Prabowo Subianto adalah seorang pemimpin partai dengan perolehan suara urutan 3 pada Pemilu 2014. Tidak hanya itu, ia adalah pemimpin kelompok oposisi yang menguasai DPR di awal periode politik 2014-2015. Artinya, ia punya modal politik yang sangat besar. Sayangnya, dengan modal sebesar itu ia tak memainkan peran politik yang memadai.
Apa peran politik oposisi? Oposisi bisa disebut sebagai alternative government. Sederhananya, oposisi adalah pemerintahan tandingan. Tugasnya adalah menantang dan mengoreksi pemerintah, dengan memberikan alternatif terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Ambil contoh soal pembangunan infrastruktur yang dibanggakan oleh pemerintah di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo. Prabowo pernah mengritik soal ini. Menurutnya, infrastruktur yang dibangun oleh Jokowi hanya melulu berupa jalan tol, yang tidak banyak menyentuh kebutuhan rakyat kecil. Sebagai sebuah kritik, tema ini sebenarnya bisa menjadi sebuah kritik yang kuat, karena langsung menghujam ke arah jantung kebijakan pemerintah. Sayangnya, kritik ini hanya jadi seperti celetukan dalam obrolan di warung kopi, karena tidak didukung oleh data yang sahih, dan tidak dirumuskan dengan struktur yang baik.
Banyak hal yang sebenarnya bisa dikritik dalam hal pembangunan infrastruktur yang dijalankan oleh Jokowi. Mulai dari alokasi anggaran, sumber pembiayaan, manajemen pembangunan, sampai ke efek ekonominya. Benarkah, misalnya, dana hasil penghapusan subsidi BBM yang memberatkan rakyat, dipakai untuk membangun infrastruktur sebagaimana diklaim dalam kebijakan penghapusan subsidi? Kalau benar, kenapa masih perlu berutang?
Sudah tepatkah pemilihan objek-objek yang dibangun? Benarkah objek-objek itu punya efek ekonomi? Contoh yang lebih spesifik adalah pembangunan Bendungan Tanju di NTB, yang digambarkan akan mampu mendongkrak hasil pertanian di wilayah itu. Benarkah sebuah bendungan di daerah minim hujan akan efektif?
Dalam hal utang, juga tidak ada rumusan anggaran pembanding APBN yang diajukan pemerintah. Bagaimana postur APBN yang lebih baik, yang tidak perlu lagi berutang? Bagaimana alokasinya untuk pembangunan, dan bagaimana efek yang bisa dihasilkan?
Kita tidak menyaksikan kritik-kritik seperti itu keluar dari Prabowo Subianto dan timnya. Yang keluar hanya tadi, kritik sekelas celetukan di warung kopi. Atau yang lebih konyol, kritik berbasis novel fiksi. Selama hampir 5 tahun menjadi pemimpin oposisi, Prabowo tidak memainkan peran oposisi yang berkualitas.
Kenapa begitu? Karena ia hanya ingin jadi presiden. Ini pola pikir khas politikus Indonesia. Eksekutif adalah segalanya. Kalau tidak dapat peran eksekutif, mereka tidak merasa perlu mengambil peran lain. Itulah sikap Prabowo Subianto. Ia berperan sebagai oposisi ala kadarnya.
Membangun kritik substantif seperti yang saya uraikan di atas memang tidak mudah. Kritik seperti itu memerlukan kerja intelektual yang tidak sedikit. Sementara itu efeknya di hadapan pemilih yang sebagian besar adalah pemilih emosional tidak banyak. Karena itu kritik substansial bukanlah pilihan yang menarik dalam konteks menjaring popularitas. Publik lebih mudah disentuh emosinya dengan jargon-jargon yang menyengat. Itulah dasar berpikir kenapa Prabowo Subianto lebih suka melontarkan pernyataan-pernyataan aneh dan konyol. Ia ingin membuat sengatan.
Sayangnya pihak lawan juga tidak diam. Jokowi punya begitu banyak modal untuk memainkan jargon-jargon emosional. Terlebih ia berada di panggung eksekutif, dengan sorotan media yang berlimpah. Pertarungan menjadi sangat tidak seimbang. Hasilnya, elektabilitas Prabowo jauh di bawah Jokowi—meski ia masih meraih elektabilitas tertinggi dibanding calon penantang yang lain.
Yang tidak kalah konyol adalah ia mencoba memainkan jargon-jargon Islam politik. Prabowo Subianto dicitrakan sebagai tokoh pembela Islam, pemimpin dari kalangan umat Islam. Maaf, itu sangat tidak pas. Prabowo sama sekali tidak berwajah Islam. Saya kira dia pun sadar soal itu. Gerindra pun bukan partai dengan corak Islam. Prabowo dan Gerindra hanya kebetulan tercebur dalam kolam yang sama dengan PKS dan PAN, 2 partai berbasis massa Islam.
Prabowo Subianto memainkan jargon Islam politik itu salah kostum, seperti orang berkostum silat di lapangan sepak bola.
Pilpres tinggal sebentar lagi. Tidak banyak waktu yang tersisa bila Prabowo hendak merumuskan ulang strategi politiknya. Tapi sebenarnya itu pun bukan masalah, selama Prabowo mau memainkan peran oposisi yang berkualitas. Ingatlah bahwa rakyat tidak hanya mengenang para presiden. Orang-orang seperti Mohammad Hatta dan Ali Sadikin juga terus dikenang rakyat, sebagai tokoh yang kritis. Kritis yang bermutu, tentu saja.
Maukah Prabowo Subianto mengambil peran itu?