Munculnya 280 pucuk senjata pelontar berjenis Stand Alone Grenade Launcher (SAGL) berikut 5.000 amunisi di Bandara Soekarno Hatta seolah mengkonfirmasi pernyataan Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Gatot Nurmantyo beberapa waktu lalu. Pada saat menghelat pertemuan dengan sejumlah mantan petinggi TNI di Cilangkap, Jumat (22/9) lalu, Jenderal Gatot melontarkan pernyataan yang menghebohkan tentang adanya institusi non-militer yang akan mendatangkan 5.000 pucuk senjata api tempur secara ilegal.
Pernyataan Gatot itu sempat dibantah oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Jenderal TNI (Purn.) Wiranto yang memaparkan bahwa fakta yang terjadi sebenarnya adalah pembelian 500 pucuk senjata buatan PT. Pindad oleh Badan Intelijen Indonesia (BIN) yang akan digunakan untuk sekolah intelijen. Belakangan, dengan maraknya pemberitaan tentang datangnya ratusan senjata SAGL itu, publik menjadi tahu bahwa bantahan Wiranto itu ternyata salah sasaran.
Meski spesifikasi dan jumlah senjata impor yang tertahan di Bandara Soekarno Hatta itu tidak persis sama dengan informasi yang disampaikan Gatot, kemunculannya seperti mempermalukan Wiranto. Apalagi berita tentang kedatangan senjata itu langsung disusul dengan konferensi pers Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) yang menyatakan bahwa senjata-senjata itu merupakan pesanan Polri yang izinnya sedang diurus ke Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI. Bagaimana mungkin seorang Menkopolhukam tidak mengetahui hal ini?
Sebagai Menkopolhukam, Wiranto memutuskan untuk menyelesaikan persoalan pengadaan senjata ini dengan melakukan pertemuan bersama Panglima TNI, Kepala Polri, dan Kepala BIN. Kepada pers, ia meminta agar persoalan ini tidak dipolemikkan karena bukan merupakan konsumsi publik. Namun, dengan munculnya persoalan senjata ini, publik telanjur mencium masalah di kalangan elite bersenjata.
Hal yang wajar jika muncul pertanyaan, kenapa dalam soal pembelian senjata seorang Panglima TNI tidak diajak bicara. Sama wajarnya dengan pertanyaan, kenapa Panglima TNI tidak bertanya langsung saja pada kepada Kapolri tentang informasi pemesanan senjata itu, termasuk tentang maksud dan tujuannya.
Ketika persoalan yang semestinya diselesaikan di dalam malah diumbar keluar, lebih-lebih menyangkut senjata, kegaduhan tak dapat dielakkan. Spekulasi pun bermunculan. Mulai dari dugaan rivalitas antar institusi hingga kecurigaan akan kembalinya TNI ke panggung politik. Malah sudah ada yang mengingatkan Presiden Jokowi supaya mewaspadai gerakan Panglima TNI.
Sepanjang tidak ada klarifikasi yang memadai, spekulasi-spekulasi semacam itu akan terus berkembang. Apalagi sebagian masyarakat masih belum bisa melupakan pengapnya dominasi politik militer di bawah kekuasaan Presiden Soeharto.
Pada masa Soeharto berkuasa, TNI dan Polri tergabung dalam wadah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dengan garis komando yang ditetapkan oleh TNI.
Sebagai penyokong utama kekuasaan, ABRI menjadi warga negara “kelas satu”. Tak ada jabatan politik yang tidak bisa dirambah oleh ABRI. Bahkan, dengan legitimasi dwifungsinya, ABRI tak segan-segan melakukan kekerasan dalam mengontrol kehidupan politik, sosial, dan ekonomi masyarakat.
Ketika terjadi Reformasi tahun 1998, masyarakat menuntut agar Dwifungsi ABRI dihapuskan. Inilah yang menjadi pekerjaan berat Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang berkuasa sejak 20 Oktober 1999 sampai 23 Juli 2001. Gus Dur tentu sadar betul betapa riskan dan krusialnya tugas yang satu ini. Mengembalikan tentara ke barak bukanlah sesuatu yang mudah. Apalagi tokoh-tokohnya merupakan politisi-politisi kawakan yang menguasai jaringan pemerintahan. Meski secara konsep dwifungsi dihapuskan, dalam praktik tak ada jaminan kalangan tentara akan mematuhinya.
Lantas apa yang dilakukan Gus Dur? Langkah awal Gus Dur tercermin dari nomenklatur jabatan kementerian dalam Kabinet Persatuan Nasional yang dipimpinnya. Gus Dur memisahkan Panglima TNI dari Menteri Pertahanan. Panglima TNI memegang komando tempur, sedangkan Menteri Pertahanan lebih pada administrasinya, seperti mengatur keuangan, menyediakan senjata, dan sebagainya.
Yang menarik, Gus Dur tidak memberikan jabatan Panglima TNI kepada tokoh Angkatan Darat yang selama ini dikenal kuat dengan tradisi politiknya, melainkan kepada seorang jenderal Angkatan Laut, yakni Laksamana Widodo AS.
Di sisi lain, Polri diakomodasi dalam kabinet dengan menempatkan posisi Kapolri sejajar dengan Panglima TNI, sehingga Polri tak lagi tersubordinasi di bawah TNI. Bagi Polri, perubahan kebijakan ini tentu bukan masalah, melainkan bisa dibilang suatu “berkah”. Dengan kebijakan baru ini, eksistensi Polri diakui dan peran-perannya mendapat legitimasi. Berbeda dengan TNI yang terancam kehilangan banyak posisi dan fasilitas yang selama ini melekat pada kiprah-kiprahnya.
Karena itu, fokus utama Gus Dur adalah bagaimana mereposisi TNI tanpa menimbulkan gejolak yang berarti. Untuk mengukur seberapa besar gejolak yang akan timbul, Gus Dur melakukan semacam testing the water. Menkopolkam Jenderal Wiranto, sosok terkuat yang mencerminkan representasi politik TNI dalam kabinet, diminta mengundurkan diri. Alasannya, Wiranto terlibat dalam kasus pelanggaran HAM selama proses jajak pendapat di Timor Timur.
Wiranto melawan. Mantan Menhankam/Panglima ABRI di masa pemerintahan Soeharto dan Habibie ini menolak mengundurkan diri. Akibatnya, terjadi perang mulut berkepanjangan hingga berbilang minggu antara Gus Dur dan Wiranto di berbagai media. Namun, karena isu pelanggaran HAM pada saat itu menjadi perhatian para aktivis mahasiswa dan LSM, Wiranto harus berhadapan dengan kekuatan prodemokrasi. Ujung-ujungnya, Wiranto mundur juga. Gus Dur kemudian menggantinya dengan jenderal berwawasan terbuka yang memiliki komitmen terhadap pengembangan demokrasi, yakni Susilo Bambang Yudhoyono.
Selanjutnya Gus Dur mengganti Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, tokoh sipil yang sangat memahami isu-isu militer, dengan Mahfud MD yang juga berlatar belakang sipil. Gus Dur pun mengganti Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Johny Lumintang yang berlatar belakang militer dengan Ermaya Suradinata yang berlatar belakang sipil. Keputusan radikal itu diambil Gus Dur untuk mengubah konsep pertahanan dan ketahanan yang selama ini dipersepsi sebagai dunia militer menjadi hal yang tidak selalu identik dengan militer.
Maka, bila militer yang punya fungsi tempur berada di bawah Panglima TNI, pertahanan dengan fungsi administrasinya untuk mengatur pertempuran berada di bawah Menhan. Sementara itu, ketahanan yang memiliki fungsi meningkatkan daya tahan bangsa secara ekonomi, sosial, politik dan budaya berada di bawah tanggung jawab Gubernur Lemhannas yang pada masa Gus Dur disejajarkan setara menteri.
Bagi Gus Dur, baik kementerian pertahanan maupun Lemhannas bisa dipimpin dan dikelola oleh sipil karena tidak memiliki fungsi tempur.
Setelah peran-peran strategis TNI di bidang politik berhasil dikurangi, Gus Dur mulai merapikannya ke lapisan bawah. Kuncinya adalah pembubaran Badan Koordinasi Stabilitas Nasional (Bakorstanas) yang selalu memata-matai warga masyarakat. Bakorstanas yang dikenal dengan kegiatan litsus (penelitian khusus)-nya itu, selain kerap melakukan pelanggaran HAM, juga sangat potensial mengganjal tokoh-tokoh sipil untuk menduduki jabatan-jabatan strategis di daerah-daerah.
Dengan dibubarkannya Bakorstanas, warga sipil tak lagi dihantui tuduhan ini-itu untuk berkiprah dalam dunia politik sehingga demokrasi dimungkinkan untuk tumbuh sehat.
Keputusan-keputusan berani yang diambil Gus Dur untuk memangkas peran politik TNI itu kemudian menjadi fondasi yang kokoh bagi profesionalisme militer di Indonesia. Perlahan tapi pasti TNI dapat menerima hingga kemudian berkomitmen untuk benar-benar profesional.
Kini, TNI menjadi salah satu institusi negara yang dipandang berhasil melakukan reformasi internal. Perwira TNI yang berhasrat untuk mencoba peruntungan di panggung politik harus rela melepas seragam tentaranya. Bahkan, demi menjaga sikap profesional tersebut, hingga saat ini TNI tidak menuntut diberi hak untuk memilih dalam pemilu yang notabene merupakan hak setiap warga negara.
Lalu, bagaimana memaknai sepak terjang Panglima TNI yang belakangan membikin gaduh jagat politik kita? Pertama, hal yang tidak bisa disangkal dari kegaduhan tersebut adalah tidak adanya komunikasi yang baik antara Panglima TNI dengan institusi lain yang memiliki tugas dan fungsi beririsan dengan TNI.
Kedua, sekalipun sepak terjang Panglima TNI itu harus dimaknai sebagai langkah politik, hal itu hanya bisa dilihat sebatas manuver individu, mengingat tidak ada indikasi yang cukup untuk disebut sebagai gerakan institusi. Paling banter mencari popularitas supaya diperhitungkan pada Pemilu 2019, ketika sang jenderal sudah pensiun.
Baca juga:
Meninjau Kembali Komando Teritorium