Rabu, April 24, 2024

Tak Bisa Menyatu dalam Iman, “Menyatu” di Tahanan?

Abd. Rohim Ghazali
Abd. Rohim Ghazali
Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah
Ahok-Rizieq
[Sumber: pepnews.id]

Banyak jalan menuju Roma, banyak jalan menuju tahanan. Cara yang paling jamak adalah karena membunuh, mencuri, menilep uang negara (korupsi), dan memperkosa. Kini, yang tengah populer, karena menista agama.

Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok harus ditahan. Inilah yang diharapkan para aktivis yang kini menyebut diri mereka sebagai alumni 411 dan 212. Yang kontra dengan mereka pun tak kalah gertak, Habib Muhammad Rizieq bin Husein Shihab alias Rizieq juga layak masuk penjara—dan jalannya mulai tampak setelah Kepolisian Daerah Jawa Barat menetapkannya sebagai tersangka.

Jika Ahok dituduh menista agama, Rizieq dituduh menghina ideologi Pancasila (untuk tuduhan penistaan agama, status Rizieq masih terlapor). Kasus Ahok dan Rizieq tidak bisa semata-mata dilihat secara hukum. Karena konteks pelaporan tuduhan atas keduanya tidak berada di ruang hampa. Ada latar belakang kontestasi politik pemilihan kepala daerah serentak, terutama yang berlangsung di DKI Jakarta.

Pilkada Jakarta bukan sembarang pilkada, tapi pilkada yang memiliki rasa dan aroma pemilihan presiden. Masing-masing kandidat yang berkompetisi, Agus Harimurti Yudhoyono, Basuki Tjahaja Purnama, dan Anies Rasyid Baswedan—beserta pasangan masing-masing— bukan politisi-politisi independen yang murni memiliki kehendak sendiri.

Mereka maju dalam pilkada karena di belakangnya ada tokoh-tokoh besar yang pernah menjadi presiden atau calon presiden, yang bukan secara kebetulan masing-masing menguasai partai dan atau berhasil mengajak partai-partai yang memiliki suara cukup untuk mencalonkan ketiga pasangan. Dan, masing-masing tokoh ini memiliki pendukung yang fanatik.

Mengapa tuduhan penistaan agama jelas berkelindan dengan Pilkada Jakarta? Karena semuanya berawal dari isi al-Qur’an surat al-Maidah ayat 51 yang menurut satu versi berisi larangan memilih pemimpin non-Muslim. Karena ayat inilah Ahok kini menjadi terdakwa.

Sebenarnya bukan kali pertama Ahok menyoal ayat ini. Sejak Pilkada di Belitung Timur tahun 2005, ia sudah menyuarakan soal al-Maidah ayat 51. Sesudah di Jakarta pun, jauh sebelum pilkada, dalam kesempatan Maulid Nabi Muhammad di tahun 2015, Ahok juga menyuarakan soal al-Maidah ayat 51, tapi tak ada yang mempersoalkan. Ibu-ibu anggota majelis taklim yang hadir di acara tersebut happy-happy saja.

Begitu pula kasus yang menjerat Rizieq, tak bisa dilepaskan dari konteks politik saat ini. Bagi yang rajin menyimak ceramah-ceramah imam besar Front Pembela Islam (FPI) ini, nada-nada keras yang cenderung melecehkan agama, ideologi (termasuk Pancasila), atau golongan lain tampaknya merupakan hal yang biasa, dan masyarakat tidak begitu menghiraukannya.

Rizieq baru ditindak saat ceramahnya berimplikasi pada tindak kekerasan seperti pada kasus tragedi Monas, 1 Juni 2008, yang mengakibatkan sejumlah aktivis seperti Muhammad Guntur Romli, Maman Imanulhaq, dan Dr Syafii Anwar luka parah dan harus dirawat secara intensif di rumah sakit.

Siapa Menanam akan Mengetam

Ada pepatah Arab (mahfudzat) yang sangat populer, terutama di pesantren-pesantren: “man yazra’ yahshud” (barangsiapa menanam akan mengetam). Dalam ajaran agama, setiap perbuatan memiliki karma, ada imbalan pahala dan dosa. Tinggal pilih saja, mau berbuat baik atau sebaliknya, semua memiliki implikasi yang sesuai dengan perbuatan masing-masing.

Dalam al-Qur’an surat al-An’am ayat 108, Allah dengan jelas melarang kita menista agama (sesembahan) orang lain, karena (jika itu kita lakukan) orang lain pun akan membalas menista agama kita. Bahkan Allah juga melarang kita mengolok-olok dan berprasangka buruk pada kaum (golongan) lain karena bisa jadi mereka yang kita olok-lok itu lebih baik. (al-Qur’an, surat al-Hujuraat ayat 11-12). Jadi, ada karma atau imbalan setimpal bagi siapa pun yang menista agama, atau merisak (membully) kelompok lain.

Jangan lupa, balasan bagi para penista, atau perisak, bukan hanya menimpa pelakunya saja, tapi juga menimpa orang lain, termasuk yang tidak tahu-menahu (tidak mengerti apa-apa). Tentang hal ini dalam surat al-Anfal ayat 25, Allah memang sudah memperingatkan kita agar menghindari fitnah (kejahatan) karena implikasinya bukan hanya bagi pelakunya secara khusus, tapi juga orang lain.

Bayangkan, saat ini, semua kalangan seolah-olah terbawa arus polarisasi dukungan terhadap Ahok atau Rizieq. Bagi yang tidak mendukung langkah Rizieq, disimplifikasi menjadi pendukung Ahok, padahal bisa jadi yang bersangkutan tidak memiliki kaitan dengan pilkada karena (misalnya) berdomisili di luar Jakarta. Begitu juga sebaliknya, mendukung Rizieq dianggap sama dengan menolak Ahok.

Bahkan kasus operasi tangkap tangan (OTT) yang menimpa seorang hakim Mahkamah Konstitusi berinisial PAK, juga dikait-kaitkan dengan kasus Ahok. Di mata umumnya alumni 411 dan 212, PAK dianggap menjadi korban kriminalisasi karena sebagai hakim MK ia mengecam keras tindakan Ahok, dan malah sempat mau ikut aksi 411 dan 212 kalau saja tidak dilarang oleh pimpinannya. Anggapan ini semakian menguat karena ternyata yang menyuap PAK adalah BHR, pengusaha yang etnis dan agamanya sama dengan Ahok.

Kembali pada Kemanusiaan

Hiruk pikuk pilkada sudah tak lagi proporsional. Polarisasi politik menguat menjadi polarisasi ideologi dan agama. Jika dibiarkan, implikasinya akan sangat destruktif. Nilai kemanusiaan hilang karena kepentingan jangka pendek. Saling memaki (terutama di media sosial) seolah dianggap biasa. Padahal secara psikologis dampak buruknya bisa panjang, jauh melampaui jangka waktu pilkada itu sendiri. Karena yang sudah tertulis di ruang maya, akan sulit dihilangkan dan terus menjadi su’ul jariyah (keburukan yang terus mengalir).

Melihat kondisi seperti ini, ada baiknya kita mengingat kembali apa yang pernah dikatakan Ali bin Abi Talib: “yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan”. Ketegangan yang terjadi saat ini, terutama karena dalam pilkada, ada calon yang berbeda dalam keimanan (agama). Padahal sejatinya pilkada bukan urusan keimanan (akidah), tapi hubungan antar manusia (mu’amalah).

Tuduhan terhadap Ahok merupakan bagian dari implikasi politisasi agama. Soal keimanan diseret-seret dalam pilkada. Ahok dan Rizieq bisa jadi hanya korban dari kekuatan besar yang ada di belakangnya, yang punya ambisi politik tak hanya menguasai Jakarta. Karena tidak menyatu dalam agama (keimanan), bukan tidak mungkin keduanya akan “menyatu” dalam tahanan.

Abd. Rohim Ghazali
Abd. Rohim Ghazali
Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.