Rabu, Desember 4, 2024

Tanggung Jawab Politik “Sang Pribumi” Anies Baswedan

Maman Suratman
Maman Suratman
Mahasiswa Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
- Advertisement -
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Wakil Gubernur Sandiaga Uno melakukan salam commando seusai pelantikan, di Istana Negara, Jakarta, Senin (16/10). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Senin, 16 Oktober 2017, DKI Jakarta akhirnya resmi punya nakhoda baru. Setelah Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) digilas massa yang menggila-gila, Jakarta untuk lima tahun ke depan ini selanjutnya akan dipimpin oleh usungan para penggilas nakhoda sebelumnya itu, Anies Baswedan. 

Sebagai nakhoda baru, tentu Anies punya segudang tanggung jawab politik. Tak hanya untuk mengarahkan Jakarta seperti citanya, yakni maju kotanya bahagia warganya, Anies pun harus bertanggung jawab penuh atas apa yang telah dirinya perbuat di masa-masa sebelum ia benar-benar jadi “manusia pilihan”. Apa itu? Yakni merajut kembali tenun kebangsaan yang telah ia robek-robek sendiri tanpa ampun. 

Memang, kursi Gubernur yang kini Anies duduki—bersanding mesra dengan Sandi—di Ibu Kota, membuatnya harus niscaya menghadirkan wajah Jakarta seperti citanya sendiri. Segala ragam bentuk janji kampanyenya yang kurang lebih berjumlah 23 buah itu harus tertepati. Program plus-plusnya, seperti KJP Plus dan KJS Plus, cepat atau lambat, harus segera ia realisasikan tanpa syarat. Sebab, warga yang menitipkan amanah di pundaknya memang butuh nasi, bukan janji. 

Itu baru janji. Tapi yang jauh lebih penting dari itu adalah hadirnya tenun kebangsaan kembali. Bukan hanya karena tanggung jawab Anies selaku pemimpin politik di Ibu Kota, bukan hanya karena tanggung jawabnya sendiri selaku penulis Merawat Tenun Kebangsaan, tapi karena ia yang mengumandangkan dan lalu ia sendiri yang merobek-robeknya kembali. Itu!

Bukan hanya Anies memang yang harus bertanggung jawab penuh atas ini. Akan tetapi, ini perlu diingat, kehancuran keberagaman, rusaknya tenun kebangsaan di Jakarta waktu itu yang mungkin masih mewabah hingga hari ini, disadari Anies atau tidak, terjadi hanya demi pemenangan dirinya. Terlebih bahwa Anies sendiri ikut merobeknya. Itu fakta yang saya kira sudah menjadi rahasia umum bersama.

Masih ingat, bukan, ketika rivalnya (Ahok) tersandung kasus penistaan agama? Di sana, nuansa peran Anies begitu nyata. Alih-alih meredakan gejolak emosi massa yang banyak orang harapkan darinya, ia justru terlibat-serta memanaskan situasi, menyiraminya dengan minyak-minyak penuh kebencian. Meminjam kata Burhanuddin Muhtadi dalam Anies dan Masa Depan Jakarta, ia membiarkan amarah itu menyala dan mengambil insentif elektoral darinya, termasuk mengunjungi Rizieq Shihab, motor penggerak anti-Ahok.

Saat menghadiri makan malam bersama sejumlah petinggi partai pengusungnya di sebuah restoran di Jakarta Selatan (18/4), gejolak emosi massa ini kian diperparah. Di hadapan para elite politik, dengan lantang ia mengandaikan Pilkada DKI Jakarta (putaran dua) adalah “Perang Badar”. Sungguh benar-benar memperkuat kesan bahwa Anies telah secara sengaja memelihara sentimen agama demi kalahkan Ahok.

Ya, data-data empiris memang tak mampu menolak fakta bahwa Anies mulus melenggang ke Balai Kota melalui permainan licik isu-isu SARA, terutama agama. Seperti ditunjukkan exit poll Indikator Politik Indonesia sendiri, nyaris 60% pemilih Anies mendasarkan pilihannya pada kesamaan agama. Pun sebagian besar lainnya menilai ucapan Ahok tentang Al-Maidah adalah penistaan agama.

Temuan-temuan itulah, sekali lagi, yang berperan besar mengantar Anies ke pucuk pimpinan di DKI Jakarta, dibantu oleh Tamasya al-Maidah, tentu saja. Hal yang sama ini jugalah yang menjebloskan rivalnya (Ahok) ke jeruji besi penjara, dibantu penuh oleh rangkaian demi rangkaian Aksi Bela Islam & Ulama. 

Entah fakta-fakta di atas itu jadi landasan Anies atau tidak, tetapi dalam pidato pelantikannya, saya rasa ia telah menunjukkan tanggung jawab politiknya sendiri. Ia telah menampilkan niat mulia itu untuk bertanggung jawab penuh atas apa yang sudah dirinya perbuat di masa-masa genting dan menyengat dengan berkata:

- Advertisement -

“Holong manjalak holong, holong manjalak domu. Begitu pepatah Batak mengatakan kasih sayang mencari kasih sayang, kasih sayang menciptakan persatuan. Ikatan yang kemarin sempat tercerai, mari ikat kembali, mari kita rajut kembali. Mari kita kumpulkan energi yang terserang menjadi energi untuk membangun kota ini sama-sama.”

Jelas. Di sana Anies sadar betul bahwa kondisi keterceraian kemarin adalah buah dari pemenangan dirinya semata. Hari ini upaya pertanggungjawaban dirinya telah ditunjukkannya, meski baru sebatas kata-kata. Dan kita pun mesti mendukungnya-serta, seberapa pun bencinya kita pada sosok Muslim moderat yang sudah cenderung bergerak ke arah “kanan” ini.

Dan Anies pun Kembali Merobek

Baru beberapa detik saja kemuliaan itu muncul dari kata-kata Anies, entah dengan alasan apa, ia pun kembali merobeknya lagi dengan lantang:

“Dulu, kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka, kini saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Jangan sampai Jakarta ini seperti yang dituliskan pepatah Madura: itik telor, ayam singerimi; itik yang bertelur, ayam yang mengerami.

Seperti video prosesi pencitraannya di Jati Padang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan kemarin (13/10), ungkapan Anies dalam pidatonya itu pun viral hebat. Persis di kata “pribumi”,  Anies dituding telah melontarkan visi politik yang tak ubah dengan rasisme, seperti diungkapkan oleh Ketua Setara Institute, Hendardi:

“Pidato pertama Anies setelah dilantik membuat publik menjadi mafhum bahwa visi politik Anies adalah rasisme. Politisasi identitas bukan hanya untuk menggapai kursi gubernur, tetapi hendak dijadikan landasan memimpin dan membangun Jakarta. Pidato yang penuh paradoks.”

Saya sendiri pun bertanya-tanya: apa maksud Anies menyelipkan kata “pribumi” itu dalam pidatonya? Terlepas dari tidak patutnya lagi kata seperti itu dihembuskan di ruang publik menurut UU No. 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis serta Instruksi Presiden No. 26/1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-Pribumi, menggandeng kata “pribumi” dalam prosesi pelantikannya, hampir tak bisa disangkal lagi, adalah upaya dirinya untuk membedakan kelompoknya dengan kelompok Ahok.

Dengan kata lain, Anies berusaha mengklaim diri sebagai pribumi, sedang Ahok diposisikan sebagai nonpribumi, pemberontak yang harus dimusnahkan.

Paradoks? Tentu iya. Sebab, di satu sisi, Anies membingkai konsepsi negara untuk semua, sebagaimana cita Bapak Proklamator Kemerdekaan Bung Karno. Tetapi, di sisi lain, ia menghembuskan citra penuh benci atas ras-ras tertentu—kalau kata Hendardi, Anies telah mengumandangkan supremasi etnisitas melalui penegasan pribumi sebagai diksi pembeda dirinya (pemenang) dengan yang lain (kelompok Ahok?).

Maka, saya kembali bertanya: di mana letak pengupayaan Anies atas pewujud-nyataan sila kelima itu? Jika benar Anies menjadikan rasisme sebagai visi politiknya, maka itu sama saja dengan membangun peradaban dari Jakarta untuk Indonesia melalui visi politik yang benar-benar mematikan.

Sudah. Tak perlu jauh-jauh melihatnya sampai ke negeri seberang, seperti yang terjadi di Jerman atau Myanmar, misalnya. Di negeri ini sendiri, Indonesia, hembusan visi politik berupa kebencian atas ras itu telah menjadi sejarah kelam bangsa. Terutama di era rezim Orde Baru Soeharto, visi yang lahir dari politik adu-domba sang diktator ini telah memakan korban yang tak terhitung lagi jumlahnya. Masyarakat Tionghoa untuk melakukan asimilasi sembari mengidentifikasi mereka sebagai yang bukan pribumi.

Sesudah Soeharto jatuh, alih-alih redup, garis demarkasi itu pun justru semakin menggila. Di mana-mana terjadi kerusuhan massal dengan target masyarakat Tionghoa. Mereka nyaris jadi sasaran empuk kebencian melulu atas nama ras. Semua karena visi politik rasisme yang dibangun secara matang-matang oleh Bapak Pembangunan yang pernah berkuasan selama 32 tahun kurang lebih ini.

Visi politik seperti itu sendiri sebenarnya bukan hal baru. Jauh sebelum Soeharto, kebencian atas masyarakat Tionghoa sudah bercikal-bakal di zaman-zaman kolonial Belanda. Maka, hadirnya pidato Anies Baswedan yang berupaya mengidentifikasi kelompok pribumi bisa dikatakan kelanjutan kembali visi politik rasisme di Indonesia.

Maka, tak salah juga jika peneliti LIPI Amin Mudzakkir menggambarkan fenomena ini dalam status Facebook-nya: Pribumi adalah mitos yang diciptakan oleh kolonialisme, dijalankan oleh Soehartoisme, dan dipidatokan oleh Anies Baswedanisme.

Ya, begitulah kira-kira penggambarannya yang tepat. Lalu Anies pun mau tak mau harus kembali bertanggung jawab pada polemik yang ia hadirkan sendiri di tengah gejolak emosi massa yang belum usai-usai ini. Semoga tanggung jawab politik ini mampu Anies tunaikan sebelum akhirnya beralih merealisasikan semua janji-janji politiknya yang plus-plus itu.

Selamat bekerja, Bang Anies!

Kolom terkait:

“Pribumi” Anies, 2019, dan Politik Sentrifugal

Gubernur Anies, Pribumi, dan Homo Sapiens

Berhentilah Menggunakan Kategori Pribumi!

Dari “Jualan” Ayat, Mayat, hingga Pribumi

Menyembuhkan Luka: Melerai Dikotomi Pribumi-Nonpribumi

Maman Suratman
Maman Suratman
Mahasiswa Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.