Kamis, Mei 2, 2024

Politisi Perempuan di Tengah Sistem Politik Predator

Umbu Pariangu
Umbu Pariangu
Lulusan S1 Administrasi Negara dari FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang. Sejak tahun 2006 mengabdi di almamater sebagai staf pengajar. Meraih gelar S2 Fisipol dari Universitas Gadjah Mada.

Sejumlah perempuan Bali dari berbagai latar belakang; parpol, akademisi, maupun lembaga masyarakat, menghadiri sosialisasi kampanye calon legislatif perempuan yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Bali di gedung Wiswasabha, Kantor Gubenur Bali, Denpasar, beberapa waktu lalu. [Sumber: www.mediasrikandi.wordpress.com]
Sejumlah perempuan Bali dari berbagai latar belakang (parpol, akademisi, maupun lembaga masyarakat) menghadiri sosialisasi kampanye calon legislatif perempuan yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Bali di Kantor Gubenur Bali, Denpasar, beberapa waktu lalu. [Sumber: www.mediasrikandi.wordpress.com]
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) belum lama ini (22/2) mencatatkan bahwa dari 45 politisi perempuan yang mencalonkan diri di Pilkada Serentak 2017, ada 13 orang yang menang, yakni 1 wakil gubernur, 2 wali kota, 1 wakil wali kota, 8 bupati dan 1 wakil bupati. Lalu bisakah mereka membuktikan diri sebagai politisi bersih kelak? Atau kembali terseret oleh badai senasib dengan rekan-rekannya yang mendekam di balik bui?

Kalau saja Bupati Klaten Sri Hartini tak ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mungkin duo Sri (Sri Hartini dan Sri Mulyani) sudah menjadi ikon kebanggaan bagi kiprah perempuan dalam memenangkan kontestasi politik di berbagai daerah di Indonesia.

Sayang, karier mereka terlalu cepat digerus ambisi berkuasa (will to power) yang berkelindan dengan korupsi. Ranting-ranting emansipasi politik yang coba dipelihara untuk mempercantik kebun demokrasi akhirnya gugur. Kasus ini seolah memperkuat hipotesis tak ada anestesi korupsi di kalangan perempuan dalam politik.

Sepanjang tahun 2016, ada 11 perempuan yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. salah satunya Damayanti Wisnu Putranti. Anggota Komisi V DPR itu terlibat kasus suap proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tahun anggaran 2016. Damayanti juga melibatkan dua asistennya, Julia Prasetyarini dan Dessy Ariyati Edwin, yang sama-sama menjadi tersangka.

Rasuah juga menyeret Noviyanti, asisten anggota Komisi Hukum DPR I Putu Sudiartana, lantaran memfasilitasi bosnya dengan rekeningnya untuk menampung uang suap dari Direktur PT Faktanusa Ciptagraha Yogan Askan. Direktur PT Berdikari (Persero) Siti Marwah juga ditangkap KPK setelah terbukti menerima suap sebesar Rp 2,2 miliar terkait jual-beli pupuk urea.

Kasus Ketua DPD Irman Gusman juga memakan korban seorang Direktur CV Semesta Berjaya Memi yang didakwa menyuap Irman untuk mendapatkan jatah kuota gula impor di Padang, Sumatera Barat. Tak berselang lama, KPK kembali mencokok dua kepala daerah perempuan, Wali Kota Cimahi Atty Suharti dalam kasus proyek pembangunan Pasar Atas Baru Cimahi tahap II dan Bupati Klaten Sri Hartini.

Pusaran Politik Arus Utama

Data di atas semestinya tak serta merta membuat kita semakin meyakini bahwa masuknya perempuan dalam politik tidak mempengaruhi jumlah korupsi, sehingga prinsip demokrasi yang digunakan sebagai fondasi untuk berkiprah secara emansipatif menjadi kehilangan roh di tubuh perempuan. Kalau itu dipakai, kita mengekori argumen Immanuel Kant, yakni dalam diri perempuan sesungguhnya tidak ada responsibilitas moral, selain tubuh dan tenaga yang dieksploitasi untuk kepentingan kapital.

Riset Bank Dunia (1999) yang menemukan bahwa laki-laki lebih mudah membayar suap dibanding perempuan menjadi seolah-olah tidak valid. Hal ini diperkuat oleh temuan kajian Transparancy International (2007), yaitu tidak ada korelasi kehadiran perempuan di parlemen dengan pengurangan korupsi.

Hasil riset Bank Dunia di atas boleh jadi diwarisi efek kemunculan perempuan di ranah publik yang disebut dengan feminisme gelombang pertama. Di mana perempuan pada saat itu mampu memenangkan hak-hak politik kewarganegaraannya secara signifikan dan berhasil memperlebar akses ke pendidikan tinggi, dan dengan begitu mereka dapat dengan mudah terjun dan berkarya di berbagai profesi yang sebelumnya sukar dijangkau.

Mereka juga memenangkan hak-hak pribadi di hadapan hukum seperti hak juri, hak kepemilikan, akses kepada kredit, dan mendapatkan otoritas untuk meninggalkan pernikahan dengan berpisah secara legal. Puncaknya pada 1928 ketika hak memilih perempuan dalam pemilu di Inggris dilegalkan, setelah sebelumnya berlaku di Amerika Serikat sejak 1920 (Spender, 1983; Walby, 2014).

Tetapi, hal tersebut kini bagai euforia yang mulai kehilangan reminisensinya. Ruang politik yang keras, saat perseteruan dan konflik kepentingan diwarnai intrik, manuver “siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana”, serta relasi politik yang dibentuk dengan dalil
take and give”, menjadikan para politis (termasuk politisi perempuan) tanpa sadar memandang nilai-nilai tersebut sebagai keniscayaan yang rasional.

Demokrasi sebagai sistem pemerintahan terkemuka di dunia memfasilitasi ruang keterbukaan politik bagi perempuan dengan gumpalan isu seksi; kebebasan dan hak asasi manusia. Demokrasi secara ontologi membuka kesempatan bagi siapa saja (laki-laki-perempuan, muda-tua, budak-hamba) untuk menjalankan hak partisipasi politiknya.

Namun, karena jalan untuk merebut posisi politik semakin mahal dan kalkulatif karena membutuhkan mahar, uang survei untuk mengukur elektabilitas kandidat, dan lain sebagainya, yang terjadi kemudian adalah hasrat dan modal kapital (baik sosial, budaya, ekonomi) kaum perempuan tanpa disadari telah “dikoloni” oleh prinsip kompetisi kekuasaan berbasis pragmatisme dan jaringan parokial oleh agen-agen politik partai yang menisbahkan dirinya sebagai “penguasa”.

Kalaupun perempuan muncul dalam struktur parlemen dan eksekutif, itu bukan konsekuensi langsung dari kapabilitasnya, melainkan hasil rekayasa sistem politik yang bertujuan memperluas kapling penguasaan ekonomi dan jaringan predasi, yang dibungkus dengan representasi gender dan kuota afirmasi 30 persen bagi perempuan dalam pemilu.

Patriark Berumah di Atas Angin

Akibat gesekan ekslusifisme dan komersialisme politik seperti itu, perempuan kemudian memasuki kamar struktur kekuasaan tanpa jubah utuh kesadaran kompetensi moral maupun teknis, karena sudah dilucuti sejak awal di depan pintu sistem politik yang korup lewat syarat-syarat penerimaan yang transaksional.

Keharusan membayar “uang pintu” atau “sewa perahu”, yang dijadikan jalan memupuk syahwat kekuasaan, sama sekali tidak akan menstimulus adrenalin perempuan untuk merawat integritas politiknya. Sebaliknya, sistem politik itu melegalisasinya untuk perlahan-lahan membunuh akal sehat maupun prinsip-prinsip politik kesejahteraan bersama.

Kebuntuan politik ini memiliki implikasi buruk bagi pengejawantahan suara dan perjuangan kepentingan perempuan, karena mereka cepat kehabisan kewarasan untuk memetakan persoalan-persoalan urgen dalam kerangka kepentingan publik. Godaan uang dan intensi kapitalisasi posisi politiknya membuatnya tidak lagi berpikir seideal ketika berada di luar sistem kekuasaan.

Sementara politisi laki-laki seakan berumah di atas angin dalam mengendalikan politisi perempuan, karena seluruh pranata dan aturan politik yang didesain dan diciptakan sejak awal memang selalu mencerminkan kepentingan maskulinitas (popularitas, elektoral dan uang serta kekuasaan). Ketika politisi perempuan sudah menyatu dalam jaringan kekuasaan, upaya membangun posisi tawar lewat idealisme visi-misi, apalagi untuk membela kepentingan minoritas, mudah mengalami dehidrasi.

Tampak bahwa potensi melakukan korupsi menjangkiti perempuan dan laki-laki, bukan karena gender maupun jenis kelaminnya, melainkan iklim politik predator yang tidak sehat. Idealnya, kita harus membangun sistem politik yang demokratis di mana eksistensi perempuan, terutama dalam proses rekrutmennya, tidak mudah dikapitalisasi oleh kepentingan diri/kelompok tertentu.

Selama sistem politik yang mempredasi modal ekonomi masih terus lestari dan dilestarikan, selama partai politik masih asyik bermasyuk ria merawat mesin seleksi kadernya dengan menitikberatkan kedekatan subjektif, kapital, dan popularitas, sulit bagi perempuan untuk masuk dalam lingkungan politik dan menjadi politisi penjaga moral.

Umbu Pariangu
Umbu Pariangu
Lulusan S1 Administrasi Negara dari FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang. Sejak tahun 2006 mengabdi di almamater sebagai staf pengajar. Meraih gelar S2 Fisipol dari Universitas Gadjah Mada.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.