Sabtu, April 20, 2024

Sangar ala Jokowi

Bandung Mawardi
Bandung Mawardi
Kuncen Bilik Literasi

“Saya ini tidak ada potongan pemimpin yang otoriter. Penampilan saya tidak sangar. Ke mana-mana juga selalu tersenyum. Makanya, saya berani bilang kalau saya bukan pemimpin yang otoriter,” kata Presiden Jokowi saat berpidato di Rapat Pimpinan Nasional Partai Demokrat di Sentul, Bogor, Jawa Barat, 10 Maret 2018.

Jokowi mengucap kata-kata itu sambil mesem dan wajah semringah. Kata-kata terasa enteng diucapkan dan gampang mengena ke pikiran dan perasaan ribuan pendengar.

Dua kata disajikan Joko Widodo mengajak orang menimbang ulang makna: otoriter dan sangar. Dulu, orang-orang politik di seberang Joko Widodo pernah membuat kritik dan sindiran jika Presiden itu otoriter. Mereka menuduh pemberlakuan pelbagai kebijakan dan pengangkatan orang-orang penting di lingkaran Joko Widodo bakal mengesahkan pemunculan sosok otoriter.

Joko Widodo pernah membantah tanpa marah-marah. Tuduhan sering tanpa berargumentasi matang patut ditanggapi secara santun. Jawaban kadang enggan diterima kubu lawan. Gosip dan fitnah pun gampang beredar dengan imbuhan kata-kata mengesankan Joko Widodo memang otoriter.

Kata itu sudah lama sampai ke Indonesia, sejak masa kolonial. Kamus politik lazim memuat lema otoriter. Rapat, pidato, dan percakapan pada masa kaum pergerakan ingin memuliakan Indonesia pun telah memilih istilah otoriter dalam serangan ide dan peruntuhan kolonialisme.

Otoriter itu istilah berasal dari negeri asing tapi digunakan dalam mengerti dan mengamalkan tata politik modern pada abad XX. Istilah otoriter tak sulit masuk dalam khazanah bahasa Indonesia. Otoriter menjadi penjelasan atas penolakan siasat kekuasaan dan kepribadian penguasa.

Kamus Internasional (1956) susunan Osman Raliby memuat istilah autoritair dengan arti “keras dan seperti berkuasa sendiri.” Istilah itu berasal dari bahasa Prancis. Dulu, orang-orang mendapat cerita mengenai tokoh otoriter sering mengacu ke Prancis. Lakon otoriter menghasilkan revolusi.

Di Indonesia, sebutan itu laris dalam politik masa 1950-an dan 1960-an. Tulisan-tulisan di koran dan majalah mengedarkan sebutan otoriter bagi pemimpin-pemimpin mendapat seribu curiga. Buku-buku pun ditulis untuk membeberkan angan demokrasi dan penolakan atas kemunculan pemimpin-pemimpin otoriter. Buku terpenting mengandung serangan bagi lakon otoriter adalah Demokrasi Kita oleh Mohammad Hatta.

Otoriter pun laris untuk perlawanan pada rezim Orde Baru. Lakon Orde Baru perlahan mencipta penguasa otoriter, sulit dibantah atau dikritik. Otoriter menjadi kata melawan penguasa tapi terpilih bagi penguasa untuk menggebuk orang-orang sering sinis pada tata politik Orde Baru atau pembangunan nasional. Otoriter dikembalikan ke kaum pengritik dengan hajaran-hajaran kata dan pembuatan ketakutan alias teror.

Para penggerak dan “pemilik” Orde Baru membantah julukan otoriter. Mereka malah menuduh balik ke orang-orang menulis dan mengucap otoriter “berhadiah” penjara, pemecatan, atau kekerasan.

Istilah otoriter terus muncul pada masa pemerintahan Habibie, Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, SBY, dan Joko Widodo. Pada abad XXI, istilah otoriter belum punah, tetap saja terpilih dalam perdebatan politik dan raihan kekuasaan pelbagai kubu politik. Pengecapan pada tokoh beristilah otoriter masih dianggap memicu perlawanan-perlawanan menjatuhkan kekuasaan.

Serangan bermodal istilah otoriter pernah mengarah ke Joko Widodo. Serangan dibalas tanpa pidato panjang atau seribu halaman berupa buku pembelaan politik. Otoriter mulai berseliweran berkonsekuensi pudar makna atau mengalami pengacauan makna saat digunakan dalam hajat berdemokrasi di Indonesia.

Joko Widodo mulai memunculkan istilah lawas tapi sanggup meredakan tuduhan otoriter. Beliau memilih istilah sangar. Istilah belum terlalu akrab dalam pembahasaan politik di Indonesia. Joko Widodo berasal dari Solo, lahir dan tumbuh dalam adab Jawa.

Sangar itu istilah dari bahasa Jawa. Joko Widodo berhak menggunakan demi mendefinisikan dan menceritakan diri sebagai manusia politik dengan bahasa Jawa. Istilah itu berterima dalam bahasa Indonesia, meski masih jarang digunakan dalam alur perdebatan demokrasi.

Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952) mangartikan sangar adalah “mendatangkan bahala”. Pengertian itu bertambah dalam terbitan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001). Sangar berarti “akan (dapat) mendatangkan bala atau bencana”.

Pengertian lain adalah angker. Kita mengulang perkataan Joko Widodo: “Penampilan saya tidak sangar.” Pemilihan istilah sangar cenderung mengartikan angker. Penampilan Joko Widodo memang jauh dari angker. Tubuh kurus dan busana tak sanggup menampilkan Joko Widodo menjadi penguasa angker alias sangar. Penampilan sering tampak lugu, naif, dan sederhana. Wajah pun jarang galak atau pamer merengut. Beliau memilih mesem ketimbang masam.

Urusan berbusana rapi dan necis, Joko Widodo malah mengaku kalah dibandingkan SBY atau AHY (Agus Harimurti Yudhoyono) selaku pengundang di Rapimnas Partai Demokrat. “Saya kalau diundang ke Partai Demokrat, siap-siapnya setengah hari, terutama yang berkaitan dengan pakaian. Sampai saat ini saya selalu merasa masih jauh sekali kalau urusan kerapian dengan Pak SBY,” pengakuan Joko Widodo sambil berkelakar menghibur ribuan orang.

Sejak mula, tubuh dan wajah Joko Widodo sulit mengabarkan otoriter. Penampilan dalam berbusana pun tak mengesankan beliau itu gagah dan angker. Kerepotan dalam berbahasa dan berbusana ditebus pengakuan menghibur bagi kaum politik dan pengamat (bahasa) politik. Joko Widodo mengaku: “Saya ini seorang demokrat.” Pengakuan sebagai orang demokrat, bukan orang di Partai Demokrat.

Pengakuan itu semakin membuktikan Joko Widodo bukan manusia sangar atau presiden bercap otoriter. Pidato di hadapan ribuan kader Partai Demokrat dari seluruh Indonesia seperti dijadikan dalih Joko Widodo mengajak ke pemikiran bahasa dalam berdemokrasi.

Beliau tanpa canggung sudah mengajukan tiga istilah untuk mendapat bantahan, koreksi, mufakat, atau keraguan: otoriter, sangar, demokrat. Pemilihan istilah sangar mungkin memberi penambahan dalam tata bahasa politik mutakhir, setelah orang-orang sudah terbiasa dengan istilah otoriter dan demokrat. Begitu.

Kolom terkait:

Bangkit Menggebuk Bersama Jokowi

Menimbang Pemenang Pilpres 2019

Di Balik Pertemuan Politik Jokowi dan SBY

SBY yang Sudah Bukan Korban (Lagi)

Aliansi Dua Jenderal?

Bandung Mawardi
Bandung Mawardi
Kuncen Bilik Literasi
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.