Minggu pagi, 21 Mei 2017. Sayup-sayup saya mendengar suara penyiar sebuah stasiun televisi swasta yang menyampaikan adanya breaking news langsung dari Istana Bogor. Disampaikan oleh penyiar belia itu bahwa Presiden Joko Widodo akan menyampaikan pidato yang sangat penting terkait dengan peringatan 19 tahun reformasi.
Saya tinggalkan sementara aktivitas saya yang sedang bersiap menyeduh kopi Toraja untuk mendengarkan dengan seksama pidato itu.
***
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salam sejahtera dan selamat pagi saudara-saudara dan rakyat tercinta di Tanah Air.
Di pagi yang cerah ini, kita bersyukur bahwa Allah SWT masih memberikan umur panjang dan kesehatan pada kita semua.
Kita tahu, pada hari ini, 19 tahun lalu, tepatnya pada 21 Mei 1998, bangsa ini memulai era yang baru dengan mundurnya Pak Harto sebagai presiden. Hari itu dan atmosfer demokrasi yang kita nikmati saat ini tentu tidak kita peroleh dengan mudah dan seketika. Akan tetapi lewat perjuangan segenap komponen bangsa, khususnya mahasiswa dan masyarakat.
Pengorbanan mereka tidak akan pernah lekang dalam ingatan bangsa dan akan selalu abadi. Kita berdoa semoga para syuhada yang telah menjadi korban untuk merebut era baru yang kita sebut dengan era Reformasi mendapatkan tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.
Terkait dengan itu, perkenankan saya untuk menyampaikan sikap pemerintah atas salah satu tonggak penting yang membuka jalan bagi era Reformasi, yaitu Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998, Tragedi Mei pada 13-15 Mei 1998, dan kasus penghilangan paksa 13 aktivis pro demokrasi 1997/1998. Mengapa, untuk saat ini, saya menekankan pada peristiwa-peristiwa itu, bukan yang lain?
Hal ini karena, sebagaimana kita tahu, ketiga peristiwa itu adalah noda gelap dalam sejarah perjalanan bangsa kita dan menjadi pembuka jalan bagi angin reformasi dan demokrasi. Kita perlu menyatukan energi untuk menyelesaikannya sebelum kita tangani kasus-kasus yang lain. Menurut Komnas HAM, Tragedi Trisakti, Tragedi Mei, dan penghilangan paksa aktivis 1997/1998 adalah tiga dari tujuh kasus pelanggaran HAM berat yang masih menjadi utang negara.
Selama sembilan belas tahun, saya mengakui belum ada langkah kongkret dari negara untuk memenuhi hak-hak para korban dan keluarganya. Sembilan belas tahun lalu, saya hanya bisa menyaksikan bagaimana para mahasiswa ditembak, kota-kota lain termasuk Surakarta tempat saya tinggal, terbakar dan panas oleh amuk massa dan para aktivis dihilangkan secara paksa. Namun, saat ini, saya memegang posisi yang sangat menentukan untuk menguak tabir tragedi-tragedi itu.
Terkait dengan Tragedi Mei, berdasarkan laporan Tim Gabungan Pencari Fakta yang dibentuk oleh Presiden Habibie, dua bulan setelah Tragedi Mei, dilaporkan ada ribuan korban baik yang kehilangan nyawa dan luka-luka, terjadi penjarahan massal, penculikan, pelecehan seksual dan pemerkosaan terutama pada perempuan etnis China.
Laporan itu telah ditindaklanjuti dengan penyelidikan pro justicia oleh Komnas HAM dengan kesimpulan bahwa diduga Tragedi Mei adalah bentuk dari pelanggaran HAM berat. Demikian pula dengan Tragedi Trisakti yang merenggut nyawa empat mahasiswa Universitas Trisakti: Elang Mulia Lesmana (1978-1998), Heri Hertanto (1977-1998), Hafidin Royan (1976-1998), dan Hendriawan Sie (1975-1998). Juga penghilangan paksa atas 13 aktivis pro demokrasi yang hingga saat ini belum diketahui keberadaan atau kondisinya.
Komnas HAM telah menyampaikan bahwa berkas penyelidikan atas kasus-kasus itu telah diserahkan ke Kejaksaan Agung selaku Penyidik sesuai UU tentang Pengadilan HAM.
Saya mendengar bahwa berkas itu bolak balik dari Komnas HAM ke Kejaksaan Agung sejak pemerintahan lalu. Saya prihatin atas hal ini. Kedua institusi ini harus berkoordinasi dan bekerjasama dengan baik untuk dan atas nama keadilan.
Saya mendengar, tidak segera ditindaklanjutinya penyelidikan Komnas HAM adalah karena adanya pendapat bahwa seharusnya Pengadilan HAM ad hoc dibentuk terlebih dahulu, baru penyidikan bisa dilakukan.
Pendapat ini dibiarkan berkembang selama bertahun-tahun. Di sisi lain, korban dan keluarganya menunggu sekian lama dan menjadi korban ketidakjelasan arah penyelesaian kasus ini. Selain itu, energi bangsa ini juga terbuang oleh karena setiap tahun selalu saja ada pertanyaan dari banyak pihak di dalam dan internasional atas kasus ini.
Untuk itu, saya selaku kepala negara, meminta maaf atas ini semua. Saya selaku kepala negara disumpah untuk melindungi segenap warga negara dan tanah air Indonesia tanpa terkecuali.
Sungguh, Tragedi Mei adalah peristiwa yang mengugah rasa kemanusiaan dan keadilan kita semua sebagai negara yang berdasarkan Pancasila. Selama tiga hari waktu itu, Jakarta, Solo, Medan, dan kota lainnya, terbakar oleh amukan massa yang tanpa kendali. Demikian pula dengan Tragedi Trisakti dan penghilangan paksa 13 aktivis yang sangat memprihatinkan dan mengusik rasa keadilan.
Kekejaman itu tidak boleh dibiarkan tanpa ada kepastian hukum dan keadilan. Saya merasa berdosa jika selama masa kepemimpinan saya, bangsa ini gagal menyibak tabir gelap tragedi itu. Saya tidak ingin anak-anak kita yang duduk di bangku sekolah tidak pernah tahu secara jelas apa itu Tragedi Trisakti, Tragedi Mei, dan penghilangan paksa para aktivis, serta siapa yang harusnya bertanggung jawab. Saya tidak rela jika yang tumbuh adalah spekulasi dan kecurigaan karena ketidakjelasan atas ketiga peristiwa itu.
Bangsa ini dibangun bukan oleh dendam dan kecurigaan. Bangsa ini dibangun oleh segenap komponen bangsa dari berbagai suku, etnis, dan agama, dengan satu tujuan yaitu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi segenap rakyat Indonesia yang berbineka tunggal ika.
Oleh karenanya, dalam kesempatan ini saya telah meminta menteri terkait untuk menyusun draf Keputusan Presiden tentang Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc atas Tragedi Trisakti dan Tragedi Mei untuk dikonsultasikan kepada rekan-rekan di Dewan Perwakilan Rakyat guna mendapatkan rekomendasi. Rekomendasi DPR adalah mekanisme yang harus dilalui sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (2) UU tentang Pengadilan HAM.
Saya perintahkan kepada lembaga terkait untuk segera melakukan penyidikan dan melengkapi berkas perkara kedua kasus tersebut. Saya meminta para menteri untuk mengawal dan melakukan konsultasi intensif dengan DPR agar Pengadilan HAM ad hoc segera terbentuk.
Sedangkan atas kasus penghilangan paksa 13 aktivis 1997/1998, saya akan segera menerbitkan keputusan presiden untuk menindaklanjuti rekomendasi DPR yang diterbitkan pada 20 September 2009.
Pengadilan HAM ad hoc adalah solusi agar ada kepastian hukum dan keadilan baik bagi korban dan keluarganya, serta agar tidak ada tuduhan pemerintah melindungi para pelakunya.
Demikian pernyataan dan sikap saya. Semoga Alllah SWT memberikan petunjuk dan bimbingan kepada kita semua.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
***
Usai mendengarkan pidato tersebut, sontak saya mengucapkan puji syukur bahwa akhirnya jalan keadilan bagi korban mulai dibuka.
Saya hendak menelepon kolega saya untuk menyampaikan kabar gembira ini ketika tiba-tiba saya dengar tetangga sebelah mengetuk pintu rumah dengan sangat keras. Saya pun segera terjaga. Oh, ternyata pidato tadi hanyalah lamunan saya. Ya, Allah Tuhan Yang Maha Esa, semoga suata saat nanti lamunan itu menjadi kenyataan. Amien ya rabbal alamin.
Dan, alamak…. ternyata panci yang saya pakai menyeduh air untuk kopi Toraja sudah mendidih sejak tadi hingga airnya hampir menguap habis oleh karena lamunan saya.