Jumat, April 26, 2024

Pilpres 2019: Jokowi Capres Tunggal?

Ali Rif'an
Ali Rif'an
Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia

Meski pemilihan presiden akan digelar tahun depan, namun riuh rendah perbincangan ihwal calon presiden-calon wakil presiden 2019 mulai santer menyesaki ruang publik. Belakangan malah muncul isu sejumlah partai politik penyokong Joko Widodo (Jokowi) sedang mendesain kontestasi pilpres mendatang hanya diikuti oleh satu pasangan calon, alias capres tunggal.

Isu itu pun mendadak ramai. Beragam komentar tumpah di media sosial. Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sohibul Iman melalui akun Twitter-nya, misalnya, berkomentar nyinyir. “Ada yang ingin ajak semua parpol dukung satu paslon, itu bukan kejahatan. Juga tak usah disebut ketamakan. Mungkin yang bersangkutan ingin sospol kita senyap,” begitu kicauannya melalui akun @msi_sohibuliman.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Ferry Juliantono mengatakan munculnya isu capres tunggal merupakan bentuk dari kegagalan demokrasi. Ia menegaskan wacana itu tidak bakal terwujud lantaran partainya bertekad besar mengusung calon presiden sendiri.

Diskursus capres tunggal memang menarik dibahas. Setidaknya ada tiga argumentasi mengapa wacana tersebut menyembul. Pertama, konsolidasi politik Jokowi semakin kokoh. Ini mengingat hingga menjelang lima bulan pendaftaran capres, baru Jokowi yang memperoleh dukungan konkret.

Saat ini setidaknya sudah ada lima partai politik yang memberikan sokongan politik. Kelimanya adalah PDI Perjuangan, Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Nasional Demokrat (Nasdem), dan Hanura. Bila dihitung Jokowi sudah mengantongi dukungan 290 kursi (51,78%). Bermodal 290 kursi parlemen milik kelima parpol itu, Jokowi merupakan kontestan paling siap untuk berlaga di lapangan hijau pilpres 2019.

Kedua, hasil beragam sigi lembaga survei menyebutkan, Jokowi merupakan capres paling moncer elektabilitasnya. Jokowi merupakan rising star, bintang yang tengah bersinar.

Dalam survei Poltracking Indonesia yang dirilis Februari 2018 lalu, elektabilitas Jokowi mencapai angka 57.6 persen, sementara Prabowo 33.7 persen. Hampir semua lembaga survei konsisten mengeluarkan hasil siginya bahwa Jokowi dan Prabowo merupakan dua figur dengan perolehan dukungan paling tinggi dibanding nama lainnya.

Yang menjadi pertanyaan, meski Prabowo menjadi runner up Jokowi, namun hingga lima bulan menjelang pendaftaran capres-cawapres belum juga mendeklarasikan diri untuk maju. Sehingga isu spekulatif bahwa Prabowo ada kemungkinan tidak jadi maju sebagai capres pun tak dapat dielak.

Ketiga, konstruksi hukum pencalonan presiden setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ambang batas pencalonan presiden juga bisa menjadi argumentasi. Pasalnya, skema presidential threshold (PT) pencalonan presiden 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional yang kemudian tertuang dalam Pasal 222 Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu itu semakin memperkecil rival bagi petahana dalam pilpres. Dengan skema itu, parpol tidak ada yang bisa mengusung calon sendiri dalam pilpres. Semua harus berkoalisi.

Padahal koalisi parpol dalam lanskap politik tanah air terbilang rumit. Pasalnya, koalisi Indonesia tidak lagi dibangun berdasarkan pada idelogi an sich, namun justru lebih condong pada deal-deal politik, kompromi, dan negosiasi antarparpol. Jika hal itu belum disepakati, maka koalisi akan sulit terbentuk.

Tidak Menguntungkan

Tentu wacana capres tunggal sangat tidak menguntungkan bagi Jokowi secara pribadi. Pasalnya, jika Jokowi nanti benar menjadi capres tunggal, ia akan melawan kotak kosong. Tentu melawan kotak kosong merupakan bentuk “kesialan”. Mengapa? Karena “menang tidak kondang namun kalau kalah jadi wirang (malu)”.

Di saat yang sama, capres tunggal belum tentu menguntungkan secara elektoral. Apalagi dalam berbagai survei menyebutkan elektabilitas Jokowi di kisaran angka 40-50 persen. Tentu elektabilitas dengan kisaran itu belum dapat dikatakan aman. Ada separuh pemilih yang tidak memilih Jokowi. Dengan data seperti itu, justru Jokowi berpotensi menang dalam pilpres ketika ada lawannya.

Hal senada terjadi dalam konteks pelaksanaan demokrasi. Munculnya capres tunggal dapat menurunkan tingkat partisipasi pemilih. Sebab, hajatan demokrasi yang diikuti hanya satu calon akan membuat kontestasi pilpres berselera rendah. Kurang gregetnya hajatan demokrasi akan berimplikasi pada munculnya gelombang “malas nyoblos”.

Di sisi lain, komposisi oposisi juga makin melemah. Ini terjadi karena semua partai mendukung satu calon sehingga capres terpilih cenderung menjalankan roda pemerintahan tanpa adanya kontrol. Fungsi pengawasan (checks and balances) stagnan. Kondisi ini tentu sangat bertentangan dengan semangat berdemokrasi yang menekankan pentingnya fungsi kontrol dan pengawasan.

Karenanya, kita berharap isu capres tunggal ini benar-benar tidak terwujud. Selain tidak menguntungkan dari perspektif mana pun, sejarah politik Indonesia juga akan terciderai dengan munculnya capres tunggal. Sudah saatnya parpol di luar pendukung Jokowi menyatukan “nyali” menjadi penantang Jokowi dalam laga Pilpres 2019 mendatang.

Sebab, belajar dari sejarah Pilpres 2009, meskipun saat itu elektabilitas Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai capres petahana berada di angka 70 persen, namun tidak menyurutkan Megawati dan Jusuf Kalla untuk melawan SBY.

Lebih dari itu, sejarah membuktikan bahwa incumbent tidak selamanya menang. Capres petahana Megawati Soekarnoputri, misalnya, pernah kalah oleh SBY pada kontestasi Pilpres 2004. Ini artinya, para penantang Jokowi tidak boleh ciut. Segeralah utak-atik koalisi untuk menantang Jokowi.

Kolom terkait:

Menimbang Pemenang Pilpres 2019

Jusuf Kalla, Pilpres 2019, dan Masa Depan PDI Perjuangan

Peluang Prabowo Pasca Pilkada Jakarta

Aliansi Dua Jenderal?

Menakar Siasat Politik Dua Jenderal

Ali Rif'an
Ali Rif'an
Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.