Kasus korupsi yang menjerat mantan Ketua DPD Irman Gusman menjadi isyarat negatif dari proses panjang penguatan sistem bikameralisme kita. Politisi DPR yang memang tidak mendukung penguatan bikameralisme–dalam satu sisi bahkan dapat dikatakan tidak mengerti–telah angkat suara. Mereka berusaha menjadikan kasus tersebut sebagai alasan bahwa penguatan DPD akan berujung pada celah korupsi yang semakin besar. Tentu saja cara pandang ini sangat jauh dari substansi penguatan bikameralisme kita.
Salah satu hasil reformasi adalah membentuk institusi demokrasi parlemen yang berdasarkan pada sistem dua kamar, atau bikameralisme. Akan tetapi, yang terjadi sekarang adalah apa yang disebut Arend Lijphart sebagai bikameralisme asimetris. Dua kamar yang ada di Parlemen kita memiliki kekuatan yang tidak seimbang. Meskipun DPD telah diberikan kewenangan untuk turut serta mengajukan RUU, dalam praktiknya, DPD masih tidak dilibatkan oleh DPR.
Karena itu, muncul keinginan untuk melakukan revisi atas UU MD3 (Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD). Namun, yang terjadi justru jauh dari harapan. UU MD3 yang sejatinya adalah sebuah harapan bagi penguatan lembaga para senator di Indonesia malah semakin nyata dijadikan alat politik transaksional partai politik. Badan legislatif telah memutuskan 6 perubahan UU MD3. Dari keenam perubahan tersebut, tidak ditemukan satu pun revisi pasal mengenai peran DPD.
UU MD3 menjadi penting, karena mengatur relasi kekuasaan yang ada di dalam Parlemen serta berguna untuk menguatkan institusionalisasi demokrasi. Akan tetapi, yang terjadi justru revisi yang dilakukan hanyalah bersifat pragmatis dengan tujuan bagi-bagi kekuasaan antar partai politik. DPR berniat merevisi UU MD3 dengan tujuan utama menambahkan kursi pimpinan DPR menjadi enam orang. Penambahan itu dilakukan untuk memberikan jatah kursi ke partai pemenang pemilu, yaitu PDI-Perjuangan.
Pengangkatan kembali Setya Novanto menjadi Ketua DPR RI adalah salah satu manuver politik yang memuluskan langkah ke arah itu. Apabila revisi UU MD3 ini kembali dilaksanakan di tahun ini dengan tujuan tersebut, maka konstelasi politik yang selama kurang lebih dua tahun ini telah terjaga di Parlemen akan berubah cukup signifikan.
Terakhir kali UU MD3 direvisi, muatan kepentingan politik elite sangat jelas terlihat. Meidi Kosandi, dalam tulisannya, menilai bahwa revisi UU MD3 pada tahun 2014 lalu memiliki dampak besar sebagai “game changer” dalam konstelasi politik. Berkuasanya Koalisi Merah Putih (KMP) di dalam Parlemen setelah Pemilu 2014 adalah hasil dari revisi UU MD3 yang memberikan jalan pengangkatan pimpinan DPR melalui mekanisme voting. Pola untuk menggunakan UU MD3 sebagai alat untuk transaksi politik antar partai yang bersifat kartel tidak memberikan dampak baik bagi penguatan institusi demokrasi.
Pencapaian DPD sangat dipengaruhi oleh sistem ketatanegaraan yang memang tidak memberikan kesempatan bagi lembaga ini untuk berkembang. Secara aturan, DPD saat ini masih belum memiliki suara untuk memutuskan sebuah UU. Pada dasarnya, sistem pemilihan perwakilan DPD di Indonesia sudah terbilang demokratis dan dapat menyeimbangkan perwakilan partai politik. Akan tetapi, hal ini menjadi tidak berarti ketika para wakil daerah tidak memiliki kekuatan dalam legislasi.
Untuk memahami fungsi bikameralisme, kita perlu terlebih dahulu mengenal konsep consensus democracy. Secara teoritis, sistem demokrasi kita lebih condong mengikuti konsep consensus dibandingkan dengan majoritarian rule. Hal ini diperlihatkan oleh sistem kita yang berusaha untuk membagikan, menyebarkan, dan mengendalikan kekuasaan dengan berbagai macam cara.
Ciri utama dari majoritarian rule adalah adanya eksklusi kepada pihak yang kalah dalam pemilu sehingga sifat oposisi begitu kental. Berlawanan dengan itu, consensus democracy berusaha menjaring partisipasi sebanyak mungkin agar keterwakilan dapat menyeluruh, sehingga salah satu ciri utamanya adalah sistem bikameralisme. Selain itu, consensus democracy memang pada umumnya diterapkan di negara-negara dengan masyarakat yang heterogen.
Menurut Arend Lijphart, ilmuwan politik teoris demokrasi, penggunaan bikameralisme dalam consensus democracy adalah karena mampu memberikan keterwakilan kepada kelompok-kelompok minoritas dalam produk-produk legislasi maupun peraturan. Indonesia, dengan banyak sekali suku bangsa, sangat cocok dengan sistem ini. Banyak suara minoritas di daerah-daerah kecil di Indonesia yang belum terwakilkan secara politik.
Penguatan DPD secara kelembagaan dapat menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan kinerja legislasi DPR yang sangat lamban. Kita menghadapi realita di mana selama ini hanya UU yang berdampak langsung pada kepentingan partai politik atau elitenya yang paling mudah untuk dikejar di parlemen. Sementara produk legislasi yang banyak mengatur permasalahan di daerah terbengkalai, karena tidak berdampak langsung pada partai politik. Maka, ada kebutuhan mendesak untuk menguatkan DPD dalam rangka meningkatkan kinerja legislasi parlemen Indonesia.
Ke depan, ada tantangan besar yang perlu dihadapi DPD. Sikap anti partai yang berkembang di masyarakat Indonesia justru ditanggapi secara pragmatis oleh partai politik dengan memainkan aturan hukum. Sebagai contoh, tren munculnya calon independen di pilkada. Hal yang dilakukan oleh partai politik adalah menekan aturan untuk menyulitkan laju calon perseorangan.
Hal serupa juga dapat terjadi untuk DPD. Partai politik tidak berusaha mengevaluasi sistem dan kinerja partai, namun lebih memilih “memaksa” masyarakat mengikuti permainan mereka sendiri. Dengan demikian, partai politik tidak ubahnya sebagai sebuah lembaga yang hanya menginginkan jalan pintas menuju kekuasaan tanpa memperhatikan substansi demokrasi.
Dukungan dari pemerintah dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk bisa mendorong penguatan DPD dalam atmosfer politik yang seperti ini. Kita tidak bisa berharap pada DPR yang cenderung membuat parlemen sebagai “playground” khusus bagi partai politik.
DPD memiliki tantangan besar dalam membangun wacana di tengah masyarakat tentang mengapa lembaga ini menjadi penting dipertahankan. Masalah utamanya adalah DPD seperti “mati suri” hingga saat ini. Lembaga ini seperti tidak terlibat dalam diskurus politik dalam negeri. Padahal, DPD memiliki fungsi untuk membahas berbagai persoalan daerah, termasuk persoalan-persoalan yang menyangkut otonomi daerah maupun desentralisasi.
Selain itu, saat ini anggota DPD sendiri telah banyak berelasi dengan partai politik. Hal ini tentu melemahkan fungsi keseimbangan representasi yang dicoba dibawa oleh sistem bikameralisme kita.
Satu-satunya pintu agar DPD dapat tetap eksis adalah jaringan kepala-kepala daerah. Hal ini memang menjadi modal DPD, namun di sisi lain juga menjadi tantangan yang tidak mudah. Salah satu isu paling penting yang menjadi pembahasan para kepala daerah adalah persoalan pemekaran wilayah. Tantangan yang perlu dihadapi DPD adalah tidak menjadikan badan tersebut semata-mata broker politik bagi tiap kepala daerah. Pada akhirnya perlu diakui, penguatan sistem bikameral kita masih akan menempuh jalan yang panjang.