Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak kian menjelang. Sepanjang perjalanan masyarakat di seantero negeri akan menyaksikan banyaknya baliho-baliho besar yang berisi potret wajah para bakal calon (balon) yang siap bertarung dengan pesta demokrasi tersebut.
Suka tidak suka, masyarakat tiba-tiba disuguhi setor muka balon politisi yang sangat boleh jadi selama ini tidak dikenal masyarakat. Kalaupun pernah terpilih, ada kesan selama ini tidak merakyat. Salah satu yang bisa dipotret dari wajah-wajah para calon politisi ini adalah munculnya kecenderungan para saudagar muda untuk bertarung sebagai calon anggota legislatif.
Sebagai seorang staf pengajar di pergutuan tinggi, saya kagum dengan anak-anak muda yang sukses sebagai entrepreneur. Melihat mantan para mahasiswa yang mulai jaya berbisnis membuat saya angkat topi. Saya tak cemburu, malah bangga, mendapati penghasilan mereka 10 atau 100 kali lipat dari penghasilan saya.
Hal yang membuat saya kecewa adalah ketika mulai menapaki kesuksesan, anak-anak muda ini mulai berbondong-bondong masuk partai politik, alih-alih memperbesar kapasitas mereka menuju pengusaha besar dan konglomerat. Bangsa ini makin jauh dari harapan untuk menciptakan kelas pengusaha tangguh di kemudian hari.
Bagaimana mungkin entrepreneur sejati akan muncul ketika sedari awal mereka justru terjebak pada politisasi refleksi dan aksi, bukan mendarmabaktikan diri pada upaya “mensaudagarkan” dan “mengintelektualkan” imajinasi kebangsaan ini.
Keputusan saudagar muda lekas banting stir sebagai calon politisi muda sejatinya terjerambab pada sesat pikir (fallacy) karena bakal membuat etos dan dinamika kewirausahaan berjalan di tempat, sekadar wacana dan tak lagi menggerakkan. Kewirausahaan dapat memainkan peran penting dalam memacu kemandirian para pemuda.
Sebetulnya tak terhitung lagi orang-orang muda yang berada di jajaran puncak pelbagai sektor, seperti bisnis, ICT, pendidikan, energi dan hiburan. Meskipun berusia muda, anak-anak muda ini menjadi sumber inspirasi bagi banyak anak-anak lain di negara ini. Hal ini kian relevan ketika kekayaan atau ketenaran yang mereka raih terkait erat dengan kemandirian mereka dan bukan ketergantungan pada kekayaan orangtua mereka.
Hendy Setiono, pemilik outlet kebab Turki Baba Rafi, Sandiaga Uno, pendiri Saratoga Group, dan motivator ulung Nanang Qosim Yusuf dan Billy Boen mewakili sejumlah kecil anak-anak muda yang sukses berdiri di atas dua kaki sendiri selaku para pengusaha.
Karenanya, keputusan sejumlah pengusaha muda untuk terjun bebas ke dalam gelanggang politik praktis tak pelak lagi hanya akan menutup rapat peluang mereka sebagai calon pengusaha-pengusaha kelas kakap dan konglomerat di kemudian hari.
Orang-orang sekaliber Chairul Tanjung (Chairman CT Corp) dan Basrizal Koto (CEO Basko Group) mampu menempatkan diri sebagai konglomerat hari ini tidak mengawali karir mereka sebagai politisi di kala muda. Alih-alih sibuk membentuk partai, CT, panggilan akrab Chairul Tanjung, malah diburu banyak partai baik sebagai dewan pembina, fungsionaris utama maupun calon presiden. Namun CT bergeming dengan konsistensinya sebagai pengusaha 24 karat.
Boleh jadi anak-anak muda ini berdalih dengan kasus CEO MNC Group Hary Tanoe dan Presiden Direktur Lion Air Rusdi Kirana yang terjun ke politik. Hanya saja perbandingan dan justifikasi yang diambil terkesan dipaksakan.
MNC Group dan Lion Group adalah konglomerasi yang sudah mapan. Ini ditandai oleh sistem yang sudah kokoh, tidak bergantung pada figuritas CEO, dan telah mempekerjakan ratusan ribu karyawan masing-masing. Ketika bisnis sudah berada pada posisi mapan dan point of no return, kepergian seorang CEO atau pemilik perusahaan untuk mengeksplorasi ranah lain bukan menjadi persoalan yang mengganggu.
Pilihan para pengusaha muda menjadi politisi muda juga menyiratkan bahwa mereka sudah kehilangan prioritas dan kehilangan fokus dalam membangun definisi diri. Dalam banyak hal politik tidak dapat dipisahkan dari persoalan ekonomi. Hanya saja demi kemandirian bangsa, persoalan ekonomi, etos kewirausahaan dan iklim kompetisi perlu diperkuat secara holistik dan adil.
Dalam konteks ini, politik seringkali jadi bumerang mengingat kecenderungan kaum politisi yang meng-iya-kan kepentingan kelompoknya dan me-nidak-kan kebutuhan golongan yang berbeda.
Cara-cara berpikir dan bertindak eksklusif ala politisi ini amat berseberangan dengan cara berpikir dan bekerja seorang pengusaha yang terbiasa inkluslif. Seorang pengusaha bergerak di atas prinsip “mencari kawan sebanyak-banyaknya dan mengurangi lawan semaksimal mungkin”. Bagi pengusaha, semua orang adalah konsumen yang harus dihormati karena merekalah sasaran utama dari produk dan jasa yang hendak dijual.
Sikap kordial sebagai peniaga melahirkan tabiat ramah kepada siapa pun. Kelaziman para saudagar dalam menghadapi kamajemukan perilaku konsumen membuat mereka memperlakukan pengunjung yang datang dengan penuh nuansa, bukan hitam putih. Kemestian menempatkan konsumen sebagai aset mendorong pebisnis terbiasa memenuhi permintaan konsumen layaknya menjamu tamu yang berkunjung.
Sebelum terlambat, kita berharap agar para saudagar muda ini tidak terbuai untuk mengubah haluan usaha yang telah mereka tetapkan. Bahwa berpolitik tidak mengganggu bisnis mereka adalah sesat pikir karena akan ada konflik kepentingan. Jangan lagi kehilangan fokus; merasa sukses di satu bidang, merasa mampu pula di tempat lain.