Minggu, Oktober 6, 2024

TVOne, Drama Turki, dan PKI

Dandhy Dwi Laksono
Dandhy Dwi Laksono
Jurnalis, penulis, dan Pendiri Watchdoc, perusahaan film dokumenter. Pada 2015, selama 365 hari, bersama "Ucok" Suparta Arz, Dandhy bersepeda motor mengelilingi Indonesia di bawah bendera Ekspedisi Indonesia Biru.
[Foto: Twitter @tvOneNews]

Entah apa yang dimaksud “eksklusif” oleh tvOne dengan rencana menayangkan film Pengkhianatan Gerakan 30 September ini. Label “eksklusif” biasanya merujuk pada materi jurnalistik yang tidak dimiliki media lain dan baru pertama kali dipublikasikan oleh satu media.

Wawancara Presiden Barack Obama hanya dengan RCTI tahun 2010, itu eksklusif. Laporan wartawan Tempo, Dahlan Iskan, tentang larinya “penjahat” legendaris Kusni Kasdut pada September 1979, itu eksklusif. Tak ada media lain yang memberitakannya.

Liputan The Washington Post tentang skandal Watergate yang berujung pengunduran diri Presiden Amerika Richard Nixon pada Agustus 1974, itu juga eksklusif.

Tapi memutar film Pengkhianatan Gerakan 30 September?

Film itu diproduksi tahun 1984 dan selama dua dekade telah diputar setiap 30 September di TVRI. Film itu juga telah diunggah versi utuhnya di Youtube oleh setidaknya tujuh akun, yang salah satunya telah ditonton hingga 5,2 juta kali.

Maka, sulit untuk tidak menduga bahwa klaim “eksklusif” tak lebih dari promosi atau jualan yang bombastis. Seperti halnya pilihan menayangkan film yang telah mendapat banyak kritik soal akurasi dari para sejarawan, pelaku sejarah, bahkan pembuatnya sendiri. 

Jika tak ada televisi lain yang menayangkan film itu, tak lantas membuat tvOne menjadi “eksklusif”. Mungkin karena stasiun TV lain tak ingin menjadi bagian dari blunder sejarah. Meski menayangkan film itu di TV yang menggunakan frekuensi publik, juga tidak melanggar apa pun.

Keputusan menayangkan sebuah program di sebuah televisi memang dipengaruhi beberapa faktor. Yang paling umum adalah faktor editorial dan komersial.

Secara historis, TV yang sebelumnya bernama Lativi ini pernah dimiliki pengusaha yang juga politisi Golkar, Abdul Latief. Ia pernah menjabat Menteri Tenaga Kerja di era Orde Baru (1993-1998). Pada Agustus 2006, Abdul Latief menjual PT Lativi Media Karya setelah utangnya macet di Bank Mandiri sebesar 327 miliar rupiah.

Yang membeli adalah pengusaha Aburizal Bakrie yang juga elite di Partai Golkar. Lalu ia mengganti namanya menjadi tvOne. Baik Ical dan Latief kini duduk sebagai Dewan Pembina dan Dewan Kehormatan di Golkar.

Sampai di sini, tak ada yang istimewa bagaimana editorial tvOne melihat relasi antara peristiwa ’65, Orde Baru, dan Golkar. Namun konstelasi politik mutakhir setelah Pemilihan Presiden 2014, Pilkada 2017, dan saat ini, tentu jauh lebih menentukan daripada faktor historis para pemilik.

Bersama empat stasiun televisi lain seperti MetroTV, RCTI, GlobalTV, dan MNC, tvOne sendiri dikategorikan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sebagai “Musuh Kebebasan Pers” karena pemberitaannya yang partisan selama pemilu dan Pilpres 2014. AJI merekomendasikan agar kelima stasiun TV itu ditinjau ulang izin frekuensinya. Namun pemerintah tampaknya tidak menganggap masalah serius munculnya pers-pers partisan yang menggunakan frekuensi publik ini.

Setelah Presiden Joko Widodo berkuasa, pemilik MetroTV, Surya Paloh, bahkan menerima penghargaan Bintang Mahaputra sebagai “Tokoh Pers” pada Hari Kemerdekaan RI, Agustus 2015.

Lalu keempat TV yang lain, termasuk tvOne, tetap lolos evaluasi 10 tahunan izin frekuensi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Kementerian Komunikasi dan Informasi, meski pemberitaan mereka terbukti mengkhianati prinsip-prinsip jurnalistik dan semangat imparsialitas sebagaimana diamanatkan UU Penyiaran dan Kode Etik Jurnalistik.

Jika MetroTV berada di kubu Jokowi, tvOne dan grup MNC berdiri di kubu Prabowo.

Jadi, sebenarnya tak ada yang baru dari pilihan tvOne memutar film “G30S” jika ini hendak dikaitkan dengan irama genderang politik yang sedang ditabuh para (pensiunan) jenderal Angkatan Darat, politisi sipil sisa Orde Baru, FPI, atau kelompok Islam politik lainnya.

Yang baru adalah, ini momentum untuk menarik kembali perhatian publik setelah stasiun TV itu sempat gamang antara meneruskan sebagai TV berita atau saluran drama Turki.

Drama Turki

15 April 2017 lalu tiba-tiba tvOne menayangkan serial-serial drama Turki dari pagi hingga malam, seperti “Orphan Flowers”, “Shehrazat 1001 Malam”, “Endless Love”, atau “Torn Apart”.

Wakil Presdirnya saat itu menyatakan, ia hendak “melahirkan ulang” tvOne yang selama ini bermain di segmen berita.

tvOne akan lebih soft, tidak akan sekeras sekarang. Akan ada program olahraga di jam-jam utama, ada sinetron luar negeri,” kata Otis Hajijary, yang juga Managing Director di ANTV. Resep sukses ANTV dengan serial “Mahabharata” atau “Uttaran” tampaknya ingin dicangkokkan di tvOne, yang masih satu pemilik.

Di layar ANTV, “Uttaran” mampu menyedot 28.000 spot iklan dalam tempo tujuh bulan (Oktober 2015 – Mei 2016). Satu spot sama dengan 30 detik. Menurut data Adstensity, duit yang diraup dari spot sebanyak itu mencapai 761 miliar rupiah.

Lalu bagaimana nasib drama Turki di layar tvOne?

Rata-rata ratingnya di bawah 1 dan share-nya di bawah 3 (persen). Share 3 persen artinya, di antara semua orang yang menonton TV, 3 persen di antaranya menonton program yang dimaksud.

Sepekan setelah berubah format, yakni 21 dan 24 April 2017, misalnya, “Orphan Flowers” hanya memiliki share 1,9 dan 2,3. “Shehrazat” hanya 2,7 dan 2,4. Hanya “Winter Sun” yang sedikit lebih baik di 2,8 dan 3,0. Sedangkan “Torn Apart” berkisar 2,6 dan 2,3.

Bandingkan dengan “Kabar Pagi” yang kadang share-nya bisa mencapai 4,8. Atau siaran “World Boxing” dan sepak bola yang bisa mencapai antara 6-8 persen. Bahkan program dengan konten serius seperti “Bedah Kasus” saja bisa mendulang share hingga 3,2.

Sampai di sini terlihat jelas bahwa drama Turki tak sanggup mendongkrak pundi-pundi tvOne. Ia terpaksa kembali ke konsep TV berita. Dan keputusan itu diambil cepat.

28 Juli 2017 atau hanya 3 bulan sejak berubah format, tvOne menghentikan penayangan serial Turki dengan alasan “season break” atau jeda tayang di sela musim. Satu musim biasanya 13 episode.

Lalu sekejap kemudian, 31 Juli 2017, tvOne kembali menjadi TV berita.

Sebagai sebuah merek yang gonta-ganti format hanya dalam hitungan bulan, tvOne tentu memerlukan momentum untuk menyedot kembali perhatian publik di segmen berita, setelah sempat membingungkan mereka. Dan momentum itu tampaknya mulai ia dapatkan dengan isu “kebangkitan komunisme”.

Sehari setelah penyerangan gedung LBH/YLBHI,  tvOne menayangkan Indonesia Lawyers Club dengan judul “PKI: Hantu atau Nyata” yang mendulang rating 1,6 dan 7,9. Ini cukup tinggi jika dibandingkan episode ILC lain yang rata-rata 4-6.

Bahkan saat itu, tvOne melibas jauh rivalnya, MetroTV, yang menayangkan aneka program dari “Prime Talk”, “Metro Sport”, sampai “Metro Malam” yang rata-rata hanya memiliki share 0,8 – 1,7.

ILC episode “PKI: Hantu atau Nyata” itu bahkan ditayangkan ulang pada 24 September 2017.

Sehari sebelumnya, melalui akun resmi twitter @TVOneNews, mereka mengumumkan akan menayangkan film G30S itu pada 29 September pukul 21.30 WIB. Stasiun TV itu bahkan bermain tagar #G30SPKITVONE untuk memperkuat promosi di media sosial.

Momentum “PKI-PKI-an” ini tampaknya dijaga betul oleh tvOne untuk menarik penonton. Sebab, sejarah bisnis media selalu mengikuti atau “mendompleng” momentum-momentum seperti ini.

CNN membetot perhatian dunia lewat siaran langsung Perang Teluk I tahun 1992 yang diawaki Peter Arnett. TV7 menandai kelahirannya dengan menerjemahkan siaran Al-Jazeera sepanjang hari, saat Perang Teluk II tahun 2003. Stasiun TV milik Kompas ini pun lalu melejit, sebelum akhirnya dijual ke Trans Corp.

MetroTV meneguhkan posisinya sebagai TV berita lewat siaran-siaran tsunami Aceh tahun 2004. Ini mengikuti jejak Liputan6 SCTV yang moncer setelah memberitakan rangkaian peristiwa dan talkshow menjelang Reformasi 1998. Ini momen politik yang sama, yang menandai kelahiran detik.com dan radio Elshinta hingga jaringannya menggurita.

Maka, melihat pilihan tvOne bermain dengan isu komunisme, tampaknya lebih berdimensi komersial dibanding editorial. Mereka yang menganggapnya sebagai kawan politik harus siap-siap kecewa jika suatu saat “TV merah” ini mengganti rundown-nya dengan drama Korea atau menjual sahamnya sebelum Pilpres 2019 karena konsolidasi politik.

Kita melihat bagaimana MNC Group berpindah afiliasi hingga tiga kali hanya dalam tempo kurang dari lima tahun: dari Nasdem, Hanura, koalisi Gerindra, dan lalu Perindo.

Jika ini terjadi pada TV kesayangan Anda, saat itulah Anda mungkin akan dibuat merintih. Meskipun Anda seorang jenderal. Sebab kapitalisme dan oligarki politik industri media, memang tak pernah setia.

Kolom terkait:

Efek Streisand, Repdem, dan Jenderal Gatot

Ingatan Kolektif 1965

Perlukah Meluruskan Sejarah Tragedi 1965?

Menjadi Indonesia Pasca-1965

Misteri 1965, Cornell Paper, dan Generasi Strawberry

Dandhy Dwi Laksono
Dandhy Dwi Laksono
Jurnalis, penulis, dan Pendiri Watchdoc, perusahaan film dokumenter. Pada 2015, selama 365 hari, bersama "Ucok" Suparta Arz, Dandhy bersepeda motor mengelilingi Indonesia di bawah bendera Ekspedisi Indonesia Biru.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.