Rabu, April 17, 2024

Partai Baru dan Bahaya Laten Orde Baru

Wahyudi Akmaliah
Wahyudi Akmaliah
Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Setelah mengalami proses yang panjang dan melelahkan, akhirnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan 14 partai politik sebagai peserta Pemilu 2019 pada 17 Februari 2018. Selain dianggap memenuhi persyaratan administrasi, 14 partai tersebut telah lolos verifikasi faktual secara nasional.

Dari 14 partai tersebut, ada empat partai yang baru. Kemunculan partai-partai baru mendapatkan respons bermacam-macam, mulai dari adanhya sebuah harapan, pengkonfirmasian sebelumnya, sekaligus kekagetan. Disebut pengharapan, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), misalnya, di bawah kepemimpinan Grace Natalie, muncul menjadi partai politik yang menumbuhkan asa kepedulian anak-anak muda terhadap masa depan bangsa Indonesia dengan keterlibatannya melalui partai politik.

Keterlibatan anak-anak muda ini tidak hanya sebagai upaya untuk memutus mata rantai kebobrokan politik, melainkan juga menunjukkan keberpihakan atas nilai kebenaran dalam dunia politik. Hal ini tercermin dari sejumlah dukungannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berkali-kali mengalami pengembosan, dukungan tenaga kepada Ahok, penguatan penuntutan kasus Novel Baswedan, hingga gugatan UU MD3 dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

Gaung sebagai partai baru juga didengungkan oleh Perindo. Melalui oligarki kepemilikan media dalam bendera MNC, Hary Tanoe mendeklarasikan Partai Persatuan Indonesia (Perindo) pada 7 Februari 2014, dan menjadi ketuanya.

Sebelumnya, ia mengawali karir politiknya bergabung dengan Partai Nasdem sebagai Ketua Dewan Pakar pada 9 Oktober 2011. Namun, karena adanya perbedaan pendapat dengan Ketua Majelis Tinggi Partai Nasdem, Surya Paloh, ia kemudian memutuskan untuk mengundurkan diri pada 21 Januari 2013, yang saat itu ingin mengajukan diri maju sebagai Ketua Umum.

Ia kemudian bergabung dengan partai Hanura menjelang Pemilu 2014 dan mendeklarasikan diri bersama Wiranto sebagai pasangan capres dan cawapres. Karena tidak memungkinkan mendapatkan suara dalam pileg, pasangan itu membatalkan diri. Akibatnya, ia mengundurkan diri dari Hanura (www.kompas.com, 7 Februari 2015).

Upaya mempromosikan Perindo melalui kanal MNC, baik di televisi maupun radio sejak ia menjadi Ketua Partai baru tersebut, mengonfirmasi publik Indonesia saat partai ini menjadi salah satu peserta Pemilu 2019.

Di tengah sepak terjang dua partai baru tersebut, kemunculan dua partai lain (Partai Berkarya dan Garuda) tidak hanya mengagetkan, melainkan juga memicu keingintahuan masyarakat luas. Ini karena kedua partai ini tidak pernah terdengar jauh hari sebelumnya. Kalaupun terdengar melalui pencarian jejak digital, partai ini dikutip oleh media online mulai Agustus 2017, di mana informasi yang muncul adalah partai ini sedang melakukan verifikasi berkas di setiap daerah dan kemudian gagal.

Hal yang sama juga terjadi dengan Partai Garuda. Partai ini baru dikutip media pada pertengahan Desember 2017. Karena itu, saat dua partai ini ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2019, dua partai ini paling dicari dalam perambah Google terkait dengan keingintahuan masyarakat Indonesia ihwal kehadiran mereka yang tiba-tiba.

Lebih jauh, keterkaitan dua partai ini dengan rezim Orde Baru menguatkan kekagetan yang berubah menjadi kecurigaan. Di sini, Tommy Soeharto menjabat dua posisi penting di Partai Berkarya, yaitu sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai dan Ketua Dewan Pembina.

Berdirinya partai ini seolah tidak hanya ingin mengabadikan ingatan sebagai penggemar Presiden Suharto dan anak ideologisnya melalui sosok Tommy, melainkan juga ingin mengembalikan Indonesia seperti di bawah kepemimpinannya yang dianggap “aman, tenang, dan damai seperti slogan-slogan di truk, ‘piye kabare, penak zamanku tho”, sebagaimana dituturkan Sekjen Partai Berkarya Badaruddin Andi Picunang (www.kumparan.com, 19 Februari 2018).

Di depan publik Badaruddin sudah mengklarifikasi bahwa partainya tidak punya pertautan dengan Siti Hardijanti Rukmana (Tutut Soeharto). Ini terkait dengan kedekatannya saat Ahmad Ridho Sabana, Ketua Umum Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Partai Garuda), membantu menyelesaikan kasus yang dialami Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Dia pun mengklarifikasi ihwal kedekatannya dengan Ketua DPP Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Ahmad Riza Patria.

Patria adalah kader Partai Gerindra yang saat ini juga menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Dengan demikian, bau anyir keluarga Cendana menancap kuat dalam dua partai ini. Apalagi, melalui partai baru tersebut, ini menjadi semacam rencana untuk memecah belah suara dalam Pilpres 2019 nanti (www.viva.co.id, 19 Februari 2018).

PSI dan Perindo sudah sejak tahun 2014 mempopulerkan partai dan visi-misi serta platform politiknya kepada masyarakat Indonesia. Sosialisasi yang panjang ini diharapkan dapat berpotensi menarik keingintahuan dan ketertarikan masyarakat Indonesia untuk memilih dua partai ini.

Namun, di tengah singkat dan tiba-tiba kemunculan partai Berkarya dan Garuda, popularitas nama tampak tidak menjadi pertimbangan utama. Jika demikian, apa sebenarnya yang ingin “dijual” kepada masyarakat sehingga ingin memilih dua partai tersebut? Di sini, mesin politik akar rumput menjadi faktor penentu utama.

Sebagaimana diketahui, tingkat elektabilitas sebuah partai politik sering tidak bisa dijadikan ukuran dalam politik elektoral, khususnya pemilihan DPR RI dan DPRD. Faktor figur, jaringan, dan mesin politik di akar rumput yang didukung kemampuan kuat memobilisasi massa agar memilihnya adalah tiga faktor yang saling terkait.

Ketiga hal itulah yang tampak akan dijalankan oleh kedua partai ini di tengah menguatnya budaya politik uang yang sebelumnya sudah jauh tertanam dalam aktivitas keseharian masyarakat Indonesia dan juga kampanye politik dalam memenangkan salah satu calon, baik dalam pemilihan legislatif ataupun kepala daerah. Meski demikian, ambang batas parlemen 4 persen ini menjadi pembuktian atas hal tersebut.

Pada titik ini membangun kesadaran dan kampanye lebih kuat terhadap “bahaya laten Orde Baru” yang telah mengubah sendi demokrasi, mengebiri hak-hak sipil masyarakat Indonesia atas sejumlah pelanggaran HAM, dan menguatnya praktik-praktik tradisi dinasti kekeluargaan dengan nepotisme dan korupsi, menjadi penting. Apalagi spirit dan agensi rezim Orde Baru tidak muncul dengan wajah asli seperti sebelumnya. Meminjam ungkapan Budiawan (2018), rezim Orde Baru melalui anak-anaknya tidaklah bangkit seperti era Orde Baru dahulu. Ini karena kebangkitan yang tiba-tiba ini tentu akan mengalami pertentangan dari sejumlah masyarakat sipil.

Lebih dari itu, rezim Orde Baru, melalui anak-anaknya, sedang mengalami fase dalam bahasa Jawa disebut dengan nglungsungi, yaitu seperti ular yang sedang mengalami metamorfosis melalui pergantian kulit. Upaya melakukan nglungsungi ini memang tidak bisa seketika, tetapi membutuhkan waktu yang lama.

Jika dihitung dari kejatuhan rezim Orde Baru, setidaknya mereka membutuhkan waktu 20 tahun (1998-2018) untuk muncul kembali dengan kulit yang berbeda. Pergantian kulit dengan wajah yang sama inilah yang mengelabui publik Indonesia melalui jargon-jargon demokrasi yang saat ini sedang didengungkan.

Kolom terkait:

Membangun Partai Politik yang Adil dan Beradab

Menilik Eksperimen Politik Partai Solidaritas Indonesia

Grace dan Eksperimen Politik PSI

Tantangan Berat Grace Natalie

Dalih “Orang Gila”, Kekerasan, dan Politik Oligarki

Tommy Soeharto dan Islamisasi Oligarki

Wahyudi Akmaliah
Wahyudi Akmaliah
Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.