Minggu, November 24, 2024

Serangan Balik La Nyalla

Fatkhul Anas
Fatkhul Anas
Pengurus LTN PWNU DIY. Analis Studi Politik di Lembaga Pengkajian Teknologi dan Informasi (LPTI) Pelataran Mataram.
- Advertisement -

Mengejutkan! Seakan tak ada hujan dan tak ada angin, alias tak ada desas-desus sebelumnya, tiba-tiba saja Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur, La Nyalla Mahmud Mattalitti, menggelar konferensi pers. Isinya menyudutkan Gerindra, partai yang sedianya akan mengusung dirinya sebagai calon gubernur di pilkada Jawa Timur. La Nyalla bicara cas cis cus dengan nada agak emosi, yang intinya dirinya gagal menjadi calon karena tidak bersedia membayar mahar Rp 40 miliar kepada Gerindra.

Beritanya jelas langsung heboh. Media-media online pun main mata ingin cari tahu kronologisnya. Trending di Twitter atas nama La Nyalla dalam sekejap mampu bertengger sampai beberapa jam. Ada 12 ribu lebih twit soal La Nyalla ini. Jelas semakin memanaskan pilkada, di wilayah Jatim khususnya. Belum lama ini heboh soal pengunduran diri Azwar Anas yang ditengarai disebabkan oleh foto syur mirip dirinya beredar. Eh, kini muncul lagi konflik La Nyalla.

Soal apakah pernyataan La Nyalla ini benar, atau hanya upaya serangan balik karena ia kecewa? Ini biar fakta yang akan berbicara. Yang jelas, perang urat syaraf sedang terjadi antara Gerindra dan dirinya. Pasalnya, pernyataan La Nyalla memang menohok. Ia mengaku dua kali diperas sama Gerindra. Pertama, ketika Ketua DPD Gerindra Jatim Soepriyatno meminta Rp 170 miliar, tapi ia menolak.

Kedua, Prabowo meminta Rp 40 miliar untuk uang saksi. Jika tidak dipenuhi, maka tidak direkomendasikan. La Nyalla belum menyanggupi lalu Prabowo marah, begitu pengakuannya.

Perang urat syaraf ini pun kian gaduh. Kedua belah pihak terus saling menyerang. Ini mirip-mirip seperti panasnya Premier League saat ini, di mana Antonio Conte dan Jose Mourinho berseteru. Ketegangan itu terjadi saat Mourinho dalam sesi wawancara dengan wartawan menyindir manajer yang bertingkah seperti badut di pinggir lapangan saat merayakan kemenangan. Sindiran ini jelas menohok pada Conte dan Klopp. Si Conte pun membalas bahwa Mourinho sudah pikun, sebab dulu dia juga sering bertingkah demikian.

Aksi saling sindir pun terus berlanjut. Mourinho kembali menyinggung Conte yang pernah terlibat soal pengaturan skor sewaktu menangani Siena pada 2010-2011. Dalam hal ini, Mourinho merasa bersih. Conte pun semakin panas. Maka dibilanglah si Mourinho ini manusia kerdil, yang kerjaannya mengusik orang. Semakin panas, bukan?

Sebelas–duabelas-lah dengan Gerindra vs La Nyalla. Sesaat setelah La Nyalla menggelar konferensi pers, si Fadli Zon, Wakil Ketua Umum Gerindra Bidang Politik Dalam Negeri, Hubungan Antar Partai dan Pemerintahan, buru-buru klarifikasi. Ia bilang, soal La Nyalla dengan Gerindra hanya miskomunikasi. Prabowo tak pernah meminta uang sebesar Rp 40 miliar kepada La Nyalla. Prabowo hanya menanyakan kesiapan finasial La Nyalla untuk maju sebagai calon gubernur Jawa Timur dari Gerindra.

Waketum Gerindra Bidang Penggalangan Massa, Ferry Juliantono, juga berbicara serupa. “Pak Prabowo sangat menghormati Pak La Nyalla dan tahu persis perjuangan beliau,” katanya sebagaimana dilansir detik.com. Ferry pun menilai soal Prabowo menanyakan uang, itu hanya ingin tahu kesiapan kandidat.

Si Arief Poyuono, Waketum Gerindra Bidang Buruh dan Ketenagakerjaan, juga tak mau diam. Ia bilang tidak ada permintaan Rp 40 miliar dalam surat tugas Gerindra kepada La Nyalla. Uang tersebut hanya untuk membayar saksi di tempat pemungutan suara (TPS).

Mana di antara mereka yang benar? La Nyalla atau Gerindra? Hanya Tuhan dan mereka yang tahu persis. Yang jelas, prahara ini semakin membuka mata rakyat bahwa betapa ongkos politik sekarang ini semakin gila. Maka, menjadi hal yang sulit dihindari jika hari ini banyak terjadi kasus kejahatan pejabat. Mereka ini kan ingin mengembalikan ongkos politik tersebut. Salah satu caranya ya lewat korupsi berjamaah, sebab mengandalkan gaji tidak cukup. Akhirnya nyolong duit negara untuk menambal kantong yang bolong karena dipakai untuk modal politik.

- Advertisement -

Selain itu, ada pula pelajaran lain. Ini karena secara mengejutkan si Khaththath, Sekretaris Jenderal Forum Ummat Islam (FUI), dan alumni presidium 212 membela La Nyalla dan kecewa dengan Gerindra. Ia juga terang-terangan menyebut bahwa gerakan 212 di Jakarta itu ditumpangi gerakan politik untuk memenangkan calon tertentu. Ia bahkan sampai menyebut instruksi seorang habib agar menggunakan cara-cara serupa di pilkada lain untuk meraih kemenangan.

Oh, jadi selama ini gerakan 212, yang katanya bela Islam itu, ternyata ujungnya politik to? May be! Biar pembaca yang menyimpulkan sendiri. Bahkan sampai ada fatwa bahwa umat Islam yang milih si A jenazahnya tak boleh disalati. Itu semua juga untuk pilkada? Weleh… weleh… Untung di kemudian hari muncul juga habib lain yang mempertanyakan soal ini. Dalam ceramahnya yang bisa kita lihat di Youtube, jelas beliau menolak sikap semacam ini. “Apa Nabi Muhammad gembira kalau ada umatnya mati nggak disalatin?” cetusnya.

Lho, memangnya ndak boleh ya agama untuk berpolitik? Bukankah agama itu pedoman hidup? Persoalannya begini, seringkali yang terjadi itu agama menjadi alat politik, bukan agama dijadikan pedoman untuk berpolitik. Ini dua hal yang mirip-mirip, tapi hakikatnya berbeda.

Agama yang digunakan sebagai alat politik, artinya isu agama dimainkan, tetapi tujuannya untuk kekuasaan. Posisi ini seperti ungkapan Sayyidina Ali, “qauluhu al-haq, wa urida bihi al-bathil”, bahwa perkataannya benar, tetapi tujuannya batil.

Berbeda dengan agama yang dijadikan sebagai pedoman berpolitik. Posisi agama di sini benar-benar menjadi panduan agar dalam berpolitik dilakukan dengan santun, sportif, tidak saling menjatuhkan, tidak menebar fitnah, dan sebagainya. Maka, kekuasaan yang dihasilkan pun kekuasaan yang bersih, adil, dan bermartabat.

Kondisi seperti inilah yang kita inginkan. Dan semoga prahara La Nyalla vs Gerindra tidak membuat arus politik di Indonesia semakin keruh dan butek.

Kolom terkait:

Peluang Prabowo Pasca Pilkada Jakarta

Menakar Siasat Politik Dua Jenderal

Aliansi Dua Jenderal?

Kebhinekaan Itu Sunnatullah, Hentikan Politisasi Pluralisme!

Kaleidoskop 2017: Tahun Keprihatinan Beragama

Fatkhul Anas
Fatkhul Anas
Pengurus LTN PWNU DIY. Analis Studi Politik di Lembaga Pengkajian Teknologi dan Informasi (LPTI) Pelataran Mataram.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.