Sembilan belas tahun lalu, tepatnya pada 13-15 Mei 1998, terjadi kerusuhan massal bernuasa SARA yang diduga terjadi secara terorganisir dan sistematis dengan korban yang diperkirakan mencapai ribuan orang.
Komnas HAM berkesimpulan bahwa pada peristiwa itu patut diduga telah terjadi pelanggaran HAM berat, yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang tentang Pengadilan HAM.
Lantas, apa hubungan Tragedi Mei dengan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Gubernur DKI non aktif? Pada 9 Mei 2017, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjatuhkan vonis dua tahun penjara atas Ahok karena terbukti bersalah menodai agama sebagaimana diatur di Pasal 156a KUHP.
Vonis atas Ahok adalah tragedi di Mei 2017. Disebut tragedi karena Ahok dikenai pasal tentang penodaan agama, norma hukum yang kontroversial yang ditetapkan melalui Penetapan Presiden No. 1/PNPS Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama sehingga tidak lagi relevan dan kontekstual dengan situasi sekarang yang telah demokratis.
Pasal ini banyak dipakai untuk menjerat penganut agama/keyakinan/kepercayaan minoritas, sebagaimana Ahok yang beretnis Cina dan beragama Kristen. Pasal penodaan agama menjadi justifikasi dan pengukuhan atas keyakinan mayoritas terhadap kelompok minoritas yang mempunyai perspektif lain atas tafsir ayat suci.
Selain itu, tekanan massa selama proses hukum diduga telah mempengaruhi putusan hakim yang menjatuhkan vonis jauh di atas tuntutan jaksa. Aksi mengatasnamakan umat Islam dilakukan bergelombang dengan tuntutan supaya Ahok dipenjarakan. Jika tidak, ada ancaman revolusi besar-besaran.
Bahkan, menurut Allan Nairn, jurnalis investigatif AS (2017), ada indikasi penggulingan atas pemerintahan yang sah dengan menunggangi aksi-aksi itu. Indikasi ini sedang disidik oleh kepolisian terhadap beberapa orang yang terlibat dalam aksi 212 dan 313.
Akibat aksi-aksi itu, atmosfer kehidupan sosial dan keagamaan telah terganggu karena klaim kebenaran yang dijadikan sebagai alat kampanye, pengerahan massa, dan intimidasi. Bahkan, jika tidak mengikuti klaim kebenaran ini akan disingkirkan dari komunitasnya dan adanya larangan menyalatkan jenazah Muslim yang mendukung yang diduga sebagai penista agama.
Lebih lanjut, penghukuman atas Ahok diduga sarat dengan muatan konflik politik kekuasaan, khususnya Pilkada Jakarta, dengan mempergunakan isu SARA. Kasus Ahok dan sepak terjangnya yang sangat kontroversial dipakai sebagai konfirmasi bahwa etnis tertentu dan penganut agama tertentu tidak layak sebagai pemimpin. Memilih pemimpin non-Muslim adalah kafir.
Narasi ini terus didengungkan dan disampaikan secara masif melalui berbagai media, termasuk media sosial, sehingga sangat menganggu kerukunan umat beragama baik sesama Muslim, terlebih dengan penganut agama yang lain.
Maka, vonis atas Ahok adalah sebuah tragedi hukum dan hak asasi manusia, karena norma hukum penodaan agama yang sudah tidak kontekstual dijadikan sebagai dasar menghukum orang yang sedang menyampaikan ekspresi dan pendapatnya. Masyarakat menantikan keadilan atas Ahok, karena dinilai ia menjadi korban kriminalisasi dan mereka berharap adanya keadilan di proses hukum tingkat banding di Pengadilan Tinggi Jakarta.
Sedangkan Tragedi Mei, kerusuhan massal yang pecah di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya, telah terjadi 19 tahun lalu. Tapi negara masih mengabaikan hak-hak korban atas kebenaran dan keadilan karena ketidakjelasan proses hukum. Padahal, hasil penyelidikan Komnas HAM telah disampaikan ke Kejaksaan Agung bertahun yang lalu.
Penyelidikan Komnas HAM yang dijalankan berdasarkan mandat Pasal 18 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, adalah menindaklanjuti rekomendasi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang merampungkan laporannya pada 23 Oktober 1998.
TGPF menemukan fakta bahwa kerusuhan tersebut diduga mengakibatkan lebih dari seribu orang meninggal akibat terjebak dalam bangunan yang terbakar atau dibakar, ratusan orang luka-luka, penculikan terhadap beberapa orang, pemerkosaan atau pelecehan seksual terhadap puluhan perempuan yang sebagian besar dari etnis tertentu, serta ribuan bangunan dibakar.
Namun, sampai saat ini, setelah presiden berganti beberapa kali, tidak ada kepastian dan keadilan atas kasus Tragedi Mei, bahkan terindikasi “diendapkan.” Tragedi Mei adalah peristiwa kerusuhan berlatar belakang SARA yang merefleksikan situasi konflik politik saat itu sebelum memaksa Presiden Soeharto lengser pada 21 Mei 1998 di mana etnis minoritas perempuan Cina menjadi korbannya.
Penyelesaian Tragedi Mei terhambat oleh lemahnya sikap politik presiden, karena harus ditangani melalui pembentukan Pengadilan HAM ad hoc oleh keputusan presiden. Apalagi peristiwanya terjadi sebelum UU tentang Pengadilan HAM diberlakukan.
Sedangkan tragedi atas Ahok juga merefleksikan masih rentannya etnis dan penganut agama minoritas menjadi “korban” dari proses penegakan hukum yang sangat normatif dan legalistik. Pun rentan menjadi “korban” politik kekuasaan yang masih mengutamakan primordialisme dan kepentingan mayoritas.
Maka, baik Tragedi Mei dan tragedi atas Ahok harus bermuara pada keadilan yang hakiki dan substansial. Hal ini dikarenakan keduanya sarat dengan muatan SARA, konflik politik, dan pemenuhan hak minoritas yang belum mendapatkan tempat yang semestinya di Tanah Air.
Kita menantikan dan mendesak agar penanganan atas kedua tragedi itu dilakukan secara adil, transparan, dan akuntabel. Dan kita tahu kedua tragedi itu telah menjadi tes sejarah dalam perjalanan bangsa ini, apakah negara mau dan mampu tegak di depan hukum dan hak asasi manusia ataukah memilih sebaliknya.
Baca juga: