Kecebong semakin naik daun saja di ruang publik kita beberapa hari ini. Padahal, dipandang dari segi apa pun, nyaris tak ada yang menarik dari si anak kodok itu. Ora mbejaji blas, kata orang Jawa. Pun dalam siklus biologis kodok, ia bahkan cuma sekadar satu fase hidup yang sifatnya sementara.
Namun, saat kecebong mulai hadir di tengah diskursus politik di tanah air, ia menjadi entitas politik yang penting dan diperhitungkan secara serius. Ia dicari-cari oleh sebagian politisi dan dibenci oleh sebagian lainnya.
“Kita ini hanya ditantang oleh cebong-cebong itu sudah biasa, jangan takut,” seru Amien Rais, guru besar politik Universitas Gadjah Mada dan tokoh pentolan gerakan reformasi itu, di hadapan para peserta Kongres Alumni 212 pada Kamis lalu (30/11, www.cnnindonesia.com).
Tapi, sebenarnya seperti apa politik kecebong itu?
Kecebong-kecebong yang sering kita lihat di air genangan tentu tak sama dengan kecebong politik. Jelas karena yang pertama secara harfiah adalah anak-anak kodok, sementara yang disebut terakhir tentu saja adalah manusia-manusia politik dengan karakteristik tertentu. Meskipun demikian, sesuai dengan namanya, keduanya memiliki pola perilaku dan sifat-sifat tertentu yang bisa dibilang mirip.
Politik Kerumunan
Tak seperti kodok dewasa yang mampu hidup mandiri, kecebong lebih suka hanyut di tengah kerumunan. Tanpa kerumunan, ia sulit untuk survive. Demikian halnya dengan si kecebong politik. Politik kecebong adalah politik kerumunan, politik identitas.
Dari kacamata psikologi politik, politik kecebong yang hanya mengikuti kerumunan menunjukkan gejala kemalasan fikir dalam memahami kasunyatan politik secara lebih utuh dan rasional. Ia adalah sebentuk keengganan untuk mengoptimalkan kapasitas kognitif dalam memproses informasi secara kritis, dan membangun sikap politik secara mandiri.
Alih-alih orang-orang yang larut oleh politik kerumunan cenderung menyandarkan pilihan-pilihan politiknya di atas tumpukan ikatan emosional dengan kelompok sosialnya sendiri, baik itu suku, agama, ras, atau golongan sosial-politik. Dan sebagaimana yang diungkapkan oleh psikolog politik dari University of California Los Angeles (UCLA) David O. Sears (1993), banyak orang yang menyukai jalan politik kerumunan karena ia tak menuntut banyak kerja kognitif (less cognitive effort), sehingga lebih nyaman (comforting) secara psikologis.
Lebih dari satu abad yang lalu psikolog sosial Prancis Gustave Le Bon (1895) pun pernah mengungkapkan kegelisahannya akan irasionalitas kerumunan politik. Orang-orang yang larut oleh politik kerumunan cenderung tak lagi mampu berfikir apakah pilihan-pilihan politik kelompoknya diambil seturut pertimbangan akal sehat atau justru diniati oleh kepentingan jahat; apakah ia membawa kemaslahatan bersama atau justru memecah belah kehidupan bermasyarakat.
Di dalam realitas politik kita sekarang ini, kecebong-kecebong politik itu bisa ditemukan di mana-mana, lintas partai, agama, golongan sosial-ekonomi, atau ideologi politik. Mereka bisa kita temukan di tengah kerumunan demonstrasi, berteriak marah-marah tanpa mengerti substansi kemaslahatan publik apa yang hendak dicapai. Atau mungkin saja ia sedang duduk tenang di rumah sembari jari-jarinya sibuk menyebarkan berita bohong (hoax) di grup-grup sosial media yang ia ikuti.
Para kecebong politik tentu tak selalu dibenci. Sebagian elite politik justru dengan sengaja mengembangbiakkannya sebagai komoditas politik yang mudah dan murah untuk dimobilisasi, namun berdaya jangkau luas. Cukup dengan mengeksploitasi identitas sosial tertentu, para politisi tak perlu bersusah payah menunjukkan kompetensi diri dan membangun rekam jejak. Mereka tak perlu repot-repot memikirkan kebijakan-kebijakan publik apa yang paling relevan dengan kebutuhan publik, dan bagaimana mereka dapat menawarkannya selama kampanye.
Toh, para kecebong politik cenderung ikut ke mana saja kerumunan mereka akan membawanya.
Menjaga Daya Nalar
Politik kecebong tentu tak sehat dalam praktik berdemokrasi. Hanyut dalam kerumunan hanya akan memperlemah daya nalar seseorang untuk dapat melihat realitas politik secara jernih, dan mengevaluasi kinerja para politisi dan institutsi politik (misal partai, pemerintah, dan DPR) secara rasional. Kecebong-kecebong politik yang hanyut oleh kerumunan akan dengan mudah mengabaikan kemaslahatan bersama (common goods), demi kepuasan subyektif dan absurd atas dominasi kelompoknya sendiri.
Demokrasi, kata Christopher H. Achen (Princeton University) dan Larry M. Bartels (Vanderbilt University), semestinya bekerja atas dasar keputusan-keputusan rasional setiap warga negara. Di dalam pemilihan umum, publik memilih individu-individu yang dianggap mampu menegosiasikan kepentingan-kepentingannya di pemerintah dan DPR. Atau di waktu lain, publik bahkan dapat ikut ambil bagian langsung dalam pengambilan keputusan sebuah kebijakan melalui referendum.
Tentu demokrasi yang ideal semacam itu sulit untuk terwujud dan nyaris mustahil mengharapkan setiap orang sepenuhnya bebas dari pengaruh-pengaruh identitas kelompok atau kerumunan. Sudah menjadi fitrah evolusioner bahwa manusia cenderung hidup di dalam kelompok-kelompok, membentuk identitas bersama, dan kemudian mempertahankannya (Tajfel, 1976).
Namun, bukan berarti hal itu menjustifikasi politik kerumunan ala kecebong sebagai sesuatu yang lumrah. Terlepas dari identitas kelompok yang kita miliki, sebagai manusia kita telah diberkahi dengan daya nalar agar mampu berfikir secara kritis, memilah mana politik yang akan membawa kebaikan bersama, dan mana politik yang hanya akan menciptakan chaos.
Dengan menjaga daya nalar itu, kita semestinya mengerti bila sentimen identitas sosial sudah mulai dieksploitasi demi kepentingan segelintir orang. Dan itulah saat di mana kita harus berani mengambil sikap politik yang berbeda.
Bacaan Terkait:
Bangkit Menggebuk Bersama Jokowi
Tommy Soeharto dan Islamisasi Oligarki