“Fear doesn’t have to be real to be powerful.”
– Matthew Dowd, ABC News
Siang hari, 29 September 2017, di daerah Bantul, Yogyakarta, sebuah masjid yang biasanya dimanfaatkan mengumumkan wara-wara agenda desa, mengumumkan acara nobar (nonton bareng) film fenomenal, Pengkhianatan G 30S PKI. Beberapa pemuda yang sedang berkumpul dan merokok tersenyum, beberapa meringis.
Seorang pemuda, sembari mematikan bara rokoknya, mengatakan, “Hantu komunisme bangkit kembali!” Kawannya tertawa dan menimpali, “Melu perburuan ‘hantu komunisme’, ora?” Obrolan tadi hanyalah guyonan umum, tapi mungkin di tempat lain, itu adalah perkara serius.
Dalam catatan sejarah Indonesia, Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan kudeta pada 30 September 1960, menculik, menyiksa, dan membunuh enam jenderal dalam satu malam. Digambarkannya, perempuan-perempuan anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) menyiksa para jenderal, memotong alat kelamin, menyayat dengan silet, dan menari-nari telanjang, seperti ‘perayaan’. Maka, esoknya, Mayor Jenderal Soeharto dengan sigap ‘menyelesaikannya’.
Duta Besar Amerika di Jakarta mengirimkan laporannya ke Washington dalam telegram:
“Duta Besar AS, Jakarta, Marshall Green, 5 Oktober, 1965. Telegram kepada Departemen Luar Negeri AS, Washington.
Apa yang sebenarnya terjadi masih tidak jelas. Kami dapat membantu membentuk perkembangan untuk keuntungan kita … menyebarkan kisah tentang kesalahan Komunis … pengkhianatan dan kebrutalan.”
Bersama AS Berburu Hantu Komunisme
Ketakutan pada komunisme memicu perubahan politik yang sangat besar, itu terjadi hanya di Indonesia, tetapi negara-negara lainnya, semua itu berawal dari Perang Dunia. Setelah Perang Dunia II menghancurkan sistem diplomatik lama antara Amerika Serikat dan URSS (Uni Republik Sosialis Soviet, Inggris: USSR), seluruh dunia pun terpolarisasi: Blok Barat dan Blok Timur.
Senator AS negara bagian Wisconsin, Joseph Raymond McCarthy, menjadi bintang Amerika selama Perang Dingin. McCarthy mengklaim bahwa banyaknya komunis telah menyusup ke Departemen Luar Negeri AS, memicu kekhawatiran akan adanya subversi komunis yang meluas. Red Scare yang disebarkan oleh McCarthy ini terkena dengan sebutan “McCarthyisme”. Secara umum, promosi ketakutan ini dikenal dengan “Red Scare”.
Pada 1938, sebuah komite untuk menginvestigasi warga negara AS yang diduga terlibat komunisme dibentuk. Komite itu dikenal dengan The House Un-American Activities Committee (HUAC), dan sepertinya tidak ada yang lebih “Amerikanisme” daripada HUAC, karena memang betul, bukan, karena hanya komite ini yang sanggup menentukan kegiatan-yang-bukan-Amerika.
Di Washington, Red Scare lebih intens disebarkan daripada negara bagian lainnya, menyingkirkan orang-orang dari hak Amandemen Pertama mereka, melenyapkan organisasi-organisasi politik, membuat para liberal ‘tutup mulut’, dan memberikan jalan kepada konservatif untuk mencopot sistem kesehatan bagian Washington untuk orang miskin.
Pada 1947, HUAC melakukan penyelidikan terhadap industri film Amerika, dengan tujuan mengidentifikasi subversif politik pada aktor, aktris, penulis, dan sutradara Hollywood. HUAC memanggil daftar panjang pemain di industri perfilman. Sebagian besar bekerja sama dengan HUAC dengan memberikan nama-nama yang mereka yakini sebagai komunis.
Namun, sebuah kelompok yang dikenal sebagai “Hollywood Ten”, mengajukan hak Amandemen Pertama mereka untuk kebebasan berserikat dan menantang hak panitia untuk bertanya tentang pandangan politik mereka. Namun, Mahkamah Agung menolak hingga sepuluh sutradara dan penulis skenario ini menghabiskan enam bulan di penjara. Selama lebih dari satu dekade, mereka masuk daftar hitam Hollywood, hingga tidak dapat bekerja. Red Scare dalam sejarah AS dapat juga dilihat dalam film biografi, Trumbo.
Sulit memperkirakan jumlah korban McCarthy. Jumlah yang dipenjara berjumlah ratusan, dan sekitar sepuluh atau dua belas ribu kehilangan pekerjaan mereka. Namun, tak hanya dalam industri film, McCarthyisme juga diterapkan orang-orang di universitas, bidang lainnya, hingga dalam bidang sains, salah satu yang terdaftar adalah Albert Einstein.
Red Scare, tak lebih menjadi strategi politik yang ampuh untuk merongrong lawan politik, alat sebagai tuduhan demagogik, dan tidak berdasar.
Pada 1987, terbit dokumen otopsi visum et repertum enam jenderal dalam tulisan “How Did The Generals Die” oleh Ben Anderson. Otopsi dilakukan dua dokter militer dan tiga ahli forensik di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hasil otopsi menunjukan tidak ada bekas siksaan seperti yang digambarkan dalam film mengerikan G 30 S PKI. Kematian para jenderal ditembak mati di tubuh dan kepala.
Tak hanya itu, telegram berisi laporan-laporan Marshall Green lainnya telah dirilis, tercatat dan dirilis dalam sejarah Departemen Luar Negeri: HUBUNGAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT, 1964-1968, Volume XXVI. Dokumen-dokumen yang dirilis ini menunjukkan bahwa Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menyadari ini, dan mereka mengungkapkan secara rinci bagaimana AS mendorong dan mendukung penghancuran PKI dengan dukungan finansial dan intelijen.
Tiga puluh tahun kemudian, hari ini, setelah rilis ke publik dokumen otopsi visum et repertum enam jenderal, dengung-dengung ‘hantu komunisme’ masih terdengar, meski tidak ada lagi PKI yang tersisa. Pada 30 September 2017, di sebuah gang di Jakarta Pusat, film propaganda Pengkhianatan G 30 S PKI (1984), karya Arifin C. Noer, dan disponsori Pemerintahan Orde Baru, dengan budget 800 juta rupiah, diputar.
Nobar itu kemudian diakhiri dengan teriakan sekelompok anak kecil, “Bunuh PKI… Bunuh PKI!”
Tapi, PKI sudah lama mati, Nak…
Konten terkait:
Yuk, Nonton Bareng G30S/PKI, Senyap, dan Jagal