Dalam penelitian mutakhirnya, Jeremy Menchik menyebut Indonesia sebagai negara berketuhanan (godly nationalism). Ini menjadi tesis Menchik dalam memperlihatkan wajah demokrasi yang unik di Indonesia. Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang secara sederhana dapat memenuhi seluruh aspirasi rakyatnya, tanpa adanya diskriminasi ras, suku ataupun agama.
Namun, di Indonesia, agaknya, demokrasi hanya akan tertahan pada dua kata awal: ras dan suku. Agama kerap menjadi rapot merah dalam pengelolaan demokrasi di Indonesia. Permasalahan yang dihadapi dalam mewujudkan mimpi masyarakat demokratis lebih disebabkan tertahan oleh fakta keimanan sebagian golongan agama tertentu. Dan dalam tesis Menchik, tampaknya “berketuhanan” menjadi sinonim dari frasa keimanan.
Perdebatan antara menjadi negara yang demokratis atau negara berkeimanan telah ada sejak proses penentuan Pancasila. Saat itu, golongan Islamis keukeuh menuntut sila pertama menggunakan kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya”.
Namun, wacana penggunaan kalimat ini mendapatkan penolakan dari sebagian masyarakat dan umat agama lain. Maka, tinggallah bunyi sila pertama: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ini pula yang menjadi simpul awal dari perdebatan antara mimpi demokrasi dan klaim keimanan.
Yang terbaru, perdebatan kedua hal ini dapat kita simak dengan sangat jelas dan memilukan melalui Pemilihan Kepala Daerah Jakarta. Dari ketiga calon pemimpin Jakarta, ada satu nama yang sedari awal—bahkan sebelum hiruk-pikuk Pilgub—telah ramai menjadi perbincangan.
Apa yang menjadi bahan pembicaraan utama sudah ditebak. Status non-Muslim menjadi pemimpin! Sebenarnya saya tidak heran melihat hiruk-pikuk yang terjadi di Jakarta saat ini. Sudah sangat bisa ditebak dan dibaca apa yang terjadi. Bahkan saya sangat yakin bahwa bukan hanya saya yang bisa menebak hal ini.
Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok kerap menjadi bulan-bulanan media dan ormas Islam tertentu dengan menggunakan klaim keimanan yang mereka pahami. Patut dicatat, di dalam Islam isu pemimpin memang sangat penting karena dapat menjaga kemaslahatan umat banyak. Melalui pemimpinlah masyarakat dapat terjaga keamanan, menjaga kehidupan serta mengatur segala urusan yang mendatangkan kebaikan.
Selanjutnya kita juga harus menyadari, bagi sebagian golongan Islam, kriteria pemimpin menjadi masalah teologis, karena dianggap dapat menjaga keutuhan agama dan merupakann representasi Nabi Muhammad untuk menyebarkan agama, di samping ulama. Tentu permasalahan teologis ini menjadi persoalan keimanan, terutama yang memiliki watak konservatif.
Maka, tidak heran kalau penolakan Ahok menjadi Gubernur Jakarta dari sejumlah ormas Islam, terutama sudah tentu Front Pembela Islam (FPI), sangat kencang dan keras bahkan mengenai isu SARA. Lalu, bagaimana fakta keimanan ini dengan demokrasi yang menjadi cita-cita negeri ini?
Demokrasi tentu harus dijunjung tinggi, setinggi pengharapan Pancasila yang telah disusun sangat apik oleh founding fathers kita. Namun, prahara Pancasila saja saat ini masih belum mendapatkan pengakuan mutlak dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Kampanye-kampanye anti-Pancasila nyatanya juga menggeliat dengan apik dari dentuman toa-toa aktivis Islam khilafah.
Sebagai falsafah tertinggi Indonesia, Pancasila nyata-nyata juga diusahakan untuk diganti, konon lagi kita berharap agar kelompok-kelompok “nyentil” ini mau memberikan ruang demokrasi yang fair bagi Ahok. Intinya adalah, jangan berharap kelompok “nyentil” ini mau ber-demokrasi yang fair bila berhadapan dengan non-Muslim.
Kiranya benar yang dikatakan oleh Marx, bahwa agama merupakan candu. Ini pula mungkin yang disadari oleh kelompok “nyentil” ini. Menggunakan dalil-dalil ayat yang disuguhkan secara sepotong-sepotong, membuka konstruksi pemikiran yang dikontrol untuk satu pandangan dalam melihat hak Ahok untuk memimpin Jakarta.
Misi ini kian mendapatkan ramuan apik ketika Ahok dianggap melecehkan al-Qur;an karena ucapannya di Kepulauan Seribu. Puncaknya, gerakan massa yang sangat luar biasa banyak, yang menurut Denny J.A hampir menyamai gerakan 98’. Gerakan ini menunjukkan pada kita klaim keimanan mendapatkan ruang yang jelas untuk membangun gerakan massa.
Lantas, apakah negara dapat memilih di antara kedua hal tersebut? Tentu negara akan sangat sulit merealisasikan jawaban dari pertanyaan ini. Di satu sisi, demokrasi sampai saat ini merupakan cara yang paling mumpuni untuk mengatur sebuah negara. Ini karena demokrasi memberikan ruang terbuka bagi siapa saja untuk bereksistensi dan juga mendapatkan hak yang setara.
Demokrasi memungkinkan siapa pun untuk berbuat dan mendapatkan akses yang sama dalam hal apa pun, termasuk menjadi pemimpin. Inilah yang menjadi alasan utama mengapa negara ini tetap harus menggunakan sistem demokrasi.
Namun, di sisi lain, Indonesia juga dihuni mayoritas agama Islam. Dari sebagian besarnya, umat Islam di Indonesia masih sangat konservatif melihat persinggungan perihal hubungan negara dan Islam. Dari mulai wacana penggunaan 7 kalimat dalam Piagam Jakarta, Perda Syariat, dan terakhir isu khilafah—semuanya merupakan cara pandang yang menganggap negara harus diatur sepenuhnya dengan cara Islam.
Fakta-fakta inilah yang kemudian menyebabkan proses demokrasi di Indonesia berjalan kelimpungan karena adanya geliat dan gelinjang perlawanan dari kelompok-kelompok “nyentil”. Di sisi yang lain negara kesulitan mengontrol kelompok “nyentil” ini, karena juga didukung oleh proses demokrasi itu sendiri.
Mengontrol kelompok “nyentil” ini malah akan merusak tataran demokrasi yang telah dibangun secara bebas dan terbuka pasca reformasi. Hak-hak mereka untuk dapat berargumen serta mendapatkan ruang ekspresi dijamin oleh sistem demokrasi dan konstitusi Indonesia saat ini. Maka, sangat tidak bijak bagi negara untuk mengontrol kelompok “nyentil” ini.
Dalam prahara yang sedang dihadapi Ahok saat ini, misalnya negara menghalangi gerakan demo besar-besaran yang dikomandoi oleh FPI, justru akan merusak wajah demokrasi. Namun, jika dibiarkan secara bebas juga menyebabkan hate speech kian bersarang telak di telinga-telinga masyarakat. Pembiaran hate speech yang dilakukan juga menyalahkan demokrasi sehat yang menjadi mimpi negeri ini. Terlihat demokrasi menjadi pisau bermata dua dalam prahara Ahok saat ini.
Untuk itu, kita sebagai masyarakat yang masih memimpikan demokrasi yang sehat serta merata harus merelakan keberadaan kelompok “nyentil”. Di samping membiarkan keberadaan mereka, kita sebagai pemimpi demokrasi tetap harus membuka ruang-ruang dialog yang menyasar ke masyarakat. Kenyataan saat ini ialah, klaim keimanan masih sangat diterima nalarnya oleh masyarakat kita.
Untuk itu, perdebatan yang terbaik untuk dilakukan bukan hanya menyasar pada ruang-ruang akademis, melainkan juga ruang-ruang masyarakat bawah. Nalar penerimaan demokrasi sering mendapatkan hadangan dari masyarakat bawah ketika memaksakan demokrasi harus diterima melalui jalan keimanan. Pidato-pidato serta paper-paper yang membahas relasi hubungan antara Islam dan demokrasi tidak semua dipahami masyarakat bawah.
Kita harus menyadari cara ini tidak memberikan hasil mumpuni ketika berhadapan dengan masyarakat yang sangat konservatif. Untuk itu, upaya yang dilakukan adalah penguatan kesadaran kehidupan kewargaan yang tidak lagi dipaksakan harus diterima secara teologis, melainkan secara kenegaraan.
Masyarakat harus sadar, di samping adanya kewajiban untuk berkeimanan sesuai dengan ajarannya, mereka juga harus menyadari adanya kesetaraan kewargaan. Ini membuat pendekataan demokrasi tidak harus dihadapkan keimanan tertentu. Demokrasi akan dilihat sebagai hal bernegara, bukan berkeimanan.