Denise A. Spellberg, seorang guru besar sejarah dan kajian Arab di University of Texas at Austin, Amerika Serikat, menulis sebuah buku berjudul Thomas Jefferson’s Qur’an: Islam and the Founders (2013). Buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Penerbit Alvabet Jakarta, dengan judul Kontroversi al-Qur’an Thomas Jefferson (2014).
Buku ini berkisah, antara lain, tentang bagaimana sejarah pendirian negara adikuasa bernama Amerika Serikat pada abad ke-18 dihubungkan dengan al-Qur’an. Juga bagaimana para pendiri Amerika Serikat menaruh sikap yang simpatik pada Islam dan Muslim pada masa-masa awal perumusan konstitusinya. Menarik sekali, bukan? Muslimin di mana pun pasti akan penasaran untuk membacanya.
Tetapi, selama ini saya belum benar-benar bisa merasakan signifikansi buku tersebut.
Ada dua sebab.
Pertama, dalam konteks tertentu saya mengalami transformasi sikap kesarjanaan. Membaca teori dan data-data sejarah merupakan hal yang saya sukai. Terlebih tentang sejarah dan kontroversinya. Meski bukan sarjana sejarah, saya memiliki minat besar di bidang ini. Karena salah satu cara memahami dunia adalah melalui sejarah. Tetapi, kerapkali data-data sejarah, khususnya ketika menyangkut nama-nama dan peristiwa, agak sulit saya rengkuh secara tuntas jika hanya berhenti di halaman-halaman buku.
Demikian pula dengan buku Spellberg ini. Kekuatan fakta sejarah yang hendak ditunjukkan oleh Spellberg begitu terasa. Imajinasi yang ditimbulkan darinya begitu menggelora. Bahkan sangat dahsyat. Namun, alam fikiran saya masih menyisakan pertanyaan tentang ketuntasan tadi.
Kedua, itu tidak berarti bahwa saya tak merasa kagum dengan kenyataan bahwa al-Qur’an dianggap telah menjadi bagian dari inspirasi bagi Thomas Jefferson dan para pendiri Amerika Serikat. Tetapi lebih karena saya tidak memahami siapakah sosok Thomas Jefferson ini.
Benar bahwa Jefferson adalah Presiden ke-3 Amerika Serikat. Tetapi lebih dari itu tidak ada yang saya ketahui tentangnya, sehingga saya belum bisa memahami bagaimana al-Qur’an memainkan peran dalam hidupnya, dalam aspek apa dan bagaimana semua bermula.
Barulah ketika menjalani kunjungan ke Amerika Serikat, saya bisa merasakan getaran mengapa buku tersebut demikian penting. Bahkan, jauh lebih penting dari yang semula saya perkirakan.
Semua bermula pada suatu pagi hari di awal bulan Juli 2017, ketika sejarah kemerdekaan Amerika disajikan kepada kami dalam sebuah kuliah berdurasi lima jam di University of Massachusetts Amherst. Tak hanya ceramah, materi kuliah ini juga diikuti dengan sebuah simulasi yang menggambarkan debat di kalangan para pelaku sejarah awal Amerika Serikat tentang penentuan masa depannya yang kala itu masih berstatus sebagai koloni Imperium Britania Raya.
Singkat cerita, karena dinamika politik dan ekonomi pada zaman itu, hubungan antara koloni Amerika dengan negara induknya, Inggris, mengalami persoalan. Perdebatan berkembang, apakah akan terus menginduk kepada Inggris ataukah akan memisahkan diri sebagai negara merdeka.
Tokoh-tokoh politik berdebat. Kedua pandangan sama-sama memiliki pendukung. Di antaranya, terdapat nama Thomas Jefferson yang tak lain adalah satu anggota Kongres Virginia, wilayah koloni Inggris di pantai timur Amerika. Sampai Juni 1775, ia meyakini bahwa bergantung kepada Inggris adalah lebih baik daripada bergantung kepada negara mana pun di dunia ini, dan terlebih tidak bergantung kepada negara apa pun. Maknanya, kemerdekaan Amerika Serikat bukanlah pilihan yang tepat.
Berbeda dengan Jefferson, tokoh lain, Richard Henry Lee, berpendapat sebaliknya. Pada tahun 1776, Lee menyatakan ajakannya untuk memutuskan segala bentuk hubungan dengan Inggris. “All political connection is, and ought to be, dissolved,” demikian kata Lee.
Perdebatan terus berlangsung hingga Kongres melakukan pertemuan di Philadeplhia antara tahun 1775-1776. Di sanalah gagasan kemerdekaan itu semakin matang. Dalam pertemuan kongres itu pula, Jefferson yang pada mulanya lebih memilih untuk mengikuti Inggris justru ditunjuk sebagai ketua tim perumusan naskah deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat.
Jefferson dikenal sebagai penulis yang elok, sehingga pilihan itu dijatuhkan kepadanya. Selain Jefferson, di dalam tim perumusan itu juga terdapat nama Benjamin Franklin, John Adams, Robert Livingston, dan Roger Sherman.
Perumusan deklarasi kemerdekaan itu sendiri juga merupakan sebuah proses sejarah yang menarik. Jefferson menyiapkan draf. Selanjutnya, draf itu mendapatkan koreksi dari anggota tim lainnya, yang sepertinya menjadikan Jefferson kurang begitu suka hati. Robert Livingston tidak mau menandatangani deklarasi tersebut, karena ia merasa bahwa deklarasi kemerdekaan terlalu cepat dilakukan.
Sementara John Adam memandang bahwa masa yang tepat bagi pembacaan deklarasi kemerdekaan itu adalah 2 Juli 1776. Tetapi, Kongres baru menyetujui rancangan deklarasi kemerdekaan itu pada 4 Juli 1776.
Setelah pembacaan deklarasi itu, jajahan Inggris di Amerika Utara lahir sebagai negara baru bernama United States of America. Mengikuti kemerdekaan itu, nama Jefferson yang paling dikenal dalam sejarah sebagai perumus deklarasi, meski sesungguhnya tim perumus terdiri dari lima orang.
Kurang lebih empat minggu telah berlalu setelah kuliah tentang kemerdekaan Amerika Serikat itu. Hingga pada suatu hari di akhir bulan Juli 2017, ternyata kesempatan untuk mengenal Jefferson lebih dekat tiba. Kunjungan di Amerika Serikat pada akhirnya mengantarkan saya ke Virginia.
Hari itu cuaca di Kota Charlottesville, Ibu Kota Virginia, diliputi mendung. Namun mendung yang menggelayut itu tidak menyurutkan rencana rombongan untuk melakukan napak tilas penting pada sejarah Amerika.
Bis yang membawa rombongan beranjak meninggalkan Hotel Omni Charlottesville yang sejuk. Tak terlalu lama meluncur dari hotel, bis memasuki jalan raya sempit yang berkelok-kelok. Jalan yang menanjak segera mengabarkan bahwa kawasan pegunungan yang sedang dituju. Di kanan-kiri jalan raya, terhampar jurang dalam yang jika dihayati hanya akan mengirimkan rasa kengerian dan sekaligus keinsyafan diri di hadapan Maha Dahsyat-nya ciptaan Tuhan.
Namun suasana itu menawarkan pemandangan yang mengiring setiap bibir untuk berdecak kagum tanpa ada yang memerintah. Sekitar lima belas menit berada dalam buaian kecantikan alam, bis akhirnya berhenti di pelataran parkir luas yang diselimuti pepopohan khas pegunungan yang rimbun. Di sinilah penelusuran jejak sejarah itu akan berlangsung, di sebuah tempat yang bernama Monticello.
Monticello adalah Thomas Jefferson World. Inilah sebuah kompleks yang merekam sebagian besar kisah hidup, perjalanan karier, karya, mahakarya dan kontroversi Thomas Jefferson. Monticello adalah sebuah tempat yang dipilih dan dinamai sendiri oleh Thomas Jefferson untuk membangun rumah tinggalnya. Kawasan seluas 2.000 hektare ini merupakan perkebunan yang ia warisi dari ayahnya.
Merujuk pada informasi resmi di laman Monticello, Jefferson mulai membangun kompleks Monticello ketika ia berusia 26 tahun. Ayahnya, Peter Jefferson, adalah seorang pengusaha perkebunan yang sukses. Sementara ibunya, Jane Randolph, termasuk dalam bagian keluarga terhormat di Virginia. Tak hanya mewarisi perkebunan, karena era perbudakan menjadi ciri aktivitas ekonomi pada zaman itu, Jefferson juga mewarisi 600 budak dari ayahnya.
Di bagian paling luar atau bawah kompleks Monticello saat ini, terdapat ruang pembelian tiket, museum dan toko. Daya tarik utama Monticello tentu saja adalah rumah tinggal Jefferson yang berada di puncak kompleks Monticello. Mencapai lokasi ini bisa dijangkau dengan berjalan kaki sekitar dua puluh menit atau dengan mobil shuttle yang disediakan oleh pihak pengelola.
Sementara sebagian peserta memilih berjalan kaki, saya memutuskan naik mobil pengantar. Di puncak itulah berdiri sebuah rumah dengan arsitektur Eropa klasik berwarna dominan coklat tua dan putih. Luas rumah ini sendiri sekitar 2.000 meter persegi.
Di bagian depan, berdiri kokoh empat pilar yang menyangga teras rumah. Memasuki rumah, segera terasa aroma sejarah yang kental. Di berbagai ruangan yang rata-rata sangat megah, tersimpan berbagai rekaman catatan aktivitas Jefferson, dalam bidang politik, pendidikan, dan arsitektur. Ribuan buku bersampul coklat khas buku masa lalu berjajar di berbagai sudut ruangan rumah Jefferson itu. Semua adalah koleksi pribadi Jefferson sekitar tiga ratus tahun silam yang sampai hari ini masih tersimpan rapi.
Publik Amerika meyakini, tidak ada rumah di Amerika yang mampu menggambarkan kepribadian pemiliknya sehebat rumah Jefferson di Monticello. Sejauh mana kebenaran pernyataan itu memang memerlukan penelitian lebih lanjut. Tetapi satu hal menarik adalah bahwa Jefferson merancang dengan fikirannya sendiri desain rumah tersebut. Membangun rumah itu selama kurang lebih lima belas tahun. Sejarawan menengarai bahwa desain rumah ini banyak diinspirasi oleh arsitektur Eropa yang disaksikan oleh Jefferson saat ia menjadi duta besar Amerika Serikat untuk Prancis.
Thomas Jefferson lahir pada 13 April 1743 di Sadwell, Virgnia, dan meninggal pada 4 Juli 1826. Ia memperoleh pendidikan di Williamsburg, Virginia. Denise Spellberg memperkirakan, pada saat menjadi pelajar dengan usia 22 tahun di sinilah Jefferson membeli al-Qur’an, sebelas tahun sebelum perumusan deklarasi kemerdekaan.
Lalu, apakah al-Qur’an berpengaruh secara langsung terhadap gagasan politik Jefferson? Denise meyakini bahwa sejumlah bukti bisa ditampilkan. Memang benar bahwa Jefferson mengkritik Islam sebagai “mengekang kebebasan berfikir”, sebagaimana kritik yang sama juga ditujukan kepada Kristen. Tetapi konteks kritik itu adalah karena Jefferson melihat, baik dalam Islam maupun Kristen, terjadi pencampuradukan urusan agama dan politik. Inilah hal yang ingin dihindari oleh Jefferson dalam praktik politik di Amerika.
Dalam sebuah tulisannya di The Conversation, 31 Mei 2017, Denise menulis: “Gagasan tentang karakter negara yang secara keagamaan bersifat majemuk juga teruji dalam kebijakan kepresidenan Jefferson dengan kekuasaan Islamdi Afrika Utara. Presiden Jefferson menyambut duta besar Muslim pertama, yang bertolak dari Tunis menuju Gedung Putih pada tahun 1805.
Lantaran saat itu bulan Ramadhan, presiden menunda jamuan makan malam negara dari pukul 15.30 ke waktu ketika “tepat matahari terbenam,” yang merupakan pengakuan terhadap keyakinan agama duta besar Tunisia. Bisa jadi, inilah jamuan resmi buka puasa Ramadhan di Amerika yang pertama kali.”
Namun, di luar kritik itu, demikian kata Denise lebih lanjut, Jefferson menghargai hak-hak Muslim. Tak lama setelah merumuskan Deklarasi Kemerdekaan, Jefferson kembali ke Virginia dan merumuskan sebuah aturan hukum tentang kebebasan beragama di Virginia.
Ketika membaca Letter on Toleration karya John Locke, Jefferson menulis catatan pinggir dalam bentuk parafrase: “[he] says neither Pagan nor Mahometan [Muslim] nor Jew ought to be excluded from the civil rights of the commonwealth because of his religion.” Denise mencatat dari gagasan inilah lalu Jefferson menulis: “(O)ur civil rights have no dependence on our religious opinions.” Lebih jauh bahkan ia menyebut bahwa Muslim adalah bagian dari warga negara masa depan Amerika Serikat.
Barangkali karena demikian intens hubungan Jefferson dengan Islam, lalu ia pernah dituduh sebagai calon presiden Amerika yang secara diam-diam telah menganut Islam. Atas fakta ini, seorang penulis Amerika Serikat, Michael Rieger, menulis bahwa Obama bukanlah orang pertama yang dituduh sebagai Muslim saat mencalonkan presiden. Dua ratus tahun sebelum Obama, hal yang sama telah terjadi pada Thomas Jefferson.
John Adams, calon presiden yang bersaing dengan Jefferson dalam memperebutkan kursi kepresidenan ke-3 AS, melemparkan tuduhan bahwa Thomas Jefferson sebenarnya diam-diam adalah seorang Muslim. Meski demikian, Rieger meyakini bahwa status keagamaan Jefferson sebenarnya ambigu. Ia menolak ketokohan dalam agama (clericalism) dan agama yang terlembaga. Namun, di sisi lain, ia memiliki al-Qur’an, dan pernah menyatakan seorang Muslim bisa menjadi presiden Amerika Serikat, berdasarkan hak-hak yang dijamin oleh Konstitusi yang ia rumuskan itu (Libertarianism, 29 Juni 2017).
Lalu, muncullah sebuah pertanyaan: bagaimana Jefferson tertarik dengan Islam? Dengan menelusuri jejak-jejak sejarah dan warisan intelektual Jefferson di Virginia, satu kesimpulan yang paling mungkin diajukan adalah bahwa Jefferson adalah seorang yang demikian luas minta keilmuannya.
Tak hanya politik, ia juga belajar arsitektur. Rumahnya di Monticello serta sejumlah bangunan kuno di University of Virginia (sebuah universitas yang didirikan oleh Jefferson) juga merekam jejak keahliannya sebagai seorang arsitek. Lonce Bailey, dosen pembimbing kami, menyebut Jefferson belajar aristektur secara otodidak. Dalam hal agama, dia membaca apa saja. Karena itu, ia membeli al-Qur’an karena ingin mempelajari semua agama. Tidak berlebihan, jika ada dugaan bahwa secara agama, Jefferson bersifat ambigu.
Namun, ini semua mengajarkan bahwa Jefferson menganut prinsip kemerdekaan berfikir. Maka, ”kemerdekaan” bisa menjadi salah satu kata kunci dalam memahami dunia Jefferson. Ia berfikir merdeka, terlibat dalam perumusan kemerdekaan, berkarya secara merdeka, dan melalui Konstitusi Virginia, ia juga dikenal sebagai penjamin kemerdekaan beragama, dan kemerdekaan hak-hak manusia.
Tetapi di dalam dirinya terdapat paradoks. Pada brosur yang dibagikan kepada para pengunjung Monticello tertulis sebuah kalimat menarik: Monticello was also a working plantation, where the paradoxes of slavery contrasted with the ideals of liberty expressed by Jefferson in the Declaration.
Tentang kontroversi ini lalu muncul pendapat lain. Bahwa dengan paham kemerdekaan yang ia anut, sesungguhnya Jefferson memiliki rencana untuk menghapus perbudakan, termasuk di perkebunan Monticello. Namun, meskipun ia menyebut perbudakan sebagai kejahatan yang mengerikan, ia juga melihat kemungkinan potensi perpecahan atas bangsa yang baru saja berdiri dan masih rawan itu, jika gagasan perbudakan segera dinyatakan secara terbuka. Barulah setelah lebih dari 80 tahun, ketika Abraham Lincoln memerintah, perbudakan di Amerika benar-benar bisa dihapus.
Kembali kepada Islam, dengan melihat sejarah interaksi Islam dan Muslim pada masa awal kemerdekaan Amerika, rasanya tidak berlebihan jika banyak yang berpendapat bahwa sikap Presiden Donald Trump yang cenderung memusuhi Islam belakangan ini sedikit demi sedikit justru mengikis nilai-nilai yang diperjuangkan oleh para pendiri Amerika pada masa lalu.
Washington DC, 31 Juli 2017
Baca juga:
Kemenangan Trump dan Kajian Ilmu Politik Pasca-Dahl
Trump dan Politik Pompa Air di Timur Tengah