Menjelang perhelatan politik pemilu legislatif (Pileg) dan pemilu Presiden (Pilpres), pragmatisme menjadi fenomena yang sangat lekat dengan proses politik. Penentuan siapa yang diusung atau didukung menjadi pasangan capres-cawapres, pragmatisme menjadi pertimbangan utama—walau dalam kepentingan komunikasi politik kerap dibalut dengan idealisme. Pragmatisme yang dimaksud, yang paling utama menyangkut faktor keterpilihan (elektabilitas) capres-cawapres.
Pragmatisme politik semacam ini kerap menuai kritik karena elektabilitas sejatinya tidak identik dengan kualitas. Tapi perlu juga digarisbawahi bahwa antara elektabilitas dan kualitas bukan dua hal yang bertentangan. Sangat mungkin, yang elektabilitasnya tinggi juga memiliki kualitas yang bagus. Oleh karena itu, pragmatisme partai politik dalam menentukan pilihan capres-cawapres tidak selalu negatif.
Seperti elektabitas yang tidak selalu bertentangan dengan kualitas, pragmatisme juga tidak selalu bertolak belakang dengan idealisme. Dalam partai politik, antara pragmatisme dan idealisme bisa berjalan beriringan, meskipun kadang bersitegang. Diakui atau tidak, ada korelasi yang positif antara pragmatisme dengan fungsi partai politik sebagai agregator kepentingan rakyat.
Pragmatisme tak selalu menjadi lawan idealisme. Karena dalam politik, pragmatisme bisa menjadi modal dasar dalam membangun idealisme. Ibarat tubuh manusia, pragmatisme berfungsi sebagai panca indera yang bersentuhan langsung dengan realitas; sedangkan idealisme merupakan kombinasi akal sehat dan hati nurani. Akal sehat dan hati nurani hanya bisa berfungsi maksimal dengan bantuan panca indera yang setiap saat menyaksikan dan merasakan langsung realitas sosial.
Dalam politik, pragmatisme merupakan keniscayaan karena terkait erat dengan aspirasi dan kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat. Untuk bisa memperjuangkan dan bahkan merealisasikan aspirasi dan kebutuhan-kebutuhan itulah, kekuasaan politik diperlukan. Memang banyak tantangan, terutama godaan penyalahgunaan jabatan. Tapi justru karena adanya tantangan itulah, akal sehat dan hati nurani berfungsi sebagai pemandu agar kekuasaan tetap berjalan pada relnya; agar kekuasaan difungsikan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat.
Mari kita lihat, aspirasi dan kepentingan apa yang dibutuhkan rakyat? Dalam sejumlah survei, publik lebih meminati pemimpin dan partai politik yang mampu menyelesaikan masalah-masalah yang secara riil mereka hadapi setiap saat seperti kemiskinan, pengangguran, banjir dan kemacetan di ibu kota, dan hal-hal praktis lainnya.
Pada saat kebutuhan-kebutuhan praktis ini dikontraskan dengan persoalan moralitas dan keyakinan agama, misalnya, publik lebih cenderung memilih kebutuhan-kebutuhan praktis. Jargon bahwa agama, atau syariat bisa menyelesaikan segala masalah masih terlalu absurd dan lebih terkesan sebagai alat politik ketimbang sebagai sikap hidup dari partai-partai yang mengampanyekannya.
Inilah saya kira tantangan terberat partai-partai yang mengusung tema-tema agama. Partai-partai agama, setidaknya untuk saat ini, tidak mampu memperoleh suara signifikan antara lain disebabkan karena gagal membangun korelasi yang positif antara jargon yang dikampanyekan dengan kebutuhan rakyat.
Kasus Pemilukada serentak tahap ketiga yang berlangsung Juni 2018 menunjukkan dengan jelas munculnya upaya-upaya menjadikan agama sebagai isu politik. Tapi, di beberapa daerah, seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan, menjadi bukti yang sulit dibantah bahwa masyarakat lebih memilih pemimpin yang dinilai mampu menyelesaikan masalah ketimbang yang membawa-bawa isu agama.
Mengapa kampanye dengan menggunakan terminologi agama kurang begitu diperhatikan oleh para pemilih, termasuk pemilih Muslim? Penyebabnya tentu bukan karena agamanya yang buruk, atau bukan karena Islamnya yang tidak laku. Tapi karena kemasan agama yang dibawa para tokoh dan partai-partai Islam sama sekali tidak bersentuhan langsung dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Padahal, kunci kemenangan partai politik antara lain berada pada sejauh mana fungsinya dalam menyelasaikan kebutuhan-kebutuhan itu.
Artinya, jika partai-partai Islam masih ingin eksis, strategi perjuangan mereka harus diubah. Bagaimana meyakinkan publik bahwa moralitas agama benar-benar menjadi kebutuhan dasar manusia bukan perkara gampang. Mungkin, cara yang bisa ditempuh adalah dengan menerjemahkan agama dengan realitas sosial politik yang benar-benar dibutuhkan masyarakat. Partai agama harus mengusung tema-tema yang pragmatis.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pernah membuktikan dengan jargon bersih dan peduli, perolehan suaranya naik secara signifikan—padahal semua orang tahu, PKS adalah partai Islam, tapi publik memilih PKS bukan karena pertimbangan agamanya, tapi lebih pada komitmennya untuk melahirkan politisi-politisi yang bersih dan peduli pada kepentingan masyarakat. Tapi apa yang terjadi setelah tokoh utama, Luthfi Hasan Ishaq, tersandung masalah korupsi? Popularitas dan elektabilitas PKS langsung anjlok.
Maka, sekali lagi, setiap partai politik yang menginginkan dukungan signifikan, pilihan pragmatislah yang seyogianya ditempuh. Pragmatis dalam pengertian yang positif, yakni responsif dan mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat.
Masyarakat kita umumnya sudah cukup cerdas. Mereka mampu membedakan mana pragmatisme yang positif dan mana idealisme yang kadang hanya berisi buaian yang sulit dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari.