Jauh sebelum Buni Yani mengunggah sepotong video menggemparkan itu, disusul Aksi Bela Islam berjilid-jilid, sidang Ahok berbulan-bulan, hingga vonis penjara 2 tahun diketuk palu pada 9 Mei 2017, sahabat saya, Haikal Kurniawan, sudah menuliskan sebuah artikel yang luar biasa bagus tentang penistaan agama dengan judul Logika Absurd Penodaan Agama.
Selama berbulan-bulan belakangan, saya tidak membuat pernyataan apa pun seputar kasus penistaan ini. Saya biarkan para ulama dan akademisi kajian Islam untuk memperdebatkan apakah Ahok menista atau tidak.
Ratusan–mungkin ribuan–orang membawa argumen-argumen maha komperhensif untuk menyatakan Ahok tidak menista, termasuk di antaranya Zuhairi Misrawi, Mun’im Sirry, dan Nadirsyah Hosen. Dari perspektif hukum, kasus Ahok sudah diindikasikan sebagai peradilan sesat. Di sisi lain, massa dalam jumlah besar bolak-balik turun ke jalan untuk menyatakan Ahok telah menista dan patut dipenjara.
Kini, palu sudah diketuk. Ahok sudah dijatuhi hukuman. Maka, tidak ada lagi alasan bagi saya untuk diam dan menonton perdebatan yang sesungguhnya sia-sia. Kenapa sia-sia? Ya karena ini soal subjektivitas masing-masing orang yang tidak ada ukurannya.
Bukankah sia-sia bila kita memperdebatkan apakah Amal Alamuddin cantik atau tidak? Atau apakah warna biru lebih menawan dibandingkan warna merah? Kata-kata Haikal dalam judul tulisannya sudah jelas benar adanya, penistaan agama adalah sebuah konsep yang absurd–jika bukan bodoh.
Ketika Ahok mengatakan, “jangan mau dibohongi pakai Al-Maidah 51”, para pendukung pasal penistaan memaknainya secara harfiah dan tidak mempedulikan maksud dari perspektif Ahok dan konteksnya secara menyeluruh.
Maka, saya bisa mengutip ayat ini, “Dan apabila orang-orang (Yahudi atau munafik) datang kepadamu, mereka mengatakan: ‘Kami telah beriman’, padahal mereka datang kepadamu dengan kekafirannya dan mereka pergi (daripada kamu) dengan kekafirannya (pula); dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan” dan mengatakan bahwa kitab suci Anda sudah menista Yahudi.
Ada pula ayat lainnya lagi, “Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu.”
Lagi, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.”
Dan yang paling terkenal sejak Ahok maju Pilkada DKI tentu saja Al-Maidah 51, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
Mau lagi? Tepatnya, mau berapa puluh ayat lagi?
Kemudian, saya akan direspons begini, “ya itu kan kitab suci yang ditujukan untuk umat Islam bukan untuk menghina umat lain.” Giliran ke kitab suci, Anda jawab begitu, ke Ahok Anda tidak berpikir begitu. Anda tidak peduli dia bicara untuk apa, dalam konteks apa, dengan motif apa. Dia menista, titik.
Banyak juga yang merespons, “Ahok kan bukan Islam, janganlah bicara soal kitab suci umat Islam.” Berarti ulama-ulama yang hobi bikin kuliah umum dengan semangat memualafkan umat lain sehingga banyak membahas isi kitab agama lain, seperti Zakir Naik, juga menista. Respons berikutnya, “ya kalo merasa agama Anda dinista, laporkan saja.”
Masalahnya, mau habis uang, energi, dan waktu berapa banyak kalau kita harus melaporkan khutbah Jumat di setiap minggunya yang disiarkan di ratusan, ribuan, bahkan puluhan ribu masjid yang tersebar di berbagai tempat plus kuliah umum ulama-ulama seperti Naik?
Hanya karena minoritas tidak pernah demo berjilid-jilid atau aksi doa bersama berjuta umat di Bundaran HI bukan berarti penistaan itu tidak terjadi. Saya rasa terlalu naif kalau Anda menganggap ujaran Rizieq Shihab yang mempersoalkan bidan yang membantu kelahiran Yesus adalah sebuah penistaan yang pertama dan satu-satunya yang dilakukan oleh ulama dan/atau ustadz di Indonesia.
Dan sama naifnya kalau saya mengatakan pendeta dan pastor tidak ada yang pernah menista Islam. Bahkan saya masih ingat terdapat broadcast di berbagai grup WhatsApp dan BBM yang menyebut ormas Islam tertentu dengan sebutan “Musuh Allah” dan “Laskar Lucifer”.
Agama secara kodrati bersifat saling menegasikan yang sama saja artinya saling menista. Ini bukti pertama dan yang paling mendasar soal betapa absurdnya konsep penistaan agama. Bukti lainnya adalah soal agama sebagai ide.
Konsep penistaan agama ini, kalau diperlakukan secara adil kepada semua ide, akan menjadi sangat lucu. Orang dapat dipenjara karena “menista” Marxisme, Liberalisme, Feminisme, dan isme-isme lainnya. Ketika saya mengatakan, “jangan mau dibohongi pakai Communist Manifesto!” lantas saya dipenjara he he he he. Lucu, ya?
Melihat realita ini, kita dapat dengan mudah menyimpulkan bahwa perdebatan sekonstruktif apa pun tidak akan mungkin memutus perkara penistaan agama dengan objektif, karena ia secara kodratnya memang rusak dan tidak layak diberlakukan.
Korban dari regulasi berdasar konsep absurd ini juga tidak sedikit. Sejumlah nama, termasuk HB Jassin dan Arswendo Atmowiloto, dijatuhi hukuman masing-masing 1 tahun dan 5 tahun penjara atas dakwaan menista agama. Dosen saya yang tercinta, Ade Armando, juga pernah dilaporkan dengan pasal yang sama. Untungnya dia tidak sedang menjadi kandidat Gubernur DKI, jadi selamat dari mobocracy alias demokrasi berbasis tekanan massa.
Di sini saya tidak mau bahas konsep dan teori ilmiah yang berat-berat. Kenapa? Ya karena percuma! Argumen ilmiah dari puluhan saksi ahli yang menyatakan Ahok tidak menista saja tidak ada gunanya, apalagi dari seorang saya yang saksi bukan, ahli juga bukan.
Cukuplah logika sederhana mengenai kodrat agama yang menjadi dasar untuk saya mengajak Anda menyuarakan penghapusan pasal penistaan agama. Ini adalah pasal karet, pasal yang hanya akan berguna untuk kepentingan politik orang-orang haus kuasa dan panggung kepongahan organisasi preman untuk petantang-petenteng menginjak-injak dan meludahi hukum.
Bagi teman-teman maupun dosen-dosen saya, sesama akademisi, yang masih ngotot memperjuangkan pasal absurd ini, saya persilakan dengan lapang dada. Berbeda pendapat itu biasa. Saya masih orang yang sama yang akan selalu terbuka pada perbedaan.
Saya juga orang yang sama yang mempertanyakan putusan hukum atas kasus reklamasi dan penggusuran di Jakarta. Hanya saja, khusus isu ini, saya punya keberatan yang amat sangat secara pribadi, sehingga maafkan bias subjektivitas yang membuat saya bersuara lebih lantang.
Tulisan ini saya persembahkan untuk Islam sang penista Yahudi dan Kristen, Protestan sang penista Katolik, Sunni dan Syiah sang penista satu sama lain, Ahok sang penista Al-Maidah, Rizieq sang penista Yesus, dan penista-penista lainnya.
Bagi saya, gelar “sang penista” ini sudah pantas disetarakan dengan gelar pahlawan. Mereka, penista, adalah orang-orang yang menjadi martir demi kebenaran yang mereka percayai yang kini mungkin menjadi kebenaran yang Anda imani juga.
Jika berpendapat tentang apa yang benar adalah sebuah penistaan dan UU Penodaan Agama tidak pula dihapuskan, maka hal terakhir yang dapat saya ucapkan adalah…
Penjarakan saya. Bebaskan Ahok!