Kamis, April 25, 2024

Sang Kuda Hitam Itu Agus Yudhoyono

Budi Setiawan
Budi Setiawan
Pengamat Sosial dan Hubungan Internasional, tinggal di Jakarta
Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Agus Harimurti Yudhoyono (kanan) didampingi Sylviana Murni (kiri) menyampaikan visi dan misinya saat Debat Calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta di Hotel Bidakara, Jakarta, Jumat (13/1). Debat calon Gubernur dan Wakil Gubernur pertama tersebut mengangkat tema pembangunan sosial ekonomi untuk Jakarta. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/aww/17. *** Local Caption ***
Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Agus Harimurti Yudhoyono didampingi Sylviana Murni menyampaikan visi dan misinya saat Debat Calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta di Hotel Bidakara, Jakarta, Jumat (13/1). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/aww/17.

Penampilan Agus Harimurti Yudhoyono yang di luar dugaan tampil prima dalam debat pertama, setelah berulangkali keseleo hingga di-bully netizen sampai mengapung, telah menyadarkan banyak orang akan potensi anak mantan presiden ini. Sebagaimana  penjelasan Poltracking Indonesia di TVone (13/1), setelah debat Agus unggul di 32,61 persen disusul Ahok 29,17 persen dan Anies 28,99 persen.

Hasil ini menggarisbawahi keberhasilan Agus merebut simpati warga Jakarta dengan membidik tepat pada masyarakat kelas bawah. Keunggulan Agus di Jakarta Timur, wilayah paling besar penduduknya di Jakarta, seharusnya menjadi peringatan bagi semua calon gubernur Jakarta untuk tidak lagi meremehkan Agus.

Apalagi, hasil polling 4  lembaga survei bulan November 2016 semuanya mengungguli Agus di kisaran 30 persen, kecuali Lembaga Survei Indonesia yang mengunggulkan Ahok. Jika angka ini konsisten, besar kemungkinan pemilihan gubernur DKI akan berlangsung dua putaran.   Sangat mungkin Agus akan menjadi kuda hitam yang bisa menjungkalkan Ahok setelah menghempaskan Anies di putaran pertama.

Agus dan Budaya “Panasbung”

Agus dalam kampanyenya berhasil merangkul massa yang punya budaya “pasukan nasi bungkus” (panasbung). Calon nomor satu ini memakai teknik kampanye sederhana yang biasa dilakukan oleh mereka yang nyalon, entah jadi gubernur, wali kota atau bupati, yakni melalui pengerahan massa dan guyuran uang. Kampanye itu membombardir masyarakat dengan puluhan ribu spanduk, sticker, umbul-umbul, kaos, topi, dan alat peraga lainnya. Tidak heran jika spanduk dan banner nomor satu dominan terpampang di berbagai pelosok wilayah Jakarta.

Kampanye Agus selalu penuh oleh massa yang sudah dikoordinir yang siap menjadi bantalan manusia ketika anak sang mantan presiden itu melakukan aksi fenomenalnya, moshing. Kelakuan ini oleh sementara orang dipandang sebagai norak. Tapi faktanya justru menjadi branding Agus yang makin lama makin kuat dan selalu dinantikan para pendukungnya.

Sementara itu, Silvy bergerilya mendekati pemilih emak-emak kampung untuk mendulang suara. Silvy paham bahwa pemilih wanita pada kelompok ini punya kekuatan luar biasa dalam mempengaruhi pilihan anggota keluarga mereka. Gaya ala emak-emak kampung diperlihatkan Silvy yang berbedak tebal ketika debat hingga gaya komunikasinya akan semakin memikat kelompok manajer rumah tangga itu.

Gaya kampungan yang norak  ini menjadikan Agus dan Silvy head to head dengan Ahok dan Jarot. Agus berhasil menempatkan posisinya sebagai antitesa Ahok yang anti bagi-bagi uang.  Agus mencitrakan dirinya bahwa dia tidak pelit seperti Ahok yang singkek. Dia meyakinkan masyarakat bahwa dia akan melaksanakan semua program Ahok sambil bagi-bagi uang jika terpilih sebagai gubernur.

Itulah sebabnya tim kampanye Agus membiayai pembentukan posko pemenangan di wilayah-wilayah strategis pendulang suara. Ada informasi bahwa dalam mengamankan pemilih, masing-masing posko menggunakan teknik multi level marketing, di mana setiap anggota posko menjamin paling tidak angota keluarga mereka memilih Agus ditambah  minimal 10 orang tetangga.

Wilayah strategis yang dipilih Agus adalah kalangan bawah yang memang terbiasa praktis dalam memberi suara, yakni siapa memberi apa. Dalam benak mereka, jika Agus terpilih sudah tentu mereka yang mendukung akan kaya raya atau setidaknya kecipratan seperak dua perak. Terbayang dalam benak mereka, jualan gado-gado saja di wilayah pemenangan bisa dapat uang puluhan juta. Jika pun tidak menang, dia sudah dapat kaos, nasi bungkus, dan sedikit uang lelah.

Agus memanfaatkan budaya politik kelas bawah dengan sempurna yang semuanya berwujud uang. Dalam kampanyenya, Agus menjanjikan bantuan Rp 1 miliar per RW,  bantuan tunai langsung (BLT) sementara Rp 5 juta per keluarga per tahun serta bantuan dana usaha bergulir Rp 50 juta per unit usaha.

Iming-iming uang ini jelas menggiurkan masyarakat Jakarta yang masih belum bisa keluar dari fenomena “maju tak gentar membela yang bayar.” Tidak heran jika ada sinyalemen, bantuan Rp 1 miliar  begitu mengoda para ketua RW untuk menggalang dukungan kepada Agus.  Mereka berpikir jika pun tidak Rp 1 miliar, Rp 100 juta pun jadi karena mereka juga paham bahwa janji Agus kelewat manis.

Selain memperoleh massa besar yang percaya dengan janji uang, pasangan Agus dan Siilvy juga berhasil meraih dukungan dari kelompok primordial religius. Silvy adalah Betawi asli dan punya jaringan kuat di Badan Musyawarah Betawi dan banyak kelompok pengajian di Jakarta. Kekuatan ini bertemu dengan modal Agus yang diberikan bapaknya, yakni kelompok pengajian yang banyak disebut orang punya kaitan kuat dengan Front Pembela Islam (FPI) dan sejumlah tokoh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang kontroversial.

Jadi, basis massa tradisional Jakarta, yakni kelas bawah yang kuas basis primordialnya serta tidak malu-malu untuk terima uang atau janji uang, relatif sudah dikuasai oleh Agus. Dia hanya butuh tambahan suara dari massa mengapung. Pembunuhan karakter yang dilakukan lewat meme lucu-lucuan besar kemungkinan tidak mengubah pilihan basis massa yang sudah diraih Agus. Malahan massa pendukung Agus menguat karena makin yakin dia akan semakin sempurna berdebat dan menyuarakan program sampai hari pemilihan.

Ahok yang Taken For Granted

Gambaran ini menjadi tantangan berat bagi Ahok yang mendapat dukungan di kalangan kelas menengah dan terdidik. Selama ini, kampanye Ahok lebih menekankan perbaikan citra Ahok yang dihajar isu penistaan agama. Selain itu, meski sudah hampir hari H, partai-partai pendukung Ahok tampak masih duduk diam karena berharap PDI-Perjuangan yang seharusnya turun tangan. Selama ini mereka hanya kirim doa saja untuk menyampaikan dukungan.

Padahal, Ahok punya kesempatan besar dalam meraih suara pendukung Agus maupun Anies. Sesuai data dari Poltracking Indonesia di TVone, kemungkinan pendukung Agus untuk berpindah pilihan adalah 39,62 persen dan Anies 33,51 persen. Sementara persentase pendukung Ahok yang membelot hanya 19,34 persen.

Calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menyapa sejumlah relawan pada acara penggalangan dana kampanye Ahok-Djarot di Jakarta, Minggu (27/11). Acara yang digelar Relawan Badja Dharma tersebut untuk mendukung kampanye pasangan Ahok-Djarot, yakni setiap relawan memberikan dana Rp5 juta bagi yang duduk semeja dengan Ahok dan Djarot serta Rp2,5 juta bagi yang duduk di meja lainnya. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/aww/16.Persoalan kemenangan Ahok bisa jadi masalah serius jika tim pemenangan mereka terkena sindrom taken for granted bahwa orang Jakarta sudah tahu apa yang akan dilakukan Ahok-Jarot jika menang. Padahal sangatlah penting mengkampanyekan program-program unggulan yang sebenarnya spektakuler dan bisa langsung dijalankan.

Kampanye di sosial media tidak bisa menghasilkan analisa yang akurat karena tidak mencerminkan suara orang Jakarta semata. Ditambah dengan tidak adanya banner dan spanduk yang dipasang, program-program yang hebat  itu bisa tenggelam dalam upaya keras pemulihan citra Ahok.

Jika tim strategi kampanye Ahok menyangka bahwa progam-progam unggulan pasangan nomor dua tidak perlu digembar-gemborkan, maka Ahok-Jarot hanya mengamankan massa yang sudah ada tanpa bisa meraih suara tambahan. Mereka juga tidak bisa terus menerus menggunakan sentimen Ahok sebagai “orang yang teraniaya” karena kita melihat upaya itu mulai mengalami inflasi. Tim kampanye harus lebih banyak melakukan kampanye penggalangan massa, seperti aksi flash mob yang sukses besar di Citos beberapa waktu lalu.

Kegiatan ini akan menarik kelompok potensial kalangan menengah ke atas, terutama anak muda yang aktif di media sosial agar bisa kopi darat mendukung pasangan mereka. Ini penting agar ceruk kelas menengah yang dalam banyak pilkada atau pemilu adalah kelompok mengapung punya kepercayaan bahwa Ahok adalah pilihan yang paling realistis.

Anies Berada di Pinggir

Usaha meraih simpati kalangan kelas menengah dan usia muda terdidik yang sangat aktif mengunakan media sosial juga menjadi tantangan berat pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Pasangan nomor tiga itu adalah yang paling menderita terseok-seok mencari pegangan dan dukungan. Boleh dikata, pemilih Jakarta bingung untuk mencari alasan kuat kenapa mereka harus memilih Anies. Mantan Menteri Pendidikan ini bak figur anomali yang gagap bergerak meraih suara di kalangan bawah dan kalangan menengah atas tapi terjebak di ruang hampa.

Anies-Sandi sukar menempatkan dirinya di kelas bawah karena yang terlihat cuma janji  tanpa iming-iming uang seperti Agus dan minus program unggulan seperti Ahok. Kasarnya mereka bilang, Anies ngomong doang, duitnya kagak ada.  Sementara di kelas menengah, citra Anies hancur di mata mereka ketika bertandang ke FPI dan mengeluarkan pernyataan rasis.

anies-fpiDalam situasi demikian, Anies dan Sandi susah beranjak lepas dari nomor buncit. Retorika moral dan pembangunan manusia hanya laku di kalangan akademisi dan kampus. Kelas menengah, sebagaimana terlihat di media sosial, mengasosiasikan Anies sebagai duplikat sisi buruk Mario Teguh, lengkap dengan segala permasalahan yang membelit sang motivator malang itu.

Persepsi ini sulit dihilangkan karena titik lemah Anies tidak bisa ditutupi Sandi. Dalam debat kemarin, Sandi tidak bisa lepas dari gaya bahasa seorang pengusaha muda kaya raya yang kumpul di klub mewah membahas bagi-bagi proyek sambil melihat rekannya main golf mini dengan taruhan velg Ferrari. Bukan tampil sebagai figur Nadiem Makarim, pendiri Go-Jek yang sudah jelas komitmennya pada pemberdayaan rakyat kecil.

Walhasil, pasangan ini akan terjebak dalam kurungan kecil yang hanya ditopang oleh Partai Gerinda dan massa Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang cuma beberapa gelintir. Tanpa perubahan strategi yang nyata, Anies dan Sandi nampaknya harus siap-siap berada di pinggir menyaksikan Agus dan Ahok saling bersaing dan saling pelintir.

Budi Setiawan
Budi Setiawan
Pengamat Sosial dan Hubungan Internasional, tinggal di Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.