Sejak diangkat sebagai menteri pendidikan pada Juli 2016, Muhadjir Effendy mulai mengapungkan gagasan tentang Full Day School—wacana sekolah 5 hari seminggu dan 8 jam sehari. Secara ringkas, gagasan ini merupakan hal sentral dari kementeriannya. Sayangnya, hal ini akhirnya mendapat pukulan telak saat Presiden Joko Widodo turun tangan membatalkan rencana tersebut.
Intervensi itu memang luar biasa. Yang lebih mengejutkan, pengumuman pembatalan ini tidak diumumkan oleh Muhadjir selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan namun oleh KH Ma’ruf Amin, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Bila kita menganggap bahwa Muhadjir berasal dari Muhammadiyah, sementara Ma’ruf dari Nadhatul Ulama (NU)—dua ormas Islam terbesar di negara ini—sulit untuk menghindari kesan bahwa keputusan untuk menghapuskan sekolah sehari penuh tersebut sarat muatan politis.
Terus terang, sungguhpun menunjukkan persetujuannya di saat pengumuman pembatalan gagasan sekolah seharian penuh oleh Kiai Ma’ruf Amin, pembatalan ini dalam skala besar memberikan efek kerusakan bagi otoritasnya. Dalam demokrasi Barat, ia akan mengundurkan diri. Tapi pengunduran diri menteri jarang dilakukan di Indonesia.
Pengunduran diri ini juga tidak mungkin karena keberadannya di Kementerian Pendidikan mengangkat panji Muhammadiyah yang dengan segera menyatakan dukungannya bagi sekolah sehari penuh pasca intervensi presiden dan meminta pembatalan ini dipertimbangkan kembali.
Seperti NU, Muhammadiyah mengoperasikan jaringan besar sekolah Islam di seluruh negeri. Namun, berbeda dengan madrasah-madrasah tradisional NU, sekolah-sekolah Muhammadiyah memilih menjalankan pendekatan modern. Dalam beberapa tahun terakhir, meniru sekolah-sekolah Islam di Malaysia dan Singapura, banyak di antaranya telah berfungsi sebagai sekolah sehari penuh. Kini ia amat identik dengan Muhammadiyah. Karenanya, kegagalan pelaksanaan kebijakan ini pasti memiliki dampak mendalam di jajaran persyarikatan.
Pukulan tersebut terjadi hanya beberapa minggu setelah mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin batal menjadi salah satu Pengarah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP). Pemerintah, yakni Presiden Jokowi, lebih menjatuhkan pilihan kepada KH Said Aqil Siroj, Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Amien Rais baru-baru ini disebut-sebut dalam persidangan korupsi yang melibatkan mantan menteri kesehatan di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Siti Fadilah Supari.
Tak pelak, tuduhan ini mendorong Dahnil Anzar Simanjuntak, Ketua Pemuda Muhammadiyah, menyifatinya sebagai upaya untuk mencoreng nama Amien Rais khusus dan menghubungkannya dengan Muhammadiyah secara umum. Baik Din maupun Amien adalah tokoh kritis atas pemerintah lewat serangkaian aksi umat Islam terhadap mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama atau “Ahok,” yang telah menghujat Islam.
Sebaliknya, NU bersikap hati-hati terhadap pemerintah. Said bahkan secara terbuka berusaha mencegah anggota dan simpatisan NU untuk ikut serta dalam demonstrasi massal tersebut. Bukan berarti tidak ada ambivalensi dengan sikap NU. KH Ma’ruf Amin, Rais Aam atau pemimpin spiritual NU yang juga merupakan ketua MUI, adalah salah satu kekuatan di balik demonstrasi Islam dan untuk menegakkan fatwa MUI yang benar-benar dihujat oleh Ahok.
Ia bahkan bersaksi melawan Ahok di persidangannya. Ketika Ahok secara pribadi menyindir bahwa Ma’ruf telah berbohong selama kesaksiannya, NU sebagai sebuah organisasi tersinggung, walaupun masalah tersebut segera diluruskan menyusul permintaan maaf dari Ahok.
Namun, kini, seolah ada kesan bahwa K.H. Ma’ruf Amin mulai menjauhkan diri dari demonstrasi antipemerintah, terutama setelah tokoh-tokoh utama di balik gerakan tersebut, seperti Rizieq Shihab, terjerat kasus pornografi. Ia mulai meminta penghentian demonstrasi. Perubahan sikap Ma’ruf ini terlihat nyata manakala Jokowi menunjuknya sebagai salah seorang pengarah UKP-PIP. Dengan kata lain, ia hendak menegaskan bahwa ideologi negara sesuai dengan Islam.
Ketika Ma’ruf dan Muhadjir dipanggil ke Istana Negara untuk membahas sekolah sehari penuh yang didukung oleh Muhammadiyah, yang berakhir dengan yang pembatalan usulan tersebut, status politik Ma’ruf terhadap pemerintah mulai merapat. Ini juga berdampak meningkatkan status NU dengan “mengorbankan” Muhammadiyah
Presiden Jokowi mungkin akan dipuji karena telah berhasil menarik NU untuk berdiri di pihaknya, terutama ketika setidaknya di atas kertas NU memiliki lebih banyak anggota daripada Muhammadiyah. Dalam memposisikan dirinya sebagai wasit antara kedua organisasi tersebut, Presiden menggemakan strategi almarhum Presiden Soeharto selama 32 tahun pemerintahannya. Saat menunjuk Muhadjir ke portofolio pendidikan dalam perombakan kabinet terakhir, dia juga meniru Soeharto, mengganti jabatan antara NU dan Muhammadiyah. Penunjukan tersebut merupakan terobosan yang jelas dari keputusan awalnya untuk menunjuk Anies Baswedan yang nonpartisan.
Meski masa jabatan Anies sebagai menteri pendidikan dinilai tidak menyenangkan Jokowi, kembalinya “kekuatan lama” (NU atau Muhammadiyah) sangat diharapkan pemerintah. Perlu dicatat bahwa menumbuhkan dukungan baik dari NU maupun Muhammadiyah sangat politis. Lalu, apakah portofolio penting seperti pendidikan harus tunduk pada politik praktis?
Gagasan pihak-pihak pendukung sekularisme dan liberalisme kerapkali menekan kekuatan Islam dengan mengedepankan pelbagai hujah dan bukti bahwa bahwa semakin religius suatu negara, semakin sedikit hak paten ilmiah atau teknologi yang ada per kapita.
Upaya-upaya untuk mengerdilkan kekuatan umat Islam—politik, pendidikan, budaya, dan lain-lain—hakikatnya adalah sebuah politik stigmatisasi terhadap umat dan kekuatan sosial-politik Islam sendiri: bahwa umat Islam tidak bakal bersatu, kacau dalam kepemimpinan, dan hampa dari gagasan-gagasan kemajuan (idea of progress).
Meski Muhadjir menandaskan bahwa gagasan Full Day School ini bakal diganti dengan Perpres dengan menampung aspirasi yang berkembang, menganggap ini bukan pertarungan antara NU-Muhammadiyah ibarat panggang yang jauh daripada api.