Selasa, Oktober 8, 2024

Uji Kompetensi, Modernisasi Partai, dan Pemilih Milenial

Ali Rif'an
Ali Rif'an
Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia

Istilah “uji kompetensi” selama ini lebih sering dikaitkan dengan rekrutmen tenaga pengajar, tenaga kesehatan, ataupun tenaga profesional lainnya. Namun sangat jarang—bahkan mungkin tidak ada—uji kompetensi dipakai dalam konteks rekrutmen politik. Karena itu, adanya uji kompetensi terhadap para calon anggota legislatif (caleg) 2019 yang digelar Partai Solidaritas Indonesia (PSI) baru-baru ini merupan terobosan segar yang patut disambut baik.

Dalam uji kompetensi itu, 11 tokoh independen non-partai didaulat sebagai penelis. Mereka antara lain adalah mantan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, dan mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bibit Samad Rianto.

Menurut hemat saya, ada sejumlah alasan penting mengapa uji kompetensi calon wakil rakyat layak didukung. Pertama, uji kompetisi merupakan upaya trasnparansi rekrutmen partai politik. Pasalnya, sudah jadi rahasia umum proses rekrutmen atau seleksi calon legislatif selama ini diwarnai oleh aroma kolusi, nepotisme, dan bahkan transaksional. Istilah “uang perahu” ataupun “mahar politik” kerap menyembul tiap rekrutmen politik digelar.

Hadirnya transparansi dalam rekrutmen politik—bahkan prosesnya diunggah ke ruang daring melalui media sosial—merupakan kabar baik bagi perkembangan demokrasi tanah air. Sebab, sebagaimana ditulis Chistine Sussane Tjhin (2005), salah satu prinsip demokrasi yang dijadikan sebagai dasar dari perkembangan institusional dan proses demokrasi adalah transparansi. Demokrasi tanpa transparansi ibarat pohon yang tak memiliki akar.

Kedua, uji kompetensi sebagai ikhtiar mencari wakil rakyat terbaik. Pasalnya, kedudukan anggota DPR sangat strategis di republik ini. Selain bertugas mengawasi jalannya pemerintahan dan menyusun undang-undang, para angota DPR adalah penentu akhir dari seleksi hampir semua jabatan penting, mulai dari seleksi calon komisioner KPK, komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan lainnya.

Tentu menjadi lucu jika para anggota DPR melakukan uji kompensi terhadap para pejabat tinggi negara padahal dirinya sendiri belum pernah dilakukan uji kompetensi. Itulah mengapa hadirnya uji kompetensi caleg merupakan upaya memunculkan akal sehat dalam konteks kehidupan bernegara. Secara jangka panjang, hal ini dapat memperbaiki citra DPR yang selama ini telah dipersepsikan amat buruk oleh publik.

Modernisasi Partai

Ketiga, uji kompetensi caleg merupakan upaya reformasi pelembagaan partai politik. Ini sekaligus otokritik terhadap sistem dan manajemen partai yang ada. Pasalnya, hampir setiap kebijakan partai—termasuk rekrutmen politik—selalu ditentukan ketua umum sebagai sang veto player. Dengan kata lain, adanya uji kompetensi berarti partai secara pelan-pelan sedang menggeser peran veto player di satu sisi dan memperkuat pelembagaan partai di sisi yang lain.

Ini penting karena mengutip Samuel P. Huntington dalam Political Order in Changing Societies (1968), pelembagaan partai merupakan proses memperoleh nilai baku dan stabil dalam berorganisasi. Lebih jauh, pelembagaan partai dapat dimaknai sebagai proses menuju modernisasi partai politik.

Keempat, uji kompetensi juga merupakan bagian dari tes integritas terhadap calon anggota legislatif. Ini relevan mengingat korupsi merupakan masalah krusial yang dihadapi partai politik selama ini.  Sebagai contoh, laporan KPK 2016 menunjukan sekitar 32 persen para tersangka suap dan korupsi berasal dari partai.

Usut punya usut, akar permasalah korupsi salah satunya karena rekrutmen partai yang tertutup serta mengabaikan sistem meritokrasi. Akibatnya, banyak partai harus mengalami penurunan elektabilitas cukup drastis lantaran sejumlah kader—bahkan ketua umumnya—tersangkut korupsi.

Pemilih Milenial

Kelima, secara politik, adanya transparansi dalam seleksi calon legislatif dapat mendatangkan simpati dari masyarakat pemilih, khususnya generasi milenial. Dalam hal ini, parpol akan diuntungkan karena, seperti kata Schawbel (2016), salah satu cara menarik simpati pemilih milenial adalah dengan menyelenggarakan proses-proses politik setransparan mungkin. Sebab, salah satu ciri generasi milenial adalah mereka akrab dengan media sosial dan informasi. Mereka hidup dan tumbuh dalam iklim keterbukaan.

Tentu dalam konteks politik elektoral 2019, kelompok milenial tidak boleh dianggap remeh. Menujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), ceruk pemilih pada Pemilu 2019 diprediksi akan didominasi oleh pemilih milenial. Pemilih milenial adalah mereka yang lahir dalam rentang 1981-1999 dan akan berusia 20-38 tahun serta jumlahnya mencapai sekitar 86 juta jiwa. Jika dipresentase, 48% pemilih pada Pemilu 2019 adalah generasi milenial (Hasanuddin Ali, 2017). Artinya, uji kompetensi caleg juga sangat menguntungkan bagi partai untuk menarik simpati pemilih muda.

Karena itu, terobosan PSI melakukan uji kompetensi caleg patut direplikasi dan dijadikan inspirasi partai lainnya. Selain sangat menggiurkan secara politik, uji kompetensi caleg tentu menjadi momentum memunculkan para wakil rakyat berkualitas. Sebab, seperti kata Iwan Fals dalam lirik lagu “Surat Buat Wakil Rakyat”, wakil rakyat kumpulan orang hebat/bukan kumpulan teman teman dekat/apalagi sanak famili.

Kolom terkait:

Menilik Eksperimen Politik Partai Solidaritas Indonesia

Grace dan Eksperimen Politik PSI

Berpolitik dengan Passion

Saatnya Golkar Menjadi Partai Modern

Politik Kita di Tengah “Tsamaraisasi Milenial” 

Ali Rif'an
Ali Rif'an
Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.