Di jagat selancar dunia, Indonesia adalah nama yang harum. Sejarawan selancar Matt Warshaw menyebut Indonesia sebagai zona ombak paling kaya di dunia, dengan lebih dari 4000 kilometer rangkaian ombak membentang dari Aceh hingga Rote, di tempat-tempat yang berhadapan dengan Samudra Hindia. Itu belum termasuk wilayah-wilayah yang berbatasan dengan Samudra Pasifik, seperti Morotai dan Biak.
Belakangan, ombak-ombak yang menggulung di Indonesia disorot publik yang lebih luas. Hajatan World Surf League (WSL) tahun 2022 mampir di Pantai Plengkung, Banyuwangi, Jawa Timur. Dalam kamus peselancar, tempat ini disebut G-Land. Edisi kali ini bisa dibilang spesial, karena menandai 25 tahun sejak WSL terakhir kali dihelat di G-Land, salah satu titik ombak legendaris di kalangan peselancar.
Untuk memahami pesona G-Land bagi peselancar, kutipan di film selancar Drift mungkin bisa sedikit menggambarkan. “Jika Tuhan berselancar, ombak itu pasti adalah ombak favoritnya (If God surfed, that would be His home break),” ujar salah satu tokoh dalam film, menceritakan tentang G-Land. Sedangkan, peselancar kawakan Gerry Lopez menyebut G-Land sebagai ‘biara bagi peselancar’ karena lokasinya yang terpencil.
Sejak mulanya, G-Land adalah mitos selancar. Ada beberapa versi tentang kisah ‘penemuan’-nya. Salah satu versi paling umum menyebut dua peselancar bernama Bob Laverty dan Bill Boyum, yang pada pertengahan 70-an mengadakan ekspedisi untuk mencari ombak yang sempat dilihat Laverty dari atas pesawat, dalam perjalanannya menuju Bali. Mereka akhirnya tiba di Grajagan, dan dari sana dibawa nelayan lokal ke Plengkung, tempat ombak itu berada. Mereka menamai titik ombak itu G-Land, meski Plengkung sebenarnya terletak jauh dari Grajagan. Setelah perjalanan perdana itu, Bill kembali ke sana bersama adiknya, Mike. Boyum bersaudara lalu membangun kamp selancar (surf camp) pertama di dunia, memakai bambu dan kayu yang didapat di sekitar Plengkung, yang merupakan bagian dari Alas Purwo, habitat alami harimau jawa, banteng, dan berbagai spesies lain.
Wisata selancar sebagai ceruk
Maju ke 2022, wajah Plengkung jelas berubah. Ia bukan lagi Plengkung yang sama yang didapati Laverty dan Boyum setengah abad lalu. Beberapa akomodasi selancar telah berdiri sejak lama di sana. Ribuan peselancar telah menyambanginya. Satu yang sama: ombak G-Land tetap menggulung, memukau dan menggoda peselancar menungganginya.
Dari perspektif pariwisata klasik, ombak adalah “atraksi” yang mampu memikat (to attract) sekelompok orang untuk mengunjungi suatu tempat. Tanpa ombak, Plengkung mungkin tak akan seperti sekarang, demikian pula tempat-tempat selancar lain. Ombak mendorong orang datang, memicu berkembangnya jasa akomodasi, transportasi, dan segala macamnya, dan lalu menumbuhkan apa yang disebut sebagai industri wisata selancar.
Wisata selancar adalah ceruk wisata yang kecil, tapi besar. Ia mungkin kalah populer dibanding ceruk wisata lain, seperti ekowisata, wisata heritage, wisata religi, atau wisata kuliner. Aktivitas selancar sering kali hanya dimasukkan sebagai bagian dari wisata olahraga, wisata pantai dan bahari, atau wisata petualangan. Namun, sebenarnya ceruk kecil ini dapat berdiri sendiri dan memiliki potensi ekonomi yang menjanjikan.
Sebuah studi menyebut bahwa, sebelum pandemi, 35 juta peselancar di dunia menghabiskan 465 sampai 945 triliun rupiah per tahun untuk berselancar di luar negara asalnya. Bahkan, di Uluwatu saja, studi lain mengestimasi wisata selancar di sana bernilai 509 miliar rupiah per tahunnya. Studi saya di Mentawai mendapati bahwa, sebelum pandemi, retribusi wisata selancar berkontribusi hingga 20 persen dari total Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Nilai potensi wisata selancar di atas salah satunya dipengaruhi kebiasaan turis-peselancar untuk tinggal lebih lama di suatu tempat dibanding wisatawan massal. Itu karena ombak untuk selancar belum tentu ada setiap harinya. Menunggu ombak adalah bagian penting dalam perjalanan selancar. Dan, untuk menunggu ombak yang tepat, peselancar bisa menghabiskan berhari-hari atau berminggu-minggu di suatu tempat. Maka, ceruk wisata selancar secara tak langsung sebenarnya mendukung konsep slow travel, di mana perjalanan wisata berdurasi lebih lama dan lebih mendalami lokalitas di suatu tempat, serta dalam prosesnya potensial untuk berkontribusi lebih bagi ekonomi lokal.
Jalan keluar dari wisata massal?
Di Indonesia, titik ombak selancar membentang dari Simeulue hingga Cimaja, dari Pacitan hingga Nemberala. Banyak di antara tempat itu mungkin jauh dari gegap gempita proses pembangunan pariwisata nasional, apalagi di(super)prioritaskan, tapi mereka bertahan dengan ceruk wisata yang kecil dan berakar dari bawah. Dalam konteks pembangunan pariwisata yang lebih berkelanjutan, fokus ke wisata ceruk (niche tourism) sebenarnya adalah sesuatu yang perlu ditempuh pemangku kepentingan terkait.
Pembangunan pariwisata kita selama ini didominasi paradigma, wacana, dan praktik wisata massal, yang bobroknya pelan-pelan telah dikuliti lewat isu keberlanjutan lingkungan, komodifikasi budaya, atau overtourism. Berfokus pada ceruk wisata yang selama ini diabaikan tapi sejatinya potensial, seperti wisata selancar, bisa menjadi jalan keluar dari narasi pembangunan pariwisata yang berorientasi pada wisata massal. Ceruk wisata yang kecil biasanya lebih tidak destruktif secara sosio-ekologis.
Tapi, untuk merealisasikan anggapan itu, kita perlu mengingat wanti-wanti jurnalis selancar Steve Barilotti, yang pada 2002 menulis keresahannya saat berkunjung ke Indonesia: “Meskipun aktivitas selancar pada dasarnya tidak eksploitatif, seketika peselancar membangun kolektif bersama di sekitar ombak tenar seperti Jeffreys Bays atau Uluwatu, dampak kolonisasi manusia—sampah, jalan, erosi, polusi air, pembangunan, degradasi lingkungan, reduksi sumber daya—akan mengikuti tanpa terelakkan.”
Tantangannya adalah memastikan proses pembangunan dan pengelolaan wisata selancar dilakukan secara partisipatif, berorientasi ke masyarakat lokal, berakar pada kultur setempat, dan bertanggung jawab secara ekologis. Hal-hal semacam itu penting karena wisata selancar pun tak steril dari persoalan kebocoran ekonomi yang diakibatkan aktor non-lokal, degradasi dan polusi lingkungan, serta dampak sosial-budaya yang negatif.