Kali ini jagat ruang publik dihebohkan dengan sebuah polemik: sahkah politisasi masjid? Bolehkah masjid dipolitisasi?
Pertanyaan di atas adalah pertanyaan absurd. Masjid, seperti halnya gereja dan tempat ibadah yang lain, adalah institusi sosial. Sebagai institusi sosial, ia tidak dapat dilepaskan dari politik. Pertanyaan yang tepat dan kontekstual dalam melihat hubungan masjid dan politik, bukanlah apakah masjid harus terpisah atau terhubung dengan politik, namun kepada siapa dan kelompok sosial manakah keberpihakan masjid dalam realitas sosial diabdikan?
Saya tidak akan membangun argumen ini dari pengandaian ideal tentang hubungan agama dan politik; seperti dalam cara pandang kalangan integralis bahwa Islam sebagai agama tidak dapat dipisahkan dari politik; atau sebaliknya, dari kalangan yang mempercayai tesis sekuler bahwa Islam harus dipisahkan dari politik. Artikel ini tidak berangkat dari pengandaian spekulatif filosofis tapi berjejak pada pada realitas sosial.
Dalam paradigma kritis, realitas sosial bukanlah ruang yang netral, corak masyarakat yang ada di dalamnya tidak dapat dilepaskan dari relasi kekuasaan. Relasi kekusaaan yang terhubung dengan susunan masyarakat yang menyejarah terkait corak produksi, bangunan politik kenegaraan, maupun tatanan kebudayaan yang menentukan rambu-rambu moralitas. Relasi yang merawat dan menentukan kekuatan sosial manakah yang berkuasa dan beruntung dan kelompok manakah yang terisap dan teraniaya. Mereka yang berkuasa menggunakan negara sebagai alat dominasi, sementara ruang masyarakat sipil seperti universitas, media massa, dan rumah ibadah seperti masjid menjadi arena tempat pertarungan ide, gagasan, dan keyakinan antar kekuatan sosial baik untuk melanggengkan posisi dominan mereka maupun menantang tatanan status quo bagi mereka yang terhisap dan teraniaya.
Dengan penggambaran di atas, maka pertanyaan tentang apakah masjid dan politik harus terpisah ataupun terintegrasi adalah sebuah pertanyaan absurd. Mengingat bahwa masjid meskipun dipandang sebagai rumah Tuhan dalam kenyataannya tetap tidak terisolasi dari realitas sosial. Masjid seperti halnya gereja dan tempat ibadah yang lain adalah institusi sosial yang tidak kedap dari beroperasinya relasi kekuasaan yang merawat tatanan dan yang menentukan siapa berkuasa siapa sengsara, siapa beruntung siapa buntung. Adalah lebih tepat apabila pertanyaan tersebut diubah menjadi untuk tujuan apakah masjid dipolitisasi?
Lalu bagaimanakah posisi kalangan ulama, resi maupun pendeta yang mengaku “berumah di atas angin”? Mereka yang menyatakan bahwa urusan mereka maupun “rumah Tuhan” yang dikelolanya hanya berhubungan dengan hal spiritual dan tidak berhubungan dengan politik dan bumi kemanusiaan yang becek dari pertarungan kekuasaan. Di balik aura spiritual yang menjadi atribut busana mereka, sesungguhnya mereka terhubung dengan kekuatan-kekuatan sosial, baik yang berkepentingan untuk melestarikan corak kekuasaan maupun mereka yang menantangnya. Sadar ataupun tidak, di atas mimbar, para penjaga “rumah Tuhan” berperan sebagai produsen dan distributor moral dan intelektual, penghantar narasi hegemoni bagi kepentingan kekuatan sosial dominan maupun yang marjinal. Begitulah Antonio Gramsci seorang intelektual-aktivis merefleksikan relasi intelektual dan politik di kamar sel penjaranya yang pengap di Italia pada era fasisme.
Siapakah yang Mempolitisasi Masjid?
Apabila kita kembali pada polemik aktual tentang politisasi masjid, apabila masjid sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari politik, apakah dengan demikian kekuatan politik yang saat ini menegaskan tentang absahnya politisasi masjid, dengan sendirinya berada pada posisi politik yang benar? Nanti dulu, sabar …. Mari kita telusuri dan bongkar posisi sosial dari mereka yang saat ini mempropagandakan politisasi masjid.
Tanpa harus menelusuri kerumitan penjelasan teologis, tentu saja akan tampak jelas perbedaan antara kalangan ulama yang berkhotbah menggugat keberpihakan negara atas kepentingan ekonomi korporasi—yang mengambil tanah warga dan menghancurkan lingkungan—dengan mereka yang menyerukan politisasi masjid sementara catatan sejarahnya memperlihatkan perkawanan dengan mereka yang saat berkuasa memberi izin HPH jutaan lahan hutan dan tanah bagi kepentingan borjuis penjarah—yang berakibat penghancuran ekosistem di berbagai tempat di Indonesia.
Mengenang ke belakang, tentu kita bisa membedakan antara ceramah-ceramah almarhum KH Abdurrahman Wahid di mimbar masjid yang menegaskan bahwa ajaran-ajaran Islam sejalan dengan cita-cita liberasi sosial dan demokrasi, dengan kalangan ulama yang menganjurkan politisasi masjid sambil merangkul kelompok yang selama tiga puluh dua tahun menjadikan kekayaan republik sebagai kekayaan keluarganya, koleganya dan para pendukung-pendukungnya.
Sayangnya, saat ini begitu langka contoh-contoh praksis tetang keterhubungan antara masjid, agama dan politik yang mengabarkan cita-cita solidaritas dan emansipasi, dan begitu banyaknya contoh-contoh politisasi masjid untuk kepentingan penyebaran kebencian dan memperkuat posisi politik dari kalangan elite bisnis-politik para penjarah. Padahal ketika hanya masjid dan agama yang dimiliki oleh orang-orang miskin dan terpinggirkan, kaum elite yang mengeksploitasi politisasi masjid sejatinya tengah mengambil satu-satunya yang dimiliki oleh mereka yang tengah terisap.
Sementara di sisi lain, setiap propaganda tentang politisasi masjid tidak pernah menyinggung ayat-ayat profetis dalam Al-quran yang memberikan seruan sangat keras kepada kaum pengisap dan penindas, seperti ,”Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan membela orang-orang yang lemah, baik laki-laki dan perempuan-perempuan maupun anak-anak yang semuanya berdoa: ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Makkah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!’” (QS An-Nisa’: 75)
Atau ayat ini, ”Mereka mengumpulkan kekayaan dan menimbunnya, mereka mengira kekayaan akan mengekalkannya. Sama sekali tidak! Mereka akan dilontarkan dalam Huthamah, apakah huthamah itu? Yaitu api yang dinyalakan Allah, (yaitu) api (yang disediakan) yang (membakar) sampai ke hati. Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka, (sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang.” (QS Al-Humazah 1-9).
Ayat-ayat di atas sangat jarang disinggung konteks sosiologisnya dalam merumuskan hubungan-hubungan agama, politik, dan kekuasaan.