Sutardji Calzoum Bachri adalah orang pertama yang mengatakan bahwa Indonesia lahir dari puisi. Bersama 40 penyair lain, Presiden Penyair Indonesia ini menyatakan keteguhannya itu dalam Deklarasi Hari Puisi Indonesia pada 22 November 2012 di Pekanbaru. Mereka menyepakati 26 Juli, hari lahir Chairil Anwar, sebagai Hari Puisi Indonesia.
Tapi, bukan puisi Chairil Anwar yang melahirkan Indonesia, melainkan puisi Muhammad Yamin. Pujangga kelahiran Sawah Lunto, Sumatera Barat, pada 24 Agustus 1903, ini menulis puisi berjudul “Tanah Air” pada 1920, kemudian puisi berjudul “Tumpah Darahku” pada 1928, dan puncaknya ia menulis puisi berjudul “Ikrar Pemoeda” pada tahun yang sama.
Dalam Kongres Pemuda II di Jakarta, Yamin menggubah judul puisinya menjadi “Soempah Pemoeda”. Syair dalam puisi ini sangat populer hingga kini, yaitu:
Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, Tanah Air Indonesia
Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa yang satoe, Bangsa Indonesia
Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, Bahasa Indonesia
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 inilah cikal bakal lahirnya bangsa besar baru, yang bernama Bangsa Indonesia. Patut disebut besar karena bangsa ini berhasil mengajak sebagian besar suku bangsa di Tanah Air Nusantara untuk bergabung. Di dalam catatan sejarah, anak-anak bangsa Nusantara yang hadir ialah para anggota organisasi-organisasi kepemudaan.
Mereka antara lain Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Roekoen, Persatuan Para Pelajar Indonesia, dan Pemuda Kaum Betawi. Tapi, pemuda-pemudi itu para nasionalis yang tidak memegang tampuk kekuasaan apa pun. Modal terbesar mereka adalah ideologi kebangsaan yang sangat kuat.
Sudah mengaku bertanah air, namun belum mempunyai wilayah, apalagi kedaulatan. Sudah mengaku berbangsa, namun belum memiliki rakyat, apalagi negara dan pemerintahan. Sudah menjunjung tinggi bahasa persatuan, namun bahkan peserta Kongres Pemuda II itu belum berbahasa Indonesia, apalagi sistem pendidikan dan kebudayaan.
Tujuh belas tahun kemudian, tepatnya 17 Agustus 1945, barulah Soekarno dan Hatta yang memproklamasikan lahirnya Bangsa Indonesia dan kemerdekaannya. Disusul 18 Agustus 1945 lahir Negara Indonesia yang ditandai dengan Undang-Undang Dasar 1945, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, serta rekomendasi Pembentukan Komite Nasional.
Jika pun disebut sebagai puisi, maka Bangsa Indonesia memang dilahirkan oleh puisi. Sempurnalah kemudian puisi itu tatkala diteguhkan oleh prosa terkuat sepanjang sejarah bangsa ini, yaitu Proklamasi.
Proklamasi
Kami, Bangsa Indonesia, dengan ini menjatakan Kemerdekaan Indonesia. Hal-hal mengenai pemindahan kekoeasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan tjara jang seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnya.
Djakarta, 17-08-45
Atas nama Bangsa Indonesia
Soekarno – Hatta
Ya, Bangsa Indonesia dilahirkan oleh Bangsa Nusantara. Dalam pidatonya di depan Sidang Umum Persatuan Bangsa-Bangsa pada 30 September 1960 yang bertajuk To Build The World A New, pada waktu mengajukan Pancasila sebagai pedoman masyarakat dunia, Soekarno menyebut Pancasila telah menjadi intisari peradaban kita selama dua ribu tahun.
Pidato ini menandai perang ideologi antara To Build The World A New versus To Build A New World, antara negara bau kencur yang bercita-cita membangun dunia kembali sesuai fitrahnya dengan Pancasila sebaga satu-satunya pedoman melawan negara-negara adikuasa yang berhasrat untuk membangun dunia baru berdasarkan komunisme dan liberalisme.
Dalam pidatonya di New York dalam Sidang Umum ke-15 Persatuan Bangsa-Bangsa itu, Soekarno menegaskan, tidak seluruh dunia terbagi dalam dua pihak seperti dikira. Indonesia tidak dipimpin, tidak pula mengikuti, konsepsi liberalisme maupun konsep komunisme. Pancasila tidak berpangkal dari Manifesto Komunis maupun Declaration of Independence.
Bangsa ini berdiri dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi satu jua. Jika ditulis secara kurang lebih utuh dengan mengutip sebuah kitab kuno pada zaman Majapahit abad ke-14, Kakawin Sutasoma karangan Mpu Tantular, maka pupuh 139 bait 5 itu berbunyi.
Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen
Mangka ng Jitnatwa kalawan Śiwatatwa tunggal
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa
Secara bebas, terjemahannya sebagai berikut:
Sungguh
Betapa pun berlainan namun tidak dapat dibedakan
Sebab, kebenaran Jina dan Siwa itu tunggal
Berbeda namun satu juga, tidak ada kerancuan dalam kebenaran
Jika pun boleh meringkasnya dalam prinsip sederhana tentang menerima dan mensyukuri perbedaan, saya berpegang pada kesadaran bahwa kita berbeda karena kita sama: sama-sama berbeda. Oleh karena itulah, sungguh benar bahwa perbedaan itu rahmat, sunnatullah, yang percuma saja disangkal, apalagi dianggap sebagai aral. Bangsa ini terdiri atas suku-suku bangsa yang berbeda, dengan bahasa dan tradisi yang beragam, pun dengan agama yang menurut keyakinan masing-masing, namun disatukan oleh integritas kebangsaan yang satu, yakni Indonesia.
Kita adalah generasi pertama Bangsa Indonesia. Pada 17 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta berdiri tegak di hadapan masyarakat dunia bukan saja untuk memproklamasikan kemerdekaan. Dua patriot ini juga mengumumkan kabar gembira: setelah lahir bangsa baru dari tanah pusaka, sebuah bangsa yang bernama Indonesia, sehari kemudian lahir pula Negara Republik Indonesia yang menjadikan kesatuan dan persatuan sebagai ikatan yang takkan pernah putus. Tangis orok merah nan suci ini menggelegar ke seantero dunia, menjelma pekik, “Merdeka!”
Bangsa Indonesia adalah anak emas yang berinduk Bangsa Nusantara, sebuah bangsa besar yang telah memiliki peradaban adi luhung dan kebudayaan yang paripurna. Ikrar pemuda-pemudi dalam Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, yang hari ini kita peringati adalah janji setia persatuan dan kesatuan: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa.
Sejak diproklamasikan, Indonesia pun menjadi perhatian dunia dan lekas mendapatkan satu per satu pengakuan dari negara-negara tetangga. Pahit getir masa pertumbuhan dijalani dengan sikap batin yang berakar pada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan, dan Keadilan Sosial Bagi Rakyat Indonesia.
Tahun-tahun pertama Indonesia tidak dilalui dengan bermain-main. Anak Nusantara ini digembleng langsung oleh kehidupan, diolah dalam Kawah Candradimuka. Pemberontakan di dalam negeri adalah dialektika yang manusiawi masa pertumbuhan jiwa. Karakter yang satu dan karakter yang lain masih saling tumpang-tindih dan berebut kekuasaan. Gejolak seperti ini niscaya terjadi dalam keseharian berbangsa dan bernegara, yang kita namai sebagai politik kekuasaan.
Inilah yang dalam Sabda Rasulullah Muhammad SAW disebut sebagai perang melawan diri sendiri. Perang ini, kata Sang Nabi Terakhir, lebih besar daripada Perang Badar. Dan, segaris dengan itu, Soekarno lantang mengatakan, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Tapi perjuanganmu lebih susah karena melawan bangsamu sendiri.” Dan, kita mengingat dengan sangat baik, betapa masa pubertas Bangsa Indonesia ketika memasuki usia 20 tahun digetarkan oleh peristiwa 65.
Sastrawan KH Zawawi Imron pernah mengatakan bahwa Prof. Dr. Syekh Mahmud Syaltut, Rektor Universitas Al Azhar Mesir (1958-1963), bahkan menyebut Indonesia ini serpihan surga yang diturunkan Allah ke bumi. Oleh karena itulah, Indonesia terus menjadi rebutan bangsa-bangsa lain, bahkan meski harus melalui cara-cara penjajahan. Dan, penjajahan itu terhadap bangsa, bukan terhadap negara. Penjajahan bangsa yang satu kepada bangsa yang lain. Dan, oleh karena itulah, Soekarno-Hatta dalam Proklamasi Kemerdekaan Indonesia menyebut bangsa, bukan negara.
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea satu menyatakan, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Soekarno, sebagai manusia Indonesia pertama, dan para pendiri bangsa, tidak keliru dalam membaca dan menulis sejarah. Mereka sadar benar apa beda antara bangsa dan negara. Pun paham PBB itu Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations), bukan perserikatan negara-negara (United States).
Dalam usia yang belum genap satu abad, Bangsa Indonesia belum dapat disebut telah memiliki budaya sendiri. Bangsa Indonesia masih menjalani masa transisi pemindahan kekuasaan atas Warisan Budaya Nusantara dari Bangsa Nusantara itu sendiri kepada anaknya, yaitu Bangsa Indonesia. Dan, semoga kita sebagai generasi pertama Bangsa Indonesia mampu mewujudkannya “dengan cara yang saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”.
Dengan demikian, semoga pada akhirnya Bangsa Indonesia memiliki budaya sendiri. Sepanjang perjalanan menuju satu abad, seratus tahun pertama, semoga kita bisa menciptakan tradisi dari kebiasaan-kebiasaan baik. Budi pekerti ini perlahan namun pasti akan kita berdayakan bersama menjadi budi daya. Menjadi budaya. Menjadi Kebudayaan Indonesia.
Kolom terkait:
Sumpah Pemuda dan Candaan yang Tak Lucu
Sumpah Pemuda: Papua yang Indonesia dan Jakarta yang Bukan
Islam, Pancasila, dan Fitrah Keindonesiaan Kita