Memasuki tahun 2018, hiruk pikuk politik nasional kian riuh diperbincangkan banyak kalangan. Ruang-ruang publik seperti media, baik cetak ataupun online, tak henti-hentinya memuat berita politik. Pasalnya jelas, pada tahun ini akan berlangsung kontestasi politik level daerah, yang merupakan pamungkas pilkada serantak sebelum menuju Pemilihan Presiden 2019. Begitu menggeloranya pesta demokrasi tahun ini, hingga ada yang menyebut Pilkada 2018 sebagai pilkada rasa Pilpres 2019.
Dilihat dari momentumya, cukup beralasan menyebut Pilkada 2018 sebagai pilkada rasa pilpres. Pertama, pada tahun ini, tercatat sebanyak 171 daerah akan menggelar pilkada. Jumlah ini merupakan terbesar kedua setelah Pilkada 2015, yang berjumlah 272. Meski demikian, perlu cicatat bahwa perhelatan pilkada kali ini berlangsung di daerah-daerah besar. Bahkan untuk wilayah Jawa secara keseluruhan, pilkada kali ini merupakan lumbung suara nasional.
Sebanyak 48 persen suara nasional tersebar di tiga provinsi ini, yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Dapat dipastikan perebutan suara di ketiga wilayah tersebut akan berlangsung ketat. Hal ini berbanding lurus dengan siklus sirkulasi politik (vilvredo pareto) setempat yang berjalan sangat ketat.
Kedua, selain pilkada, tahun 2018 merupakan tahun politik. Sebagaimana tahun-tahun politik pada umumnya, muncul banyak manuver dan akrobat elite politik, di mana partai politik beradu cepat menggenjot mesin mereka untuk dapat memenangi perhelatan Pilpres 2019. Semua partai akan all out, berpikir keras merancang strategi dan taktik awal guna memuluskan langkah mereka. Kuat dugaan, dalam batasan-batasan tertentu, peta komunikasi politik Pilkada 2018 akan mempengaruhi atau bahkan berlanjut pada perhelatan politik di tahun berikutnya.
Peta Koalisi
Membaca arah koalisi Pilkada 2018, tentu tidak semudah seperti membaca arah koalisi pemilihan presiden. Selain ruang kompetisinya berlangsung di banyak daerah, arah koalisi dalam pilkada juga sangat dipengaruhi oleh kebijakan politik di tingkat sektoral. Karenanya, kenyataan yang ada di lapangan seringkali terjadi di luar pembacaan masyarakat umum. Bahwa dua mesin partai politik yang secara platform memiliki perbedaan amat prinsipil, misalnya, namun tidak menutup kemungkinan di tingkat sektoral akan berdiri dalam kekuatan yang sama.
Secara teoritis, Geoffrey Pridham (1987) menyebutkan bahwa pertimbangan koalisi parpol muncul dari enam aspek, namun tiga yang paling dominan: ideologi partai, elite parpol, dan regulasi teknis. Tiga unsur ini merupakan dasar terbentuknya koalisi partai politik, baik itu dalam kontestasi politik level daerah maupun nasional.
Dalam hal ideologi, bertemunya beberapa partai politik dalam satu kekuatan koalisi dilatari oleh landasan kesamaan paham politik yang mereka anut (Bambang, 2000). Partai politik yang berhaluan ideologi nasonalis akan memilih bergabung dengan partai nasionalis. Sebaliknya, partai dengan ideologi keagamaan akan bergabung dengan partai yang berideologi sama dengan mereka. Dalam konteks Pilkada 2018, di tiga Provinsi Jawa, misalnya, teori ini agak kurang relevan, karena dalam kenyataannya ada banyak bangunan koalisi yang formulasinya terdiri dari aneka ideologi.
Yang menarik adalah ketika kita membaca peta koalisi pilkada dari sudut pandang elite politik. Dari perspektif ini, koalisi terbangun karena faktor kedekatan elite partai politik, meski secara iedologi tidak memiliki kesamaan (Pridham, 1987). Dalam konteks ini, tergabungnya Partai Gerindra, PKS, dan PAN, yang telah sepakat membangun koalisi di lima provinsi Pilkada 2018, dapat kita baca sebagai koalisi yang terbentuk karena faktor elite politik. Sosok seperti Prabowo Subiyanto, Sohibul Imam, dan Zulkifli Hassan merupakan representasi pimpinan partai yang sejauh ini memiliki chemistry cukup lengket.
Pertarungan Sengit
Kita bisa saja mengibaratkan perhelatan politik tahun 2018 sebagai laga semifinal sebelum memasuki Pemilu 2019. Pada laga ini, parpol benar-benar all out melakukan persiapan, mematangkan strategi dalam upaya memenangi pertarungan Pilkada 2018. Jika mengamati perkembangan yang terjadi belakangan ini, nampaknya semua parpol sadar bahwa pilkada di tahun politik ini adalah duel hidup-mati untuk menapaki babak final, yakni pileg dan Pilpres 2019.
Besarnya pertaruhan di Pilkada 2018 memaksa parpol berpikir keras melakukan penjajakan, membangun konsolidasi, bahkan sangat berhati-hati dalam menentukan calon. Faktanya, dari tiga provinsi di Pulau Jawa, hanya Jawa Barat dan Jawa tengah yang tercatat sudah mempunyai pasangan calon lengkap. Itu pun setelah melewati proses tawar menawar yang panjang. Sedangkan satu daerah lain, Jawa Timur, masih berjalan alot. Saifullah Yusuf alias Gus Ipul yang sebelumnya berpasangan dengan Abdullah Azwar Anas, kini masih sendiri pasca Anas mengundurkan diri.
Fenomena tarik menarik parpol, tikung menikung, bongkar pasang calon, juga aksi undur diri menjelang hari pendafataran tidak saja mengisyaratkan akan sengitnya pertarungan, namun juga memuat simpul kepentingan jangka panjang yang bertali-temali dengan pilpres tahun depan. Namun demikian, seberapa panas suhu Pilkada 2018 ini, meski beraromakan pilpres, publik berharap jalan sirkulasi politik tetap berjalan demokratis. Dengan begitu, nuansa pilkada sebagai pesta lima tahunan rakyat bisa dinikmati publik secara damai, sejuk, dan menyenangkan.
Kolom terkait:
Ahok-Vero dan Politik Gugat Cerai Pilkada
Mitos-mitos Politik dalam Pilkada