Jumat, April 19, 2024

Puisi Esai Denny JA: Pamflet Harian Seorang Konsultan

Andi Saiful Haq
Andi Saiful Haq
Pendiri Institute for Transformation Studies (INTRANS), sekarang bekerja sebagai Komisaris di PT. Pertamina Trans Kontinental

Tulisan ini tentu tidak akan menambah catatan panjang para sastrawan dan budayawan yang menolak ketika Denny JA masuk sebagai salah satu tokoh sastra berpengaruh di Indonesia. Tulisan ini juga tidak ingin menambah deretan panjang berbagai kritik atas upaya Denny JA yang melakukan klaim atas apa yang disebutnya sebagai penemuan “Esai Puisi”.

Saya pribadi juga tidak mungkin menulis sebuah kritik sastra karena saya sama sekali tidak memiliki kapasitas untuk itu. Tulisan ini hadir semata karena Denny JA sering kali menyebarkan “esai-esai puisi” yang ditulisnya di sebuah grup, yang kebetulan baik saya maupun dia bukan sebagai admin.

Persoalannya, saya kagum pada sikap keras kepala Denny JA yang terus meyakini bahwa “Esai Puisi” itu adalah mazhab sastra yang baru dia temukan. Mungkin Denny JA berpikir bahwa karya sastra sama dengan iklan politik, yang mana jika ditayangkan setiap hari akan bersarang dalam “top of mind” publik, lalu jadilah ia sebuah kesadaran dan kebenaran.

Denny JA mungkin lupa, berapa banyak karya sastra yang dibakar, penulisnya dipenjarakan bahkan dibunuh, namun karya itu bisa muncul kembali tanpa perlu menunggu seorang konsultan politik membidani kebangkitan itu.

Saya mencoba menemukan unsur sastra di dalam tulisan-tulisan Denny JA, namun akhirnya harus kecewa. Tulisan-tulisan itu, yang disebutnya sebagai “Esai Puisi”, tak ubahnya seperti pamflet politik yang disisipkan di bawah pintu-pintu rumah, pada tengah malam, di bawah ancaman rezim bengis yang antikritik.

Pamflet propaganda, di Jerman disebut dengan kata “flugblatt” adalah kata yang tepat disematkan pada tulisan-tulisan Denny JA tersebut. Mengingat pamflet memang tidak membutuhkan unsur sastra, bahkan verifikasi akademik—meski tidak sedikit pamlet politik yang dikemudian hari dijadikan rujukan teori karena mampu menjelaskan keadaan sosial politik masyarakat dimana pamflet tersebut lahir.

Koleksi pamflet di Washington Post atau New York Post merupakan bukti bahwa pamflet tidak selamanya tidak ilmiah. Namun demikian, meski populer sebagai salah satu komponen lahirnya Abad Pencerahan, pamflet lebih dekat dengan konotasi negatif di zaman Eropa moderen. Itu karena pamflet dianggap berhubungan dekat dengan propaganda agama, menyulut kebencian, dan kemarahan. Pamflet bahkan disebut-sebut sebagai salah satu penyulut terjadinya perang sipil di Inggris tahun 1642.

Tentu saya tidak sedang menuduh Denny JA hendak menyebar kebencian lalu menyulut perang sipil. Namun, tentu tidak salah jika bertanya hendak kemana Denny JA membawa pamflet-pamflet politiknya itu? Kesan agresif dan ofensif sangat kental terasa dalam pamflet Denny JA.

Salah satu dan yang terbaru adalah pamflet yang diarahkannya kepada Partai Solidaritas Indonesia, partai politik besutan Grace Natalie dan Raja Juli Antoni, hanya karena dirinya membaca nama Sunny Tanuwijaja dalam jajaran pembina PSI.

Lalu, untuk apa Denny JA harus merepotkan diri memaksakan pamfletnya agar bisa disebut sebagai Puisi Esai? Dugaan saya, mungkin karena Denny JA percaya pada John F. Kennedy yang mengatakan: “Jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya.”

Pada titik ini saya kemudian mencoba lebih menunjukkan empati agar bisa menemukan cara menikmati pamflet seorang Denny JA. Saya mencoba menyelami betapa beratnya hidup Denny JA yang dikuasai kejenuhan akibat rutinitasnya sebagai konsultan politik. Bukan konsultan politik biasa, setidaknya dia selalu menyebut bahwa dirinyalah yang terbaik dan terakurat di Indonesia. Bagi Denny JA, segalanya bisa diciptakan, dicitrakan, dan diproyeksikan.

Saya tidak bisa membayangkan betapa bosannya menjadi Tuhan, ketika segalanya bisa DIA ciptakan. Kun fa ya kun! Maka jadilah. Tentu saya tidak hendak mengatakan bahwa Denny JA adalah atau mirip dengan Tuhan.

Denny JA mungkin tiba pada satu titik kejenuhan yang sulit untuk ditahankan. Bukankah sebuah kutukan jika Anda dikaruniai sebuah kemampuan penginderaan supranatural sehingga masa depan bisa Anda ketahui, jauh sebelum hari kejadian. Apalagi jika dibarengi dengan tingkat akurasi tinggi di mana margin error sama dengan nol. Membosankan, bukan?

Latar belakang kebosanan inilah yang, menurut saya, menjadi landasan Denny JA merilis buku Membawa Puisi ke Tengah Gelanggang.” Mungkin Denny JA lupa jika puisi itu bukanlah kandidat kepala daerah atau visi misi kandidat yang bisa ditenteng ke mana-mana. Tapi, ya namanya orang bosan, kita pahami saja dia sedang mencari gara-gara atau sedang mengukur tingkat akurasi ramalannya di ranah sastra.

Tapi, sekuat apa pun Denny JA memaksakan pamfletnya disebut sebagai karya sastra, maka sebesar itu pula dia akan ditolak oleh sejarah. Pamflet-pamflet Denny JA tak ubahnya karya propaganda, yakni sebuah monolog tanpa ruang diskusi. Itulah sebabnya, seorang tiran seperti Hitler, Saddam Husein ataupun Stalin bisa menciptakan ribuan pamflet. Namun, tidak satu pun larik puisi bisa mereka tuliskan. Itu karena puisi selalu menyediakan ruang percakapan dan perdebatan yang bebas.

Puisi merupakan bahasa dialog yang menghubungkan fakta dan relung publik yang tersembunyi. Karenanya, puisi memustahilkan kemunafikan untuk bersembunyi dalam larik, baris, dan baitnya. Puisi adalah susunan huruf demi huruf, kata demi kata, baris demi baris yang merdeka. Maka, puisi selalu menolak menjadi subordinat dari politik, apalagi jika Denny JA hendak menyebutnya sebagai “Puisi Esai”.

Baca juga:

Orwell dan Sastra yang Politis

Haji, Sastra, dan Kritik Simbolisasi Agama

Membincang Pram dan Sastra Kita

Menakar Narasi Pembaca Sastra Era Milenial

Museum Sastra Andrea Hirata

Andi Saiful Haq
Andi Saiful Haq
Pendiri Institute for Transformation Studies (INTRANS), sekarang bekerja sebagai Komisaris di PT. Pertamina Trans Kontinental
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.