Jumat, April 26, 2024

Pancasila di Tengah Gelombang Radikalisme Agama

Suhadi Cholil
Suhadi Cholil
Dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga dan Ketua LAKPESDAM NU Yogyakarta. Meraih PhD di Radboud University Nijmegen, Belanda, dalam bidang Inter-Religious Studies. Associate researcher di School of Social Sciences, University of Western Australia dan penulis.
Sejumlah warga mengikuti Kirab Bhineka 2017 bertajuk Berkepribadian Dalam Kebudayaan di Gandekan, Solo Jawa Tengah, Minggu (21/5). ANTARA FOTO/Maulana Surya

Sejak awal Reformasi 1998 sampai kira-kira beberapa tahun lalu kita jarang mendengar antusiasme publik dalam memperbincangkan Pancasila. Kita baru membicarakan Pancasila dengan serius kembali di saat situasi kebangsaan kita mengkhawatirkan belakangan ini.

Mengapa kita tiba-tiba berteriak kembali dengan lantang tentang Pancasila? Apa benar Pancasila idle alias terlelap di saat kita tidak membicarakannya dalam wacana publik?

Tiga tahun lalu, tepatnya awal 2014, saya mempertahankan disertasi di Universitas Radboud Belanda dengan judul I Come from a Pancasila Family: A Discursive Study on Muslim-Christian Identity Transformation in Indonesian Post-Reformasi Era. Pada tahun yang sama disertasi tersebut diterbitkan Lit-Verlag di Jerman.

Beberapa temuan dalam riset disertasi tersebut kiranya relevan untuk membantu kita membicarakan ulang Pancasila di tengah gelombang radikalisme agama.

Radikalisme Agama

Pada hari pertama bulan suci Ramadhan lalu kita dihentakkan oleh ledakan bom bunuh diri di Kampung Melayu, Jakarta, yang kesekian kalinya telah memakan korban jiwa dan luka-luka di negeri ini. Dari perbatasan Filipina, Marawi, aksi kekerasan yang melibatkan jaringan militan ISIS membuat ancaman terorisme juga semakin mencolok.

Dengan perspektif apa pun kita membaca peristiwa itu, radikalisme atau terorisme telah sangat mengkhawatirkan. Kekhawatiran tidak hanya menyangkut aksi pemboman. Dalam skala yang lebih ringan intoleransi dan renggangnya kohesivitas sosial akibat ujaran kebencian yang semakin marak belakangan ini juga sangat memprihatinkan.

Dalam disertasi saya di atas, gejala intoleransi itu dengan halus sebenarnya sudah masuk ke relung hubungan sosial keagamaan kita sejak lama. Meskipun pada satu sisi relasi sosial di masyarakat masih kokoh, gejala fanatisme agama dan ekslusivisme yang berlebihan telah secara perlahan-lahan menggerogoti kohesivitas sosial di akar rumput. Dalam konteks masyarakat Muslim dan Kristen di Jawa, gejala itu ditandai antara lain oleh beberapa fenomena.

Pertama, Islam atau Kristen yang semula berorientasi lokal mulai bergeser arahnya ke orientasi yang lebih transnasional. Islam tidak lagi berorientasi Jawa, tapi berorientasi ke Arab atau Timur Tengah. Sedangkan Kristen juga tidak lagi njawani, tapi lebih berorientasi ke Korea atau Amerika.

Akibatnya, agama terasa bukan lagi sebagai entitas yang adem, dingin, sebagaimana karakter budaya lokal yang menjadi titik temu perbedaan. Relasi keagamaan, bukan hanya antar-agama, tapi juga intra-agama, terasa lebih panas dan menegangkan. Dalam situasi seperti itu identitas agama kemudian lebih menjadi pemisah, bukan penyambung, relasi sosial.

Kedua, derasnya arus purifikasi (pemurnian) agama-agama. Biasanya pemurnian tersebut dilakukan oleh gerakan-gerakan keagamaan baru. Secara teologis gerakan pembaharuan dan pemurnian sepatutnya dihargai. Tapi, masalahnya, pemurnian juga menciptakan sekat baru yang mengakibatkan renggangnya hubungan sosial yang kohesif antar-warga yang berbeda agama.

Pemurnian agama tidak saja membentuk in-group identity, tapi turut mempengaruhi tindakan terhadap kelompok di luarnya (out-group). Dalam praktik relasi sosial keagamaan keseharian, ide pemurnian ditandai oleh praktik larangan mengucapkan selamat atau saling mengunjungi pada saat hari raya agama lain, mengikuti undangan selametan dalam tradisi yang melampaui sekat-sekat agama, dan seterusnya.

Ketiga, radikalisme agama menjauhkan umat beragama pada tanah air. Bagi kelompok Islam radikal, menghormati simbol-simbol kenegaraan atau nasionalisme merupakan tindakan yang haram. Di sisi lain, bagi kelompok Kristen fundamentalis, berjuang memperbaiki Indonesia bukanlah menjadi tanggung jawab mereka dan karena itu kemudian cenderung menutup diri berinteraksi dengan yang lain.

Apabila situasi ini tidak disadari dan dipulihkan segera, bisa saja mungkin kita terlambat dan terkejut atas bangkrutnya rasa nasionalisme yang penting bagi upaya menjaga keutuhan bangsa. Sampai di sini, ancaman segregasi sosial di akar rumput sebenarnya juga sudah cukup serius terjadi.

Belajar dari Keluarga Pancasila

Setelah dalam waktu lama Pancasila dimanipulasi oleh tafsir rezim Orde Baru untuk menyokong kekuasaan politiknya, pemerintah maupun masyarakat pada lima belas tahun awal era Reformasi seperti kapok atau enggan berbicara Pancasila.

Baru kemudian setelah gerakan politik Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) semakin menguat belakangan ini, kita berteriak keras tentang pentingnya memperkuat Pancasila. Pancasila dianggap menjadi ideologi mujarab penangkal ideologi politik transnasional seperti yang dikumandankan HTI.

Meskipun jarang dibicarakan lagi di tingkat permukaan, Pancasila sebenarnya tidak idle alias tidur lelap. Disertasi saya menunjukkan bahwa meskipun di tingkat permukaan tidak banyak dibicarakan orang, Pancasila tetap dihidupi oleh warga di tingkat akar rumput.

Seorang warga menyebutkan, “Saya dari keluarga Pancasila, keluarga saya terdiri dari beragam agama dan hidup rukun.” Apa makna keluarga Pancasila di situ? Sementara Pancasila adalah dasar atau ideologi negara yang sebenarnya tidak ada sangkut-pautnya dengan kategori keluarga.

Pernyataan itu memiliki makna diskursif yang sangat mendalam. Pertama, narasi “keluarga Pancasila” merepresentasikan bekerjanya ideologi Pancasila dalam identitas keluarga. Secara sosiologis, keluarga adalah institusi sosial terkecil masyarakat. Pancasila, terutama keberadaan sila 1 “Ketuhanan Yang Maha Esa”, dipersepsi sebagai identitas kebangsaan yang mengapresiasi perbedaan agama. Karena itu, dia mengidentifikasi keluarganya yang terdiri dari beragam agama sebagai keluarga Pancasila.

Kedua, pernyataan di atas menunjukkan perbedaan tidak saja diterima, tapi mereka juga hidup rukun dalam perbedaan itu. Jadi, Pancasila ditafsirkan bukan saja urusan pengakuan terhadap perbedaan, namun juga sekaligus bagaimana hidup rukun dalam perbedaan tersebut.

Tentu tidak semua dari kita memiliki keluarga dengan latar belakang agama yang berbeda, tetapi pelajaran yang bisa kita petik dari ujaran tersebut adalah bagaimana kita sesama anak bangsa dapat menumbuhkan perasaan sebagai bagian dari keluarga besar Pancasila. Dalam istilah lain, bagaimana menjadikan Indonesia sebagai rumah bersama.

Penguatan Pancasila yang Kontekstual

Meskipun mungkin kita tidak suka dengan politisasi Pancasila di era Orde Baru, kuatnya doktrin Pancasila pada saat itu membuat efek retorik yang sangat mendalam di kalangan sebagian warga.

Di era Reformasi, retorika Pancasila tidak lagi didogmakan (top-down) oleh Negara, tetapi tumbuh dari bawah (button-up). Budaya populer memiliki peran besar dalam turut membangun retorika tentang Pancasila di era Reformasi. Misalnya bagaimana nasionalisme tidak lagi hanya dikumandangkan di lapangan-lapangan upacara bendera formal, tetapi juga dari sepak bola atau bioskop.

Ketika tim sepak bola PSSI berlaga, tidak kurang dari seratus ribu warga yang didominasi kaum muda menyanyikan lagu kebangsaan dan yel-yel “Garuda di Dadaku” dengan sangat antusias. Di bioskop, puluhan film bertemakan Pancasila, nasionalisme, dan kepahlawanan dibuat oleh anak bangsa, ambil contoh diantaranya Garuda di Dadaku, Trilogi Merdeka, Tanah Air Beta, dan seterusnya.

Selain budaya populer, gerakan keagamaan menyumbang semangat patriotisme dan Pancasila yang sangat berharga. Nahdlatul Ulama, yang kemudian juga diikuti Muhammadiyah, menggelar apel kebangsaan di banyak tempat pada saat bangsa dan Pancasila mengalami ancaman bertubi-tubi.

Tetapi pertanyaannya adalah apakah itu semua sudah cukup mamadai?

Kiranya tidak berlebihan kalau tantangan kebangsaan yang kita hadapi belakangan ini menuntut kita segera menemukan rumusan penguatan Pancasila yang kontekstual bagi tantangan kekinian kita, sebelum terlambat.

Baca juga: 

Dalam NKRI Tak Ada Orang Kafir!

Merawat Kemajemukan, Menjaga NKRI

Suhadi Cholil
Suhadi Cholil
Dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga dan Ketua LAKPESDAM NU Yogyakarta. Meraih PhD di Radboud University Nijmegen, Belanda, dalam bidang Inter-Religious Studies. Associate researcher di School of Social Sciences, University of Western Australia dan penulis.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.