Hary Tanoesoedibjo (HT) tiba-tiba bikin kejutan. Persatuan Indonesia (Perindo), partai besutannya itu, mewacanakan untuk mendukung Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden pada 2019. Publik pun terperangah. Mengapa tidak ada hujan dan angin, ujug-ujug HT berbelok haluan seratus delapan puluh derajat.
Siapa pun tahu belaka bahwa HT selama ini berseberangan sikap dengan pemerintah. Ia dekat dengan partai-partai politik oposisi dan rajin juga mengkritik kebijakan Jokowi. Imperium bisnis medianya, MNC Group, getol pula menyerang pemerintahan Jokowi seperti terlihat dari pemberitaan-pemberitaan media yang berada di bawah korporasi tersebut.
Publik kemudian bertanya-tanya: apa sesungguhnya target politik yang hendak dicapai HT dengan langkah zig-zagnya tersebut? Betulkah langkah itu murni sebagai bentuk dukungan terhadap pemerintah karena ada kesamaan visi dan misi dengan Jokowi seperti diungkapkan Sekretaris Jenderal Perindo Ahmad Rofiq? Ataukah ada tujuan-tujuan lain yang tersembunyi di balik langkahnya itu?
Bukan Hal Aneh
Jika publik merasa heran dan terkejut dengan langkah balik haluan HT, yang tiba-tiba dari menyerang ke mendukung Jokowi atau dari anti ke pro Jokowi, memang masuk akal. Namun sebenarnya kalau ditelisik secara lebih mendalam, langkah tersebut tidaklah mengherankan. Malah bisa dikatakan sebagai langkah yang biasa-biasa saja.
HT, meski kini disebut sebagai elite politik, sejatinya adalah seorang pengusaha atau pebisnis. Darah dagingnya yang asli adalah pebisnis, bukan politisi. Dan pada umumnya pengusaha atau pebisnis memiliki karakter yang pragmatis. Asal bisa menguntungkan bagi perjalanan dan masa depan bisnisnya, apa pun bisa dilakukan.
Dalam perspektif komunikasi politik, para politisi yang berasal dari dunia bisnis, menurut Dan Nimmo dalam Komunikasi Politik, Komunikator, Pesan, dan Khalayak (2010) disebut sebagai politisi wakil sebagai lawan dari politisi ideolog. Berbeda dengan politisi ideolog, politisi wakil umumnya bersikap pragmatis yang notabene merupakan karakter dasarnya pada saat menjadi pebisnis. Ketika sudah masuk ke dunia politik pun, karakter itu pun tidak hilang, kalau tidak malah semakin mengental.
Dari sudut pandang ini, tidak ada sesuatu yang mengherankan dari langkah HT di atas. Ia, dengan karakter dasar pragamatisnya itu, tak lebih tengah memainkan politik sebagai seni kemungkinan (the art of possibility). Bahwa politik praktis hanya berbicara tentang mana yang mungkin dilakukan dan mana yang tidak mungkin dilakukan; politik tidak berbicara ihwal mana hal yang boleh atau tidak boleh, benar atau tidak benar dilakukan.
Rekam jejak HT sendiri di dunia politik memperlihatkan kecenderungan seperti itu. Pada awalnya ia bergabung dengan Surya Paloh di NasDem yang ketika itu masih merupakan ormas. Tetapi kemudian NasDem berubah menjadi partai politik dan ia menemukan ketidakcocokan dengan Surya Paloh. Ia akhirnya mengundurkan diri dan membawa gerbongnya merapat ke Partai Hanura.
Ia bahkan sempat menjadi calon wakil presiden Wiranto, Ketua Umum Hanura waktu itu, hanya saja tidak lolos. Tidak lama di Hanura, ia menarik diri dan kemudian mendirikan Partai Persatuan Indonesia (Perindo) sampai saat ini.
Dengan demikian, politik zig-zag HT sesungguhnya kian mempertegas karakter pragmatisnya sebagai pebisnis atau pengusaha. Apa yang mungkin dilakukan demi mengamankan bisnisnya jauh lebih penting bagi HT. Tampaknya, kekuasaan politik (kursi) bukanlah tujuan akhir dari karir politiknya, melainkan bagaimana kerajaan bisnisnya bisa tetap aman dan terkendali. Dalam konteks inilah mengapa ia seperti ingin merapat ke Jokowi ketika posisinya terancam gegara kasus hukum yang membelitnya.
Cerdik atau Sembrono?
Dari penjelasan di atas orang mudah menduga bahwa dukungan HT untuk Jokowi lebih terkait dengan motif politik ketimbang semata-mata karena kesamaan visi dan misi. HT jelas ingin mendapatkan keuntungan politik (baca: dibebaskan dari kasus hukum yang membelitnya) jika ia mendukung Jokowi.
Di satu sisi, langkah HT tersebut bisa dianggap cukup cerdik. Ia mencoba memanfaatkan situasi politik yang belakangan kurang ramah terhadap Jokowi, terutama sejak penerbitan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pembubaran Ormas dan pengesahan RUU Pemilu yang menjadi kotroversi karena meloloskan angka ambang batas presiden (presidential threshold) 20 persen kursi legislatif atau 25 persen suara nasional.
Sebagian kalangan menyebut langkah HT merapat ke pemerintah sebagai
“menjebak” Jokowi. Dalam pengertian bahwa dengan tindakannya itu Jokowi dibuat harus menerimanya karena Jokowi sendiri tengah memerlukan banyak dukungan publik. Serangan-serangan terhadap Jokowi belakangan kian meningkat terkait dua kasus di atas sehingga merapatnya HT bisa menjadi tambahan dukungan yang berarti.
Namun pada sisi lain, langkah HT itu bisa juga disebut sebagai sembrono. Jokowi tentu tidak serta menerima dukungan HT kalau harus membayar dengan syarat tertentu, misalnya, melakukan intervensi terhadap kasus hukum HT. Karena, jika benar-benar dilakukan, hal itu justru akan menjatuhkan kredibilitas Jokowi yang selama ini memposisikan dirinya sebagai tokoh yang tidak mau melakukan intervensi politik atas wilayah yudikatif.
Dengan demikian, alih-alih akan mendapatkan bantuan dari Jokowi atas kasus hukum yang menderanya, HT justru akan semakin kehilangan kredibilitasnya di mata publik. Ia malah akan semakin dicap sebagai petualang politik yang hanya menjadikan politik sebagai sesuatu yang bersifat main-main di mana ia bebas berloncatan ke sana ke mari.