Saya memilih untuk tersenyum ketika mendapatkan banyak video tentang komentar Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno dalam mengatasi kemacetan yang tersebar di dunia maya. “Kalau yang punya uang, mungkin bisa membantu untuk meringankan kemacetan di Jakarta itu dengan secara simbolis,” kata Sandiaga Uno.
Saya memilih tersenyum karena, bagi saya, itu adalah lelucon paling lucu bulan ini. Bagaimana mungkin mengatasi kemacetan cukup secara simbolis dengan cara menggunting pita, misalnya? Namun, karena ini hanya simbol, mari terima simbol ini sebagai simbol hiburan. Tak usah diseriusi, karena mereka belum tentu serius bekerja setelah terpilih, bukan?
Percayalah bahwa politik itu hanya dunia hiburan. Karena itu, jangan siksa dirimu bahwa politik itu adalah pengabdian. Jangan terlalu percaya pula pada filosofi Agus Salim bahwa leiden is lijden, memimpin itu menderita. Saat ini memimpin bukan lagi soal bagaimana kita siap untuk menderita, tetapi bagaimana kita untuk tega membuat orang lain menderita dan kita tertawa di atas penderitaan orang lain itu. Ini adalah lelucon. Bahkan ini adalah lelucon paling puncak. Lelucon apa lagi yang bisa membuat kita bisa tertawa atas penderitaan orang lain?
Karena itu, mari pahami bahwa politik itu tak ubahnya dunia entertain. Politik itu, apalagi kalau sudah urusan mencapai kekuasaan, hanyalah naskah cerita bagi para pelaku politik praktis. Dengan demikian, pemilu hanyalah festival casting. Bedanya, dalam casting ini rakyat dibutuhkan. Maka, setiap politisi pasti akan memoles dirinya dengan kosmetika sesuai selera rakyat. Tujuaannya adalah agar rakyat terkesima. Pada akhirnya rakyat memang tak suka dengan kosmetika itu. Namun, para politisi tak akan berhenti berjuang.
Mereka tebukti selalu fasih mengaktualisasikan peribahasa “banyak jalan menuju Roma”. Karenanya, mereka akan berakting semaksimal mungkin. Jika rakyat tetap tak peduli, dibuatlah terobosan baru: rakyat diberi uang capek. Uang capek ini adalah biaya yang dikeluarkan politisi agar rakyat menonton aktingnya.
Politisi pun mulai berakting. Mereka mengatur nada suara. Jika tegas, mereka akan bersuara lantang di balik mikrofon. Kalau sedang prihatin, mereka akan melemahkan nada suara itu menjadi jeritan-jeritan melankolis.
Jadi, sebenarnya, jika punya uang, sangat gampang menjadi politisi. Seperti kata Indra Tranggono, kita bisa hanya bermodalkan prihatin. Ya, cukup prihatin saja. Sesederhana itu. Cukup mengolah kata-kata, maka segalanya akan beres. Abaikan rakyat yang menonton, sebab mereka sebenar-benarnya tak pernah antusias. Mereka hanya pura-pura antusias. Pura-pura antusias karena mereka sudah dibayar. Mereka akan segera mendapatkan uang capek selekas casting berakhir ini berakhir. Soal apakah politisi itu menggunakan kata-kata megah dan mewah, lagi-lagi, hanya perkara akting.
Selekas akting, segala kata-kata itu akan menjadi basi. Jadi, di sini semuanya sudah benderang: bahwa politik hanya pertarungan kata-kata berikut mimik. Kata-kata itu semua hanya partitur pertunjukan. Semuanya hanya khayalan, cuap-cuap, bahkan omong kosong. Politisi itu hanya begundal-begundal panggung. Sayangnya, entah karena apa, kita seringkali tak merasa sedang dibodoh-bodohi oleh para begundal-begundal panggung itu. Seringkali kita terkesima begitu saja, karena mimik dan kata-kata yang mereka tuturkan.
Karena itu, kita pun terlena. Kita menjadi lunak hati. Kita pun mau digiring ke bilik suara dengan mudah. Kita menjadi orang yang sangat cepat puas, meski beberapa kali sudah dikhianati. Kita langsung memuja para begundal-begundal panggung itu dengan sebuah akting sederhana. Hanya karena mereka datang ke desa kita, berfoto di jalan-jalan rusak, kita langsung jatuh cinta. Kita bahkan akan semakin terkesima manakala mereka berjanji mengaspal jalan, menata taman, membangun posyandu, mendirikan musala, hingga memudahkan pembangunan gereja.
Kita tak belajar dari pengalaman bahwa selama ini, selepas festival mengumpulkan suara, mereka akan lenyap dan hilang. Mereka bahkan akan lupa untuk sekadar berkunjung dan menyapa. Kata-kata yang mereka tuturkan saat kampanye menjadi nirmakna. Kita pun merasa tertipu. Namun, perasaan tertipu ini hanya sebentar. Sebab, di kemudian hari, pada festival selanjutnya, kita akan tetap kembali jatuh pada lubang yang sama. Kita akan tetap memuja-muja para begundal-bengundal panggung itu dengan mulia.
Beginilah siklus lelucon itu. Kita mencaci, lalu pada saat yang lain, kita memuja untuk kelak kembali mencaci lagi. Hanya karena Sandiaga mengatakan cara mengatasi kemacetan dengan simbolis, kita pun marah. Namun, kalau dipikir-pikir, apa hak kita untuk marah? Bukankah kita yang memilihnya? Bukankah kita yang masuk pada perangkap kata-katanya? Bukankah kita yang selalu mau masuk dalam kurungan lelucon-lelucon politik? Jadi, untuk apa marah? Untuk apa mengutuk? Benar, para politisi itu mungkin bodoh.
Pertarungan Kata-Kata
Pertanyaannya, siapa sebenarnya yang paling bodoh: yang memilih orang bodoh atau yang dipilih? Marilah, tak usah dipikirkan terlalu serius. Pertanyaan saya di atas bukan mencari siapa yang bodoh, karena bagaimana kita mencari kebodohan? Bukankah mencari kebodohan di antara semua orang bodoh sama sulitnya dengan mencari orang bodoh di antara semua orang pintar? Sekali lagi, jangan diseriusi. Mari tertawa saja. Anggap ini semua permainan dan memang demikianlah memang adanya.
Ini semua hanya lelucon agar kita kembali tertawa setelah sebelumnya saling mencaci dan mencakar. Sebab, demikianlah hakikat lelucon. Lelucon ada untuk saling memunggungi. Seperti kata budayawan kita, Jaya Suprana, lelucon biasanya akan tumbuh subur di suasana yang kontradiktif dan munafik, di mana realitas tidak sesuai, bahkan bertolak belakang dengan apa yang diidamkan karena memang selalu ada udang di balik batu, atau sebaliknya. Senapas dengan itu, politik selalu meniscayakan kemunafikan.
Dengan sederhana kita sudah bisa memahami lalu memaklumi bahwa lelucon dalam politik itu adalah hal biasa. Karena itu, mari nikmati lelucon Sandiaga ini. Jangan tagih janji-janjinya. Cukuplah pahami bahwa dalam politik, janji-janji itu hanyalah kata-kata untuk diteriakkan, bukan amanah untuk dikerjakan. Bukankah William Shakespeare pernah berucap bahwa dia (politisi) menulis ungkapan berani, bicara dengan kata-kata berani, bersumpah dengan sumpah berani, dan (harus juga) melanggarnya dengan berani?
Karena itu, mari puji Sandiaga. Dia sudah berani melawan kata-katanya dengan kalimat-kalimat lucunya. Bukankah keberanian politisi terletak pada kemampuannya mengolok-olok kata-katanya sendiri, meski dengan itu dia terolok-olok dengan kata-katanya sendiri juga?
Karena itu, saya harus katakana ini: terima kasih Sandiaga. Melihat kalimatmu bagaimana mengatasi kemacetan sungguh sangat menghibur. Saya terhibur saja sudah lebih dari cukup. Tak mungkin saya marah karena bagaimana saya harus marah pada politik yang memang hanya pertarungan kata-kata yang nirgagasan itu?
Kolom terkait:
Mau ke Mana Kebijakan Transportasi Anies-Sandi?
Menggusur Motor dari Jalan-jalan Protokol