Senin, November 11, 2024

Penjara dan Spiritualitas Seorang Pemimpin

Ali Romdhoni
Ali Romdhoni
Pengajar FAI Universitas Wahid Hasyim, Semarang. Saat ini sedang studi doktoral di Heilongjiang University, China. Pengurus Cabang Istimewa NU Tiongkok.
- Advertisement -
Massa berunjuk rasa di luar ruang persidangan kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama di depan Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (3/1). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Setiap pemimpin mengalami masa-masa keterasingan, kesepian, bahkan kepedihan penjara. Setidaknya penjara kegelisahan dalam memikirkan rakyat. Maka, bukan seorang pemimpin kalau jiwa dan fikirannya bebas merayakan gegap gempita dunia raya.

Pemimpin pada setiap zamannya adalah pribadi yang gelisah, jiwa yang prihatin. Gelisah karena menanti datangnya masa kemakmuran dan keadilan. Ketidak-adilan yang nyata terlihat di masyarakat adalah penjara bagi seorang pemimpin. Dalam konteks ini, sumber energi yang menguatkan untuk terus memperjuangkan hak rakyat kecil adalah kondisi “terpenjara”. Baik penjara secara konotasi maupun dalam pengertian yang sebenarnya.

Bacalah sejarah para pemimpin besar di dunia, baik dalam latar sejarah sosial maupun spiritual. Seorang utusan Tuhan (nabi), pimpinan pergerakan melawan penjajahan hingga para filsuf, misalnya, adalah jiwa-jiwa yang terpenjara oleh kezaliman yang menimpa umat di sekitarnya. Penjara dalam pengertian inilah yang membuat mereka semua terpanggil untuk turun gunung, mendidik masyarakat.

Presiden Soekarno (1901-1970), misalnya, pada masa hidupnya pernah diasingkan belasan kali di beberapa tempat yang berbeda. Mulai dari Bandung (1929-1931), Flores (1934 -1938), Bengkulu (1938-1942), Padang (1942), hingga Bangka Belitung (1948-1949).

Pada masa penjajahan, tidak hanya Bung Karno yang merasakan ganasnya penjara-pengasingan. Mereka antara lain Pangeran Diponegoro (1785-1855), Cut Nyak Dhien (1848-1908), KH Hasyim Asy’ari (1875-1947), Mohammad Hatta (1902-1980) dan masih banyak lagi. Kesimpulannya, hampir semua para pemimpin rakyat Indonesia yang berani membela rakyat dan melawan penjajahan pernah dipenjarakan, atau setidaknya diburu para penjajah untuk dipenjarakan.

Di belahan dunia lain, pada tahun 1964 Nelson Mandela (1918-2013) dijatuhi hukuman penjara seumur hidup oleh pemerintah Afrika Selatan. Mandela dianggap membahayakan rezim yang berkuasa, karena gigih berjuang untuk kesetaraan hak asasi manusia dalam berpolitik di negeri itu.

Di India, ada Mahatma Gandhi (1869-1948). Gandhi muda pernah mengalami diskriminasi ras. Kondisi ini membuatnya memutuskan untuk menjadi seorang aktivis politik. Dia bertekad ingin mengubah hukum-hukum yang diskriminatif, memperjuangkan nilai kemanusiaan dan perdamaian.

Perjuangan nyata Gandhi kemudian menginspirasi warga India dan masyarakat dunia untuk berjuang terlepas dari penjajahan dengan cara-cara damai. Sayang, tokoh ini meninggal karena dibunuh oleh orang yang tidak sejalan dengan nilai-nilai yang diperjuangkannya.

Apa hubungan penjara dengan para pemimpin besar di dunia. Lalu bagaimana penjara tidak membuatnya berakhir, tapi justru semakin besar dan dicintai rakyatnya. Saya juga akan menghubungkan hal ini dengan kondisi di tengah masyarakat Indonesia saat ini.

Saya menandai, kebesaran seorang tokoh berawal dari visi dan keberpihakannya kepada rakyat kecil. Di sini, dalam jiwa seorang calon pemimpin bersemayam keprihatinan. Di sisi lain, penjara identik dengan hukuman dan siksaan. Di dalam penjara, seorang tahanan dipaksa prihatin untuk menyesali kesalahan.

- Advertisement -

Terlepas dari pihak siapa yang sejatinya benar dan salah, ada orang-orang yang berhasil menjadikan masa-masa dalam penjara sebagai proses paling penting, yang menentukan “hidupnya” di kemudian hari. Mandela, misalnya, setelah 27 tahun terkurung di bui, pada tahun 1994 terpilih sebagai Presiden Afrika Selatan. Dia dicintai oleh rakyatnya hingga meninggal.

Demikian pula Benazir Bhutto, perempuan pertama yang terpilih secara demokratis menjadi Perdana Menteri Pakistan. Pada tahun 1977 dia dijebloskan ke penjara sesaat setelah sang ayah, Perdana Menteri Zulfikar Ali Bhutto (1928-1979), dikudeta oleh lawan politiknya, Jenderal Ziaul Haq (1924-1988). Hidup dalam penjara membuat rakyat semakin simpatik kepada Bhutto. Pada 1993 ia terpilih sebagai Perdana Menteri Pakistan.

Belajar dari perjalanan tokoh-tokoh di atas, mereka adalah para pejuang kemanusiaan yang setia berada di tengah rakyat. Ketika lawan politik menumbangkan perjuangan mereka, bahkan ketika harus meringkuk di pengasingan, maka penjara adalah tempat untuk menghimpun kekuatan.

Dalam konteks perkembangan politik nasonal hari ini, jika memang selama ini kerja-kerja yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dalam memimpin Jakarta adalah tulus, semata-mata untuk membangun masyarakat, tidak untuk menipu rakyat, ke depan dia berpotensi menjadi tokoh besar. Mengapa bisa demikian?

Pertama, cepat atau lambat rakyat Jakarta dan publik luas akan bisa mengetahui pemimpin yang serius bekerja dalam membangun kesejahteraan masyarakat. Apalagi ketika dibandingkan nanti, misalnya, ternyata gubernur terpilih kinerjanya tidak lebih baik.

Kedua, selama di dalam penjara Ahok akan hadir dalam kesadaran masyarakat sebagai orang yang telah bekerja dengan keras untuk mewujudkan Jakarta yang lebih baik, namun jejak prestasinya disembunyikan oleh lawan politiknya. Kondisi ini akan melahirkan rasa simpatik warga kepaka Ahok.

Ketiga, penjara yang tiba-tiba menjadi ruangan kerja sehari-hari menggantikan kantor gubernuran akan mendidik seorang Ahok menjadi lebih waspada dan menunduk. Dia akan semakin sadar bahwa jabatan bisa datang dan pergi kapan saja.

Penjara juga bisa membuka mata-hati Ahok, ketika kerja kerasnya tidak dihargai bahkan hanya berbuah hinaan, maka dia akhirnya hanya akan menyerahkan semua kepada Tuhan. Di sinilah perjalanan spiritual seorang Ahok sebagai pemimpin dimulai. Satu kesimpulan berharga yang bisa dipetik, terkadang manusia menolak kebaikan kita dan hanya Tuhan yang bisa membalas semua itu.

Dalam kondisi demikian akan ada hukum Tuhan yang berbicara, bahwa orang yang diperlakukan secara tidak adil (zhalim) akan semakin dekat kepada kesuksesan sejati. Tentu diperlakukan tidak adil dalam perspektif Tuhan, bukan oleh subjek-subjek yang terlibat dalam persinggungan sosial.

Bila hal ini benar terjadi, maka kita hari ini menyaksikan orang-orang yang beramai-ramai ingin memenjarakan Ahok tidak ubahnya seperti bara api untuk menggodok kawah candradimuka, proses yang akan mengantarkan Ahok menjadi tokoh yang lebih besar lagi di masa yang akan datang.

Demikianlah waktu mewarnai proses terciptanya peradaban manusia. Seseorang yang hari ini dicampakkan, boleh jadi besok menjadi orang yang sangat disegani. Kalau sudah seperti itu, tidak akan ada tangan-tangan yang bisa menghadang. Maka, jangan terlalu berlebihan mempermalukan mereka yang hari ini sedang terpuruk.

Baca juga:

Ahok dan Para Presiden yang Pernah Dipenjara

Ali Romdhoni
Ali Romdhoni
Pengajar FAI Universitas Wahid Hasyim, Semarang. Saat ini sedang studi doktoral di Heilongjiang University, China. Pengurus Cabang Istimewa NU Tiongkok.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.