Di tahun politik apa pun bisa terjadi, kebaikan bisa ditutup-tutupi dengan kebohongan, dan iblis bisa menyamar menjadi malaikat demi tercapainya kepentingan kekuasaan. Norma-norma sosial yang sudah lama mentradisi dan menjadi bagian dari etika sosial yang dipegang teguh oleh masyarakat bisa dikoyak semata-mata untuk memuluskan jalan menuju kekuasaan.
Yang memprihatinkan, pemicu terkoyaknya etika sosial itu lebih sering disebabkan oleh hal-hal yang tidak benar-benar terjadi (hoaks) yang—karena kepentingan kekuasaan— dianggap sebagai kebenaran yang kemudian diviralkan tanpa diverifikasi terlebih dahulu validitasnya.
Fenomena ini mengingatkan kita pada apa yang diungkapkan Kanselir Jerman pendukung utama dan penerus Hitler, Joseph Goebbels, “if you tell a lie big enough and keep repeating it, people will eventually come to believe it.”
Seringkali kita mengecam cara-cara berpolitik Hitler tapi pada saat yang sama kita mempraktikkan ajaran-ajarannya. Inilah kemunafikan yang saat ini tampak nyata di hadapan kita.
Orang-orang yang sebelumnya dikenal sebagai tokoh intelektual, akademisi, atau ulama yang menjadi panutan, bisa berubah menjadi provokator atau bahkan agitator yang menihilkan etika akademis. Etika agama yang mengajarkan pentingnya klarifikasi (tabayyun) pada setiap menerima berita pun diabaikan oleh ulama yang berubah wajah menjadi politikus.
Ruang publik sarat dengan pesan-pesan yang bukan saja tak beraturan, tapi juga sarat kepentingan yang mengoyak hati siapa pun yang memiliki keyakinan akan pentingnya menyebarluaskan kebaikan di mana pun dan di setiap kesempatan. Public virtue (kebajikan publik) mengalami kelangkaan di tengah kepadatan pesan-pesan yang menyesatkan.
Pada situasi seperti inilah, dibutuhkan suara-suara lain, yang terdengar jernih di telinga dan menyejukkan di tengah riuh rendah kerumunan yang berteriak tak beraturan, tanpa kontrol, tanpa ada yang mengarahkan atau membimbing ke jalan lurus lagi terang.
Suara-suara itulah yang keluar dari orang-orang yang mampu mengayomi, melihat setiap persoalan dalam perspektif yang kaya dan beragam. Orang-orang yang bisa membimbing dan bukan yang membingungkan lantaran kebenaran yang disampaikan sudah menyublim dalam kepentingan kekuasaan.
Pesan-pesan politik yang mengayomi menjadi kebutuhan yang mendesak dan seyogianya menjadi tugas siapa pun tanpa kecuali, karena ketersediaan lingkungan yang damai, ramah, dan terbuka pada dasarnya merupakan kebutuhan semua orang.
Berbeda pilihan dan aspirasi politik politik sejatinya bukan halangan untuk menghadirkan pesan-pesan politik yang mengayomi semua orang. Perbedaan atau bahkan pertentangan politik bukan hal yang haram, tapi bukan untuk dihadirkan di ruang-ruang yang tidak semestinya.
Para pendiri bangsa ini telah memberi contoh yang baik pada kita. Bahwa ruang perdebatan sengit tersedia dan termanifestasi di arena yang memang disediakan untuk itu, seperti di sidang-sidang parlemen (konstituante). Ada perbedaan atau bahkan pertentangan yang mencolok, misalnya, di antara mereka yang memperjuangkan kepentingan ideologi agama.
Contoh yang sangat populer adalah antara tokoh partai Islam Masyumi, Mohammad Natsir, dengan tokoh partai Katolik, Ignatius Joseph Kasimo; antara Natsir dan Sukarno; atau antara Muhammad Hatta dan Sukarno. Perbedaan kepentingan dan aspirasi politik tidak membuat mereka berseteru, apalagi saling memfitnah dan menafikan. Di luar arena politik mereka bersahabat dan saling menolong pada saat salah satu di antaranya dilanda kesulitan.
Apalagi pada saat berbicara kepentingan rakyat, bangsa, dan negara, mereka bersatu, menyuarakan kepentingan yang sama. Kemerdekaan bangsa dan kesejahteraan rakyat menjadi semacam common denominator (kalimatun sawa) yang menyatukan mereka. Yang mereka utamakan adalah kepentingan rakyat secara umum yang melampaui sekat-sekat kepentingan ideologi dan agama.
Tapi apa yang terjadi saat ini, kita tampak nyata gagal membedakan mana kepentingan golongan (partai) dan mana kepentingan bersama. Kepentingan partai hampir selalu ditonjolkan seraya menutup rapat-rapat kepentingan bersama. Menonjolkan kepentingan bersama seolah menjadi faktor kelemahan yang bisa berakibat pada kekalahan.
Padahal, jika kita umpamakan, kepentingan bersama adalah rumah dan kepentingan partai (golongan) hanyalah kamar-kamar yang ada dalam rumah itu. Untuk mendapatkan kamar yang bagus, Anda harus memiliki rumahnya, karena dengan memiliki rumah Anda bisa memilih kamar dengan leluasa. Sementara untuk mendapatkan rumah yang bagus, tidak mungkin bisa tercapai jika Anda hanya memiliki kamar, sebagus dan semewah apa pun kamar itu.
Dengan demikian, kesadaran akan pentingnya mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan partai dan golongan adalah syarat mutlak untuk mengembangkan politik yang mengayomi, politik yang baik, ramah, dan terbuka bagi siapa saja.
Syarat berikutnya adalah kemampuan membedakan ruang-ruang artikulasi kepentingan politik, antara ruang yang memang absah untuk memperjuangkan kepentingan partai dengan ruang terbuka yang menjadi milik bersama. Kemampuan seperti inilah yang dulu dimiliki para pendiri republik.
Dengan dua syarat ini saja, jika kita mau dan mampu, maka konsep politik yang mengayomi akan termanifestasikan dengan sendirinya di tengah-tengah masyarakat.
Kolom terkait:
Risalah Politik untuk Kebajikan
Kaleidoskop 2017: Tahun Keprihatinan Beragama
Kearifan Politik dalam Menyikapi Perbedaan
Kebhinekaan Itu Sunnatullah, Hentikan Politisasi Pluralisme!