Tiada satu pun lembaga negara yang lahir dari rahim reformasi luput dari ujian berat. Entah itu karena pimpinannya terjerat kasus penyalahgunaan kekuasaan seperti korupsi, ataukah dalam wujud infiltrasi kepentingan luar yang hendak melumpuhkan bangunan institusi yang tengah dibangun.
Mahkamah Konstitusi, misalnya, ketika hampir sampai ke titik stabil pelaksanaan mandat pemenuhan rasa keadilan masyarakat, reputasinya malah runtuh akibat kasus korupsi yang menimpa Akil Mukhtar dan Patrilis Akbar. Demikian pula dengan Komisi Yudisial, saat proses pembenahan sistem rekrutmen dan pengawasan hakim dilakukan KY, Irawady Joenoes, salah seorang komisionernya, justru dinyatakan bersalah melakukan korupsi.
Hal senada juga menimpa Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Di tengah perjuangan mempertahankan kuasa legislasi yang terus disubordinasi melalui Undang-Undang tentang MPR, DPR dan DPD, institusi ini justru dirundung duka. Ketuanya, Irman Gusman, dihukum dalam kasus korupsi. Tidak sebatas itu, ujian yang jauh lebih berat pun tengah menunggu, di mana DPD dihadapkan pada upaya parpolisasi.
Bahaya Parpolisasi DPD
Dengan menyibak kembali lembar sejarah kelahirannya, DPD adalah reinkarnasi utusan daerah dan utusan golongan di MPR. Ketika MPR direformasi, komposisi keanggotaannya pun mengalami penyesuaian. MPR tidak lagi terdiri dari anggota DPR ditambah utusan daerah dan utusan golongan, melainkan terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD.
Adanya pembelahan kamar DPR dan DPD berangkat dari filosofi mandat yang diemban keduanya. DPR bertindak sebagai representasi politik yang dalam proses pengisian dan pelaksanaan wewenangnya dilakukan partai politik. Sementara DPD berperan sebagai representasi wilayah yang proses pengisian dan pelaksanaan tugasnya diwakili individu-invidu yang dipilih dari setiap daerah propinsi.
Dengan mandat konstitusional yang berbeda, antara keduanya mesti diletakkan sebuah batas demarkasi yang jelas. Hal itu ditujukan untuk menjaga agar proses pengambilan kebijakan nasional yang berhubungan dengan daerah diimbangi oleh DPD sebagai suatu kekuatan politik di luar DPR dan pemerintah. Upaya demikian sesungguhnya telah dilakukan pada masa awal DPD, yakni ketika proses pengisian pertama anggota DPD dalam Pemilu 2004, calon anggota DPD dipersyaratkan bukan pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 tahun sebelum pendaftaran calon.
Dalam perkembangannya, persyaratan yang demikian tidak lagi diadopsi dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. Mahkamah Konstitusi juga mengukuhkan ketiadaan syarat tersebut bagi setiap calon anggota DPD. Kebijakan itu pada akhirnya membuka ruang bagi pengurus partai politik untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD dalam Pemilu 2009 dan 2014. Akibatnya, DPD rentan dipimpin pengurus teras partai politik melalui proses konsolidasi anggota DPD dalam satu bendera partai.
Secara teori maupun praktik yang diterapkan di berbagai negara, senat atau DPD memang tidak diharamkan untuk diisi kader partai. Hanya saja, original intent UUD 1945 sesungguhnya tidak menghendaki demikian. Sebab, pertama, sebagaimana disinggung sebelumnya, kehadiran DPD adalah dalam rangka menggantikan Utusan Daerah dan Utusan Golongan yang dihapus dalam proses perubahan UUD 1945.
Sebagai pengganti, semangat keberadaan Utusan Golongan dan Utusan Daerah untuk menampung keterwakilan daerah dan golongan yang tidak terwakili dalam partai politik tentu juga melekat pada DPD. Melalui DPD, daerah dan golongan yang ada dalam kebhinekaan rakyat Indonesia akan turut terwakili pada proses pengambilan kebijakan nasional terkait daerah. Dengan mandat itu, DPD memang harus steril dari partai politik.
Kedua, kepesertaan dalam pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945 dipisahkan secara tegas, di mana peserta pemilu untuk memilih anggota DPR adalah partai politik, sedangkan peserta pemilu anggota DPD adalah perseorangan.
Pemisahan tersebut menghendaki agar partai politik tidak terlibat dalam pemilihan anggota DPD, sebaliknya perseorangan pun tidak boleh menjadi peserta pemilu anggota DPR. Bila batas itu dilampaui, dalam arti terjadi kondisi di mana pengurus partai politik menjadi anggota ataupun pimpinan DPD, saat itu juga lembaga ini justru menjadi tempat bagi kuasa partai politik memperbesar kekuasaannya. Bahkan, DPD akan menjadi wadah pertarungan politik antar partai. Konstelasi politik dan mungkin juga “kerusakan” di DPR lama-kelamaan juga akan di tranfer dan menjadi bagian dari dinamika DPD.
Langkah Penyelamatan DPD
Agar DPD tidak mengingkari sejarah pendiriannya, berbagai upaya pengeroposan melalui intervensi partai politik harus segera diakhiri. Untuk jangka pendek, komitmen anggota-anggota DPD menjaga eksistensi lembaga tersebut amat diperlukan. Terkait hal itu, anggota DPD harus dalam posisi tidak membuka ruang bagi lembaganya untuk didominasi partai politik.
Sebaliknya, kalaupun ada sejumlah anggota DPD yang menjadi anggota dan pengurus partai, kepentingan menjaga mandat DPD harus lebih didahulukan dibanding agenda mengukuhkan dominasi partainya di DPD.
Dalam kerangka yang lebih luas, ancaman dominasi partai di DPD sebagaimana yang disaksikan hari ini menjadi alasan penting untuk memungut kembali syarat bahwa calon anggota DPD tidak boleh menjadi pengurus partai politik beberapa tahun sebelum pencalonan dalam pemilu. Untuk itu, pembahasan RUU Pemilu yang tengah berlangsung harus dijadikan momentum untuk mengintroduksi syarat tersebut.
Dengan menerapkan kembali syarat itu, DPD diyakini akan kembali memiliki batas demarkasi dengan DPR. Keterwakilan politik dan daerah akan menunjukkan ciri dan rupanya masing-masing. Pada saat yang sama, langkah demikian juga untuk memastikan bahwa proses politik di DPR tidak akan sewarna dengan apa yang terjadi di DPD sebagai kamar yang berfungsi menjaga keseimbangan politik pusat-daerah.
Sebaliknya, bila fenomena yang terjadi di DPD dibiarkan atau berbagai upaya pembenahan tidak segera dilakukan, DPD kiranya akan sampai ke bagian ujung sejarahnya. Bila sudah demikian, kita pun layak mempertimbangkan untuk meminta agar lembaga ini dibubarkan.