Jumat, April 26, 2024

Penyadapan SBY, Watergate Indonesia?

Dylan Aprialdo
Dylan Aprialdo
Alumni Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya Pekerja Media di Salah Satu Media Nasional
Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono memberikan pernyataan pers soal dugaan penyadapan percakapan telepon dirinya dengan Ketum MUI KH Ma'ruf Amin di Wisma Proklamasi, Jakarta, Rabu (1/2). Presiden ke-6 RI tersebut menyatakan penyadapan tanpa perintah pengadilan merupakan sebuah kejahatan sehingga ia meminta kepada aparat penegak hukum untuk mengusut. ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/kye/17.
Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono memberikan pernyataan pers soal dugaan penyadapan percakapan telepon dirinya dengan Ketum MUI KH Ma’ruf Amin di Wisma Proklamasi, Jakarta, Rabu (1/2). Presiden ke-6 RI tersebut menyatakan penyadapan tanpa perintah pengadilan merupakan sebuah kejahatan. ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/kye/17.

Mantan Presiden RI Ke-6 lagi-lagi mengungkapkan curhatnya melalui konferensi pers yang kali ini mengklarifikasi soal percakapan dirinya dengan Ketua MUI Ma’ruf Amin melalui telepon. SBY menegaskan bahwa percakapannya dengan Ma’ruf Amin hanya sebatas untuk mengonfirmasi ulang kedatangan sang anak, Agus Harimurti Yudhoyono, dan Sylviana Murni untuk memohon restu kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan Pengurus Pusat Muhammadiyah untuk mengikuti Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta 2017.

Ia juga membantah bahwa pihaknya menekan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk segera mengeluarkan fatwa bahwa Ahok melakukan penistaan terhadap agama Islam. Tidak tanggung-tanggung, SBY merasa disadap ala-ala skandal Watergate, sebuah skandal politik kompleks yang terjadi antara tahun 1972-1974. Bisakah dugaan penyadapan SBY kali ini disamakan dengan skandal Watergate?

Secara konteks, persamaan itu tidak wajar mengingat Watergate merupakan skandal yang sangat gila dan tidak pantas dibandingkan dengan dugaan penyadapan yang dialami SBY. Mengapa terbilang gila? Skandal ini muncul di kawasan perkantoran Watergate, Washington DC, di mana pada waktu itu telah terjadi penangkapan 5 orang yang berusaha membobol masuk ke kompleks perkantoran Komite Nasional Demokrat untuk memasang alat penyadap dan mencuri beberapa dokumen penting yang ada. Insiden yang terjadi pada masa kampanye tersebut, setelah diselidiki, ternyata dilakukan oleh kelompok pendukung Nixon, Komite untuk Pemilihan Kembali Presiden.

Apa yang dikatakan SBY bahwa Presiden Jokowi diharuskan menjawab (sebenarnya dimintai pertanggungjawaban) rasanya terlalu berlebihan.

Watergate murni merupakan skandal politik menjelang pemilihan presiden yang dilakukan Nixon selaku Presiden Amerika dari Partai Republik untuk memenuhi kepentingan dirinya dan partai yang bersangkutan. Alasannya, ada bukti-bukti bahwa ada upaya Nixon menghalangi penyelidikan FBI terkait skandal ini. Juga temuan adanya praktik korupsi Partai Republik dalam pengumpulan dana pemilihan, daftar rahasia terkait lawan-lawan politiknya dari Partai Demokrat (partai yang di Amerika sana, bukan yang di sini, no offense), serta rencana-rencana penyebaran fitnah. Nixon menghalalkan segala cara untuk terpilih kembali menjadi presiden.

Tidak mungkin menyamakan dugaan penyadapan dirinya dengan skandal Watergate. Jokowi akan dinilai berbahaya sekali seandainya melakukan praktik semacam itu. Konferensi pers yang dilakukan SBY terkesan terlalu dini dan malah menimbulkan kegaduhan yang makin liar di mata publik setelah sebelumnya sempat muncul kegaduhan soal “Lebaran Kuda”. Kemudian, dugaan penyadapan ini menjadi semakin kisruh karena SBY terkesan menunjuk hidung Presiden Jokowi yang diharuskan bertanggung jawab. Padahal Jokowi tidak ada sangkut pautnya dalam kasus ini. “Kenapa barangnya digiring ke saya?” begitu kata Pakde Jokowi.

Wajar Jokowi mengatakan hal seperti itu karena kisruh ini sebenarnya ada di dalam ruang persidangan kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok. Tim pengacara Ahok tidak pernah menyebut bahwa mereka memiliki bukti berupa penyadapan telepon, melainkan hanya sebatas bukti adanya jalinan komunikasi antara SBY dan Ketua MUI Ma’ru’ Amin. Biarkan tim pengacara Ahok yang membuktikan ada tidaknya bukti komunikasi tersebut secara nyata. Akan terasa aneh jika tim pengacara Ahok melakukan penyadapan terhadap mantan Presiden, karena justru akan menjadi bumerang merugikan bagi Ahok dan tim pengacaranya sendiri.

Mengutip dari pakar kriptografi, Pratama Persadha, ada dua metode untuk melakukan penyadapan, yaitu tactical dan lawful interception. Penyadapan tactical dilakukan dengan beberapa cara seperti mendekati lokasi target, kemudian alat khusus dipasang dan ketika target melakukan komunikasi, maka informasi itu bisa diambil. Sementara lawful interception merupakan penyadapan melalui operator seluler dan dilakukan secara resmi lewat jalur hukum atas permintaan dan atau persetujuan aparat hukum seperti Badan Intelijen Negara, Intelijen Kejaksaan Agung, Intelijen TNI, hingga Intelijen Kepolisian.

Dalam paparannya, Pratama menyebutkan bahwa tactical interception akan dianggap berbahaya jika seseorang atau kelompok tertentu memang mampu membeli dan menguasai operasional alat penyadapan yang canggih bernilai miliaran rupiah.

Negarawan Jangan Gegabah

Mantan presiden seharusnya tidak perlu memperluas kisruh ini melebar sampai mengimpor Skandal Watergate dari mamarika, membawa persoalan political spying, hingga impeachment. Curhatan mantan sebenarnya malah berbalik mengundang spekulasi berlebihan dan merusak citra sang mantan sendiri.

Keruhnya situasi politik untuk yang kedua kalinya setelah Lebaran Kuda ini juga dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok nganu yang lagi-lagi berusaha mengacak-acak rasa persatuan dan kesatuan NKRI di bawah panji Bhinneka Tunggal Ika. Mengadu domba Ahok dengan NU dan mengadu domba SBY dengan Jokowi, bahkan Fraksi Demokrat di parlemen pun mulai kebakaran bulu hidung sampai mengajukan hak angket soal dugaan penyadapan terhadap pimpinan partainya sendiri.

Seorang negarawan perlu menyikapi persoalan secara etis (tidak gegabah), diam sesaat sembari melihat perkembangan situasi, bukan ujug-ujug langsung mengadakan konperensi pers dan merasa langsung sebagai korban dugaan penyadapan. Jokowi sendiri malah cengengesan ketika pada tahun 2014 (saat masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta) ditemukan alat penyadap di kamar tidur, ruang tamu pribadi, dan ruang makan rumah dinasnya.

Apa sikap Jokowi? Jokowi malah santai. Dia tidak melaporkan hal tersebut ke kepolisian, “Kalau pas ke kebon karet atau ke pinus. Nah di situ banyak sadap di sana. Sadap menyadap banyak. Kalau sadap saya apanya sih? Sadap itu, karet, sadap pinus banyak,” guyon Pakde Jokowi. Ia juga menjelaskan bahwa tidak ada hal rahasia yang dibicarakan bersama istrinya di rumah dinas tersebut, selain masalah ikan bakar, sate kambing, ikan gulai.

Sikap SBY sebenarnya sangat elok ketika menyikapi penyadapan yang benar-benar nyata (telah terbukti), bahkan dilakukan oleh intelijen luar negeri dalam hal ini oleh negeri tetangga, Australia. Ia bergerak dalam diam mengamati situasi terlebih dahulu dan mencari pembuktian kuat lalu memerintahkan Menkopolhukam Djoko Suyanto serta Menteri Luar Negeri di bawah pimpinan Marty Natalegawa meninjau ulang segala macam bentuk kerjasama, khususnya pertukaran informasi RI-Australia, dan memanggil pulang duta besar RI untuk Australia. Ke mana sikap bijak seperti itu dulu?

Biarlah tim pengacara Ahok yang membuktikan bukti percakapan nanti seiring berjalannya waktu…

Dylan Aprialdo
Dylan Aprialdo
Alumni Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya Pekerja Media di Salah Satu Media Nasional
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.