Selasa, Oktober 8, 2024

Pilkada 2018: Surplus Akrobat, Defisit Kandidat?

Ali Rif'an
Ali Rif'an
Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia

Dibandingkan dua pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak sebelumnya (2015 dan 2017), pilkada borongan 2018 terbilang paling heboh. Akrobat politik yang tersaji dalam utak-atik koalisi dan manuver kandidat terlihat telanjang. Tak hanya di provinsi dengan jumlah pemilih terpadat (Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur), akrobat politik hampir menyembul di setiap daerah yang menggelar hajatan demokrasi elektoral tahun ini.

Bagi rakyat kebanyakan, akrobat politik merupakan anomali. Namun bagi elite politik, akrobat politik dinilai wajar lantaran dua alasan. Pertama, Pilkada 2018 merupakan perhelatan terbesar karena melibatkan 171 daerah dengan rincian 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota. Merujuk data Komisi Pemilihan Umum (KPU), akan ada sekitar 160 juta pemilih yang terlibat dalam kontestasi elektoral 2018. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibandingkan Pilkada 2015 yang jumlah pemilihnya 96 juta dan Pilkada 2017 dengan jumlah pemilih hanya 41 juta.

Kedua, Pilkada 2018 menjadi ajang untuk “memanaskan mesin politik” buat menghadapi pemilihan anggota legislatif dan presiden pada 2019. Dengan kata lain, Pilkada 2018 adalah pertaruhan penting bagi sukses tidaknya pileg dan pilpres tahun depan. Apalagi, dalam perhelatan Pilkada 2018, kontestasi elektoral akan terkuras sekitar 68,3 persen dari jumlah pemilih nasional. Angka ini cukup menggiurkan. Tak salah bila kemenangan Pilkada 2018 dianggap sebagai investasi menuju kemenangan dalam kompetisi elektoral 2019.

Dengan bobot pilkada demikian itulah, lumrah bila proses pencalonan kandidat terlihat alot dan format koalisi amat cair. Sejumlah partai pastinya tidak ingin gegabah dalam memilih kandidat dan menggandeng “perkoncoan” politik. Sebab, salah memilih kandidat dan teman koalisi bisa berakibat fatal: kekalahan. Eksesnya, tumbang di Pilkada 2018 akan berpotensi mempersempit peluang menang dalam kompetisi elektoral 2019.

Defisit Kandidat

Namun, sayangnya, sebagai gelaran demokrasi yang pekat dengan narasi ingar-bingar dan riuh-rendah, Pilkada 2018 dapat dibilang “surplus akrobat namun defisit kandidat”. Mengapa? Akrobat politik yang luar biasa menjelang proses pendaftaran calon beberapa waktu lalu tidak berbanding lurus dengan jumlah kandidat yang dihasilkan. Dalam konteks kandidasi, Pilkada 2018 justru mendatangkan kemunduran.

Bakal calon Gubernur-Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf (kanan)-Puti Guntur Soekarno (kedua kiri) mengepalkan tangan saat mendaftar di Kantor PDI Jawa Timur, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (10/1). ANTARA FOTO/Zabur Karuru/pras/18.

Berdasarkan data KPU, hingga pukul 23.00, ada 529 bakal calon yang mendaftar di 165 daerah. Dari jumlah itu, 509 yang diterima dan 19 pasang bakal calon dinyatakan berkasnya belum lengkap sehingga diberi kesempatan memperbaiki berkas hingga pukul 24.00. Jika dihitung, artinya di tiap daerah rata-rata ada 3,0 hingga 3,2 pasangan bakal calon.

Angka itu lebih rendah dari rata-rata pasangan bakal calon yang mendaftar pada Pilkada 2017 yang mencapai 3,3 pasangan bakal calon di tiap daerah. Saat itu, ada 337 pasangan bakal calon yang diterima pendaftarannya di 101 daerah (Kompas, 11 Januari 2018).

Tak hanya itu, defisit kandidat juga merambah ke persentase calon tunggal. Berdasarkan data KPU pukul 23.00, ada 14 daerah yang baru punya satu pasang pendaftar. Ini jelas telah terjadi kemunduran karena pada Pilkada 2015, dari 269 daerah penyelenggara pilkada, hanya ada tiga pasangan calon tunggal.

Begitu pula pada Pilkada 2017. Dari 101 daerah yang menghelat pilkada, terdapat sembilan pasangan calon tunggal. Ini menyedihkan karena minimnya kandidat juga terjadi pada 45 daerah lantaran hanya diikuti dua pasangan calon. Sebagai misal, dari 17 provinsi yang menggelar kontestasi elektoral, ada empat yang menghadirkan dua pasang calon, yakni di Jawa Timur, Jawa Tengah, Papua, dan Maluku.

Cacat Demokrasi

Rendahnya “menu prasmanan” kandidat dalam Pilkada 2018 dapat mendatangkan sejumlah ekses. Pertama, hajatan demokrasi berselera rendah alias kurang greget. Dalam resonansi lebih kencang, kurang gregetnya hajatan demokrasi akan berimplikasi pada rendahnya tingkat partisipasi pemilih. Padahal KPU mematok target 77,5 persen terkait partisipasi pemilih pada pilkada serentak 2018. Dengan hidangan pilkada yang kurang menggairahkan itu, sulit rasanya target partisipasi itu dapat terwujud.

Kedua, terjadinya cacat demokrasi, khususnya pada daerah yang hanya ada calon tunggal. Pasalnya, hadirnya calon tunggal sama halnya menihilkan adanya kompetisi dalam demokrasi elektoral. Padahal, merujuk pandangan Robert Dahl (1994), salah satu dimensi penting dalam demokrasi elektoral adalah meniscayakan adanya sebuah kompetisi. Tanpa sebuah kompetisi, hajatan demokrasi hanyalah opera sabun yang pekat aroma pragmatisme. Inilah yang mesti direnungkan oleh sejumlah elite partai dan para penyelenggara pilkada.

Kolom terkait:

Akrobat Parpol di Pilgub Jabar

Stok Pemimpin di Pilkada 

Pilkada 2018: Pilkada Rasa Pilpres 2019

Mitos-mitos Politik dalam Pilkada

Jalan Terjal Khofifah di Pilkada Jatim 2018

Ali Rif'an
Ali Rif'an
Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.