Perancis yang dilakukan warga atau pendatang Muslim, Presiden Macron melihat ada krisis ideologis di sebagian penduduk Muslim itu, yang menggunakan aksi kekerasan sebagai reaksi mereka kepada kebebasan berpendapat. Apa yang diagendakan Pemerintah Perancis dan Pemerintah Indonesia tidaklah jauh berbeda: memerangi radikalisme dan terorisme di dalam menjaga keamanan dan stabilitas nasional negara masing-masing. Seringkali bahasa politis ditafsirkan macam-macam. Presiden Jokowi pun sering dikecam anti-Islam di dalam negeri meskipun ia tentu saja yakin sedang melawan radikalisme.

Charlie Hebdo adalah majalah satir politik dan humor, yang beraliran kiri-radikal, yang biasa mengolok-olok simbol fundamentalisme (integrisme) agama Katolik, Yahudi dan Islam. Bukan agama sebagai agama. Charlie Hebdo juga sering mendapat hukuman karena hate speech dan lawsuits dari berbagai pihak, tapi bukan karena kebebasan berekpresinya. Charlie Hebdo terus menuai kontroversi dengan kritik-kritik mereka atas burqa, pewajiban burqa, kekerasan rumah tangga, nikah paksa, dan lain-lain yang mereka anggap sebagai bagian dari fundamentalisme agama.

Kebebasan berpendapat atau ekpresi di Perancis termaktub dalam Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warga. Tapi mereka juga punya hukum. Kebebasan tidaklah absolut, memiliki batas-batas: rasisme, anti-Semitisme, penolakan Holokos, kebencian ras, dan pembenaran atas terorisme adalah pelanggaran hukum. Di dalam Perancis, adalah hukum pengadilan yang menentukan apakah kebebasan berekspresi benar-benar mencenderai kehormatan dan kesucian simbol dasar suatu agama atau sekedar mengeritik simbol-simbol sebagian penganut agama tertentu seperti turban dan bom, burqa dan kekerasan. Siapapun yang berkeberatan ada proses pengadilan dan hukumnya. Tapi, pemenggalan guru sekolah itu meniadakan hukum, dan menyerang jantung eksistensi Perancis dengan moto kebebasan, persamaan dan persaudaraan itu.

Perancis adalah negara yang paling banyak menerima pendatang warga Muslim dari Afrika Utara dan bekas Uni Sovyet, termasuk bekas jajahan Perancis. Umat Islam yang jumlahnya sekitar 5 juta di Perancis dan hidup dan bekerja damai di negeri Laicite itu. Banyak tokoh, imam, dan komunitas Muslim (termasuk Dewan Peribadatan Muslim Perancis), mengecam pembunuhan terhadap guru sejarah itu, meskipun mereka tidak setuju dengan karikatur Nabi Muhammad di Charlie Hebdo. Banyak tokoh, aktifis, dan sarjana Perancis tentu melakukan debat tentang kebebasan ekspresi, laicite, fundamentalisme, Islamofobia, tapi mereka semua dijamin Konstitusi untuk berbeda, apapun itu.

Rasisme dan Islamofobia bukan tidak ada di Perancis – banyak dan kuat, sebagaimana di berbagai negara. Sejarahnya panjang, kompleks, dan terjadi terhadap agama dan orang Yahudi, Katolik, Islam, atau siapa saja yang dianggap ras dan kelompoknya lebih rendah. Saya dan banyak dari kita terus melakukan upaya pendidikan dan pencerahan melawan rasisme dan Islamofobia tanpa henti.

Tapi dalam kasus Samuel Paty dan berkali-kali teror di Perancis, masalah yang dihadapi mereka adalah radikalisme ekstrim dan terorisme itu.

Miskomunikasi dan kontroversi sering sekali terjadi di era internet saat ini. Hemat saya, isi dan maksud Presiden Macron dalam bahasa Perancis itu tidak sepenuhnya seperti apa yang disangkakan banyak orang di Indonesia, Turki, dan Pakistan, dan lain-lain, seolah-olah pemerintah Perancis sedang perang melawan Islam dan umat Islam.

Muhamad Ali
Muhamad Ali
Associate Professor, Religious Studies Department & Chair, Middle East and Islamic Studies Program, University of California, Riverside.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.