Banyak kalangan berpendapat bahwa peristiwa politik yang terjadi pada 2018 dan 2019 akan menjadi momentum bagi umat Islam untuk menunjukkan jati dirinya di pentas politik nasional. Pendapat ini tak bisa dilepaskan dari fenomena politik 212 yang dianggap sebagai titik awal kebangkitan politik Islam di Tanah Air.
Di luar itu, ada juga yang berpendapat bahwa peristiwa politik 2018 dan 2019 adalah pesta demokrasi rutinitas yang biasa saja. Kalaupun ada gejolak, itu lebih disebabkan karena naiknya suhu politik. Sama seperti air yang mendidih pada saat berada di atas tungku yang apinya menyala-nyala.
Jadi, fenomena politik 212 hanya menjadi bagian dari proses pemanasan suhu politik yang biasa. Terlalu berlebihan untuk disebut sebagai awal kebangkitan politik Islam.
Peta Politik Kekinian
Untuk melihat peta politik secara proporsional, ada sejumlah hal yang harus kita perhatikan. Pertama, peta politik saat ini ibarat peta kusam yang tidak mudah dibaca karena konstelasinya sangat cair, terutama jika dilihat dari peta koalisi partai-partai, antara yang ada di pusat (DPR RI) tidak konsisten dengan yang di daerah-daerah (DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota).
Kedua, alur politik tidak berjalan linier akibat rendahnya party-id di umumnya partai politik. Memang, ada partai-partai ideologis seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), namun tetap tidak mengurangi jumlah undecided voters dari tahun ke tahun, dari pemilu ke pemilu.
Ada “massa mengambang” yang memilih partai bukan karena ikatan ideologi, tapi lebih karena kepentingan pragmatis, bersifat jangka pendek, dan sangat kondisional. Seseorang memilih partai atau kandidat bukan disebabkan karena konsistensi mempertahankan agama atau ideologi yang bersifat subjektif, tapi lebih karena alasan-alasan objektif yang berhubungan dengan kebutuhan hidupnya sehari-hari, yang bisa dirasakan oleh semua orang tanpa kecuali.
Ketiga, kepiawaian konsultan politik, figur sentral yang berpengaruh, relawan yang militan, dan kecanggihan tim sukses dalam mengemas isu, secara signifikan ikut menyumbang percepatan tingkat popularitas yang berimplikasi pada peningkatan elektabilitas.
Keempat, untuk melihat peta politik riil, rujukan yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademis dan politis adalah hasil Pemilu 2014 dan prediksi-prediksi yang dilakukan sejumlah lembaga survei yang kredibel, yang sudah terbukti akurasinya dalam memperkirakan hasil beberapa peristiwa kontestasi politik.
Menurut hasil Pemilu 2014, perolehan suara partai-partai adalah: (1) PDI Perjuangan 109 kursi dari 23.681.471 (18,95%) suara; (2) Golkar 91 kursi dari 18.432.312 (14,75%) suara; (3) Gerindra 73 kursi 14.760.371 (11,81%) suara; (4) Demokrat 61 kursi 12.728.913 (10,19%) suara; (5) Partai Amanat Nasional 49 kursi dari 9.481.621 (7,59%) suara; (6) Partai Kebangkitan Bangsa 47 kursi dari 11.298.957 (9,04%)suara; (7) Partai Keadilan Sejahtera 40 kursi dari 8.480.204 (6,79%) suara; (8) Partai Persatuan Pembangunan 39 kursi dari 8.157.488 (6,53%) suara; (9) Partai Nasional Demokrat 35 kursi dari 8.402.812 (6,72%) suara; dan (10) Partai Hati Nurani Rakyat 16 kursi dari 6.579.498 (5,26%) suara.
Menurut prediksi sejumlah lembaga survei, jika pada bulan-bulan ini pemilu digelar, secara garis besar perolehan suara partai belum bergeser jauh dari perolehan suara Pemilu 2014. Untuk partai besar (posisi pertama sampai keempat) masih sama, cuma kadang terjadi pertukaran posisi antara Golkar dan Gerindra.
Dan untuk partai-partai menengah juga demikian, antara PKB, PPP, PKS, dan PAN hanya bertukar posisi. Di posisi berikutnya ada Nasdem dan Hanura yang kadang disodok Perindo.
Di Mana Posisi Umat Islam?
Untuk menjawab pertanyaan ini, ada pertanyaan lanjutan, siapa yang dimaksud dengan umat Islam? Jika yang dimaksud adalah semua pemilih yang beragama Islam, maka jawabannya berada di semua partai politik.
Jika yang dimaksud adalah pendukung dan aktivis Partai Islam, mereka terkonsentrasi di partai-partai berasaskan Islam, atau yang berbasis dukungan massa Islam.
Dan jika yang dimaksud adalah pendukung negara Islam, mungkin hanya berada di sebagian partai berasaskan Islam. Andaikan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) diizinkan dan menjadi partai politik peserta pemilu, saya yakin para pendukung negara Islam akan terkonsentrasi di partai ini.
Mengapa posisi umat Islam relatif menyebar di semua partai politik? Karena tumbuhnya kesadaran akan pentingnya mengekspresikan apa yang disebut Prof Dr Ahmad Syafii Maarif atau Buya Syafii sebagai Islam dalam bingkai keindonesiaan. Tumbuhnya kesadaran ini sudah tercermin sejak periode awal pembentukan republik Indonesia.
Ekspresi yang sama juga tercermin dalam upaya melebur perbedaan etnis, bahasa, dan antargolongan. Egoisme mayoritas bisa dikesampingkan, misalnya dengan menetapkan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional, bukan Jawa atau Sunda.
Ekspresi Islam dalam konteks keindonesiaan ini sejalan dengan misi Islam sebagai agama yang rahmatan lil-‘alamin. Islam yang dalam pergaulan sehari-hari tidak membeda-bedakan suku, ras, bahasa, bahkan agama itu sendiri. Untuk membangun semangat keindonesiaan, para pendiri negara bisa bersatu dalam perbedaan. Mereka betul-betul mengamalkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Para elite partai yang berperan mengelola negara saat ini seyogianya bercermin kepada para pendiri bangsa tersebut dalam bahu membahu membangun Indonesia agar menjadi negara yang maju, adil, dan bermartabat. Negara maju artinya berbudaya, beradab, dan berkembang sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Rasio jumlah penduduk dengan ilmu pengetahuan di berbagai bidang berada pada titik yang dibutuhkan, budaya membaca berada pada skala yang maksimal, dan tidak ada penduduk yang buta huruf.
Negara bisa disebut adil pada saat mampu menjaga proporsionalitas dalam berbagai bidang, terutama hukum, politik, dan ekonomi. Dalam bidang hukum akan benar-benar terwujud pada saat tidak ada pihak yang merasa diperlakukan secara tidak adil.
Dalam politik, keadilan artinya memfungsikan semua cabang kekuasaan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) pada jalur yang benar sehingga terbangun politik keseimbangan. Dan dalam ekonomi, keadilan bermakna tidak adanya kesenjangan yang lebar, rasio gini berada pada skala yang ideal.
Sedangkan negara bermartabat merupakan implikasi positif dari kemajuan dan keadilan. Artinya, jika kemajuan sudah bisa dicapai, dan keadilan sudah bisa ditegakkan dalam suatu negara, maka dengan sendirinya negara tersebut akan bermartabat baik di mata rakyatnya sendiri maupun di mata negara-negara lain.
Bagaimana cara umat Islam berkontribusi melahirkan negara yang maju, adil, dan bermartabat? Yang paling pokok ada dua cara yang bisa ditempuh. Pertama, dengan mengedepankan politik “garam”, bukan politik “gincu”.
Istilah politik garam mengacu pada implementasi politik yang mengedepankan nilai-nilai Islam tanpa harus mengangkat bendera Islam secara formal. Watak garam sebagai bumbu, bisa menyedapkan masakan walaupun tidak kelihatan. Dan watak garam juga melebur dalam segala jenis masakan tanpa kecuali.
Ini bertolak belakang dengan watak gincu yang tampak di bibir setiap orang yang memakainya, tapi sulit atau bahkan tidak bisa dirasakan. Gincu tak lebih dari sekadar hiasan untuk mempercantik paras dan mempermanis bibir.
Politik garam sudah dipraktikkan para tokoh Islam yang ikut mendirikan bangsa ini. Misalnya, tanpa menyebut Islam sebagai dasar negara, tapi nilai-nilai keislaman tersublimasi dalam Pancasila dan UUD 1945. Sejumlah terminologi Islam seperti “adil”, “hikmah”, “permusyawaratan”, dan “rakyat” tidak bisa dipisahkan dari Pancasila. Apalagi dalam UUD 1945 konsep-konsep yang berasal dari terminologi Islam tentu lebih banyak lagi jumlahnya.
Kedua, dengan berpartisipasi aktif dalam memajukan bangsa dan negara (sesuai potensi, minat, dan bakat yang dimilikinya masing-masing). Keterlibatan umat Islam secara aktif dan konstruktif dalam berbagai ranah kehidupan akan dengan sendirinya menjadikan Islam sebagai agama yang berkemajuan. Dan untuk meningkatkan peran yang dimaksud, peningkatan kapasitas baik secara individual maupun institusional (lembaga-lembaga keagamaan) merupakan keniscayaan.
Kolom terkait:
Kepulangan Rizieq dan Arah Gerakan 212
Hoaks Baik bagi Demokrasi? Tunggu Dulu!