Kamis, April 18, 2024

Referensi “Wow” Prabowo dan Indonesia yang Hilang di 2030

Wahyudi Akmaliah
Wahyudi Akmaliah
Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Berdiri di podium di tengah massa kader Gerindra, Prabowo Subiyanto berteriak lantang mengenai nasib dan prediksi Indonesia pada tahun 2050. Menurutnya, berdasarkan kajian-kajian negara lain, Indonesia dinyatakan sudah tidak ada lagi pada tahun 2030.

Sebagaimana dijelaskan lebih detail, “Saudara-saudara! Kita masih upacara, kita masih menyanyikan lagu kebangsaan, kita masih pakai lambang-lambang negara, gambar-gambar pendiri bangsa masih ada di sini, tetapi di negara lain mereka sudah bikin kajian-kajian, di mana Republik Indonesia sudah dinyatakan tidak ada lagi tahun 2030.”

Tidak hanya berhenti di sini, dengan merujuk kajian negara lain tersebut, 80 persen tanah seluruh negara Indonesia dikuasai 1 persen rakyat Indonesia. Di sini, penguasaan tersebut sebagian besar diambil ke luar negeri. Kondisi ini, menurut pidato tersebut, “merusak bangsa kita”.

Pidato Prabowo ini berasal dari unggahan akun Facebook Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) pada 19 Maret 2017 pukul sebelas. Video itu berdurasi 1,17 menit. Prediksi hilangnya Indonesia pada tahun 2030 inilah yang menjadi perbincangan, baik di dunia online maupun offline. Bahkan, pidato itu kemudian menjadi bahan perbincangan, khususnya oleh warganet, tidak terkecuali sejumlah partai politik.

Namun, alih-alih mengiyakan pendapat tersebut, saya justru mengajukan sebuah pertanyaan, sebenarnya darimana data dan kajian itu diambil? Jika merujuk pada laporan McKinsey Global Institute yang dirilis pada September 2012, Indonesia menempati ranking ke-16 ekonomi dunia, di mana 45 juta terdiri dari kelas konsumen.

Sementara itu, 53% populasi di kota-kota di Indonesia menghasilkan 74% GDP dan ada 55 juta kelas pekerja terampil yang menopang perekonomian Indonesia. Peluang pasar untuk sektor jasa pelayanan, perikanan, pertanian, dan pendidikan adalah 0,5 trilliun USD.

Dengan kemampuan ini, pada tahun 2030, McKinsey memprediksi Indonesia akan menempati ranking ke-7 ekonomi dunia, di mana kelas konsumennya terdiri dari 135 juta orang dan 71 persen populasi masyarakat di perkotaan menghasilkan 86 persen GDP. Terkait dengan jumlah tersebut, dibutuhkan sekitar 113 juta pekerja terampil untuk memenuhi sistem perekonomian tersebut.

Peluang pasar pada tahun tersebut juga begitu besar, yaitu 1,8 triliun USD  untuk sektor jasa pelayanan, perikanan, pertanian, dan pendidikan.

Sementara itu, dengan mengutip PricewaterhouseCoopers, salah satu perusahaan layanan profesional terbesar di dunia, Businness Insider UK, pada 7 Februari 2017 merilis prediksi untuk ekonomi paling kuat di dunia pada tahun 2030. Dalam laporan berjudul “The long view: how will the global economic order change by 2050?”, lembaga tersebut membuat ranking 32 negara dengan produksi domestik bruto global yang diproyeksikan melalui keseimbangan kemampuan berbelanja (purchasing power parity).

Di sini, Indonesia menempati urutan kelima dengan jumlah 5.424 trilliun USD, di mana urutan pertama diduduki oleh China, Amerika Serikat (2), India (3).

Jika disederhanakan, peningkatan perekonomian ini ini seiring dengan jumlah populasi Indonesia, di mana semakin banyak penduduknya, tingkat konsumsi juga semakin tinggi. Cerminan meningkatnya populasi Indonesia bisa dilihat dengan data dari Uero Monitor Internasional. Menurutnya, pada tahun 2030, Indonesia akan menjadi negara keempat dengan jumlah penduduk terbesar keempat, yaitu 295 juta orang, dengan kenaikan sekitar 14.7 % dari tahun 2015.

Pertumbuhan penduduk ini justru terjadi pada wilayah masyarakat urban yang akan mengalami kenaikan dua kali lipat dari pertumbuhan rata-rata total populasi. Lebih jauh, menurut laporan Fragile State Index pada tahun 2017, Indonesia justru menempati posisi yang relatif lebih baik dari tahun sebelumnya. Peringkat Indonesia berada dalam Elevated Warning (Peringatan Tinggi) dengan menempati posisi 72.9. Level ini merupakan peringkat ke-7. Peringkat 1) Very Sustainable, 2) Sustainable, 3) Very Stable, 4) More Stable, 5) Warning). Sementara itu, di bawah itu, adalah 8) High Warning, 9) Alert, dan terakhir 10)  Hight Alert.

Di negara Asia Tenggara, peringkat Indonesia jauh lebih baik ketimbang Thailand (76.2) dan Filipina (84.4). Bahkan, menurut laporan tersebut, Indonesia dianggap mengalami peningkatan yang lebih baik dari sebelumnya.

Bertolak dari data-data tersebut, sebenarnya dari mana materi pidato Prabowo itu diambil? Hal yang menarik prediksi Indonesia tidak ada lagi ini justru diambil dari novel  Ghost Fleet (2015), yang bergenre techno-thriller, ditulis oleh P. W. Singer dan August Cole.

Novel ini dipernah dibahas Prabowo saat menghadiri peresmian dan bedah buku “Nasionalisme Sosialisme dan Pragmatisme Pemikiran Ekonomi Politik Soemitro Djojohadikusumo” pada 18 September 2017 (www.detik.com. 21 Maret 2018). Di sini, latar belakang dua pengarang itu adalah; Singer seorang sarjana ahli politik dan hubungan internasional, yang pernah bekerja di lembaga think tank milik negara Amerika Serikat dan Cole seorang jurnalis pertahanan yang seringkali menulis mengenai fiksi perang di masa depan.

Menggunakan teori-teori konflik dengan menjadikan situasi politik internasional sebagai konteks, mereka membayangkan bagaimana perang dunia ketiga itu terjadi, dengan menekankan pada pertempuran di ruang angkasa dan dunia maya. Maksud perang itu adalah antara Amerika Serikat dan China dengan bersekutu dengan Rusia melalui penguasaan Hawai.

Sebagai gambaran awal narasi di awal-awal buku, Indonesia dibahas sebagai bagian kecil menjadi negara gagal dan terpecah setelah terjadinya perang kedua di Timor Leste. Melalui catatan kaki sebanyak 400 catatan kaki, novel ini memang menjadi perbincangan dan diulas oleh pelbagai media massa dan online internasional. Meski demikian, sejumlah catatan tersebut merupakan konteks situasi politik terkini yang kemudian dirajut dengan imajinasi fiksi melalui proses dramatisasi dalam membangun plot cerita.

Memang, harus diakui tidak semua novel itu seluruhnya fiksi. Tidak sedikit dari karya sastra justru diekstraksi dari realitas keseharian. Novel-novel yang diterbitkan oleh kelompok Tionghoa dengan bahasa Melayu rendah, dikategorikan dalam Batjaan Liar oleh Balai Pustaka ketika pemerintah kolonial berkuasa, misalnya, berisi sejumlah kritik atas kebijakan yang menindas (Farid dan Razib: 2008).

Selain itu, dengan meriset novel dan cerpen-cerpen Pramoedya Ananta Toer, Hilmar Farid (2014) menceritakan bagaimana perjalanan Pram menulis mengenai sejarah Indonesia. Berkaca dari hal tersebut, apa yang disampaikan Prabowo dalam pidato tersebut bisa saja dianggap sebagai sebuah refleksi dari hasil bacaannya terhadap novel Ghost Fleet.

Namun, refleksi tersebut harus dibenturkan dengan sejumlah hasil riset dan data mengenai kondisi Indonesia sendiri sehingga intervensi asing yang selama ini menjadi penanda keberpihakannya kepada Indonesia, sebagaimana sering dikampanyekan, justru bisa jauh ditangkal. Apalagi, dalam novel itu, Indonesia bukan menjadi pembahasan utama. Jika tidak, apa yang telah disampaikan tersebut memiliki basis fondasi pengetahuan yang sangat mudah dipatahkan dan bisa dianggap delusional.

Dengan demikian, alih-alih membangun semacam kewaspadaan kepada seluruh masyarakat Indonesia, yang terjadi pidato tersebut bisa dianggap untuk menakut-nakuti dan membangun pesimisme mengenai Indonesia ke depan di tengah data dan informasi yang justru sedang menunjukkan Indonesia sedang mengalami tren yang lebih baik.

Di sini, membangun sikap oposisi untuk menunjukkan kesalahan dan kritik kepada lawan politik menjadi keharusan dalam sistem demokrasi. Dengan begitu, sejumlah kebijakan yang diterapkan memiliki kontrol publik. Namun, untuk melakukan hal tersebut harus didukung oleh sejumlah data statistik, sejarah, dan informasi yang akurat.

Ini dilakukan bukan hanya untuk menguatkan sistem demokrasi, melainkan pembelajaran publik sambil menekankan bahwa politik itu semata-mata bukan berbicara kekuasaan. Lebih dari itu, politik adalah jalan untuk pembelajaran kolektif bersama dan membangun kebajikan publik.

Kolom terkait:

Prabowo, Oposisi Integratif, dan Demokrasi Kita

Peluang Prabowo Pasca Pilkada Jakarta

Menakar Siasat Politik Dua Jenderal

Aliansi Dua Jenderal?

Wahyudi Akmaliah
Wahyudi Akmaliah
Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.