Sabtu, April 20, 2024

Palu Arit Pamekasan: Mengenang Mimpi Buruk 65 di Madura

Aan Anshori
Aan Anshori
Kordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD), aktifis GUSDURian.
PKI-ok
Salah satu gambar palu arit yang beredar di Pamekasan [sumber: http://surabayanews.co.id]

Jauh dari hiruk pikuk Pilkada Jakarta, ada kejadian sepele di Madura. Tiga gambar palu arit yang kerap ditautkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) tiba-tiba muncul serempak di Kabupaten Pamekasan, Kamis (9/2). Warga menemukan logo PKI di tiga titik berbeda: di toilet Masjid al-Ikhlas, Desa Bilaan, di penyangga jembatan penghubung Desa Lenteng dan Bilaan, serta muncul di papan reklame jalan raya Desa Bilaan.

Entah siapa pelakunya. Polisi sendiri tengah menyelidiki kejadian ini, setelah sebelumnya secara berjamaah membersihkan tanda paling ditakuti sejak Orde Baru bertiwikrama. Jika mau menggunakan ilmu othak-athik mathuk, mudah bagi seseorang  mengaitkannya dengan gejolak pendataan kiai waktu lalu. Sebab, tidak hanya kiai Jombang dan Gresik saja yang resah, ulama Madura juga mengalami hal yang sama.

Sekadar mengingatkan, dua tahun lalu, tepatnya Agustus 2015, Pamekasan juga pernah menghebohkan dunia media sosial. Saat itu ada beberapa siswa yang menenteng poster logo palu arit plus foto Aidit saat karnaval 17 Agustusan. Alih-alih ingin mengingatkan publik tentang “bahaya laten” PKI, mereka justru dianggap tengah mengkampanyekan keberadaannya.

Kejadian tersebut membuat Achmad Syafi’i, Bupati Pamekasan, meradang. Saking malunya, ia bahkan dikabarkan menulis surat permintaan maaf ke Presiden Jokowi, ditembuskan ke Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian RI, Jaksa Agung, Panglima Daerah Militer V/Brawijaya, Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur, dan Gubernur Jawa Timur.

“Hari ini surat selesai dibuat, besok akan dikirim melalui kurir ke Presiden. Kami ingin memastikan bahwa masalah ini tidak mengganggu stabilitas keamanan di Pamekasan,” kata Syafi’i, Minggu, 16 Agustus 2015, seperti dikutip Tempo.co.

Permintaan maaf ke Jokowi barangkali terkesan berlebihan mengingat jarang sekali terdengar kepala daerah melakukan hal yang sama ketika ditemukan atribut berbau PKI.

Kekhawatiran Syafi’i ini sangat mungkin disebabkan warisan sejarah relasi PKI dan Madura.
Perlu diketahui, mencari jejak PKI di Madura bukanlah hal mudah. Sangat sedikit tulisan yang mengulas hal itu. Kebanyakan peneliti 65 lebih fokus ke Pulau Jawa, terutama Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Bali. Di wilayah-wilayah tersebut, penggambaran brutalitas penghabisan PKI cukup mudah dicari.

Entah kenapa Madura terkesan tidak dianggap menarik dalam penelitian 65. Mungkinkah karena tidak massifnya pembantaian? Kuatnya ketabuan isu 65 yang menyebabkan tingginya resistensi warga?

Kita tentu tahu secara ekonomis, empat kabupaten di sana bukanlah termasuk wilayah kaya. Bahkan bisa dikatakan miskin. Hingga saat ini saja, mereka terus berkutat di papan bawah daerah termiskin se-Jawa Timur. Kita bisa bayangkan kondisinya saat Orde Lama.

Saya merasa penting mencolek kemiskinan karena dalam konteks pengorganisasi rakyat, kemiskinan merupakan salah satu elemen kunci kesuksesan, termasuk yang diimani PKI kala itu.

Hipotesisnya, kemiskinan merupakan lahan empuk suburnya komunisme.

Mimpi Buruk 55
Sungguhpun didera kemiskinan, Madura bisa dikatakan mimpi buruk PKI dalam Pemilu 1955. Mengamini Herbert Feith (1957), PKI hanya meraup sekitar 3.000 suara di Karesidenan Madura, terdiri dari Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Sedangkan tiga parpol besar lain (PNI, Masyumi, dan NU) menangguk suara jauh melampaui, masing-masing 88.000, 134.000, dan 591.000.

Di Jawa Timur secara keseluruhan, PKI menduduki posisi kedua dengan total perolehan suara 2.299.602, melampaui PNI dan Masyumi yang mengumpulkan 2.251.069 dan 1.109.742. NU sendiri maju sebagai pemenang karena meraup 3.370.554 suara. Perlu dicatat, Karesidenan Madura adalah penyumbang suara terbesar kedua bagi NU setelah Karesidenan Besuki.

Secara umum, dari 20 karesidenan/dapil yang ada di Pulau Jawa, saat Pemilu 1955, Madura merupakan karesidenan yang paling sedikit menyumbang suara bagi PKI. Sedangkan Surakarta adalah lumbung suara terbesar dengan 736 ribu suara. Disusul kemudian Semarang (474 ribu), Kediri (457 ribu) dan Madiun ( 447 ribu).

Dalam perspektif dikotomis Islam santri dan abangan, lungkrahnya suara PKI di Madura dan mendongaknya kejayaan mereka di 4 karesidenan abangan di atas menunjukkan tebalnya genre santri di Madura kala itu. Dari aspek ini, Madura mengalahkan Banten yang juga dikenal sebagai basis Islam. Di Karesidenan Banten, PKI bisa meraup 88 ribuan suara–atau hampir 3.000% dibanding Madura.

Laporan Anonymous
Lantas ke mana gerangan larinya 3.000-an pemilih PKI di Madura saat huru-hara 65 dan setelahnya? Entahlah. Satu-satunya data yang bisa saya akses adalah sebuah laporan berjudul “Report from East Java” (RfJ) yang diterbitkan  jurnal Indonesia milik  Southeast Asian Program Cornell University, edisi No. 41, April 1986.

Sayangnya, RfJ berstatus anonymous, alias tanpa nama penulis. Namun demikian, jika dilihat dari struktur dan bahasa yang digunakan, kemungkinan besar RfJ merupakan laporan perwira militer ke atasannya.

Selain RfJ, laporan anonymous lainnya pernah dimuat Bulletin TAPOL 15/April 1976. Isinya, semacam liputan kesaksian pembantaian tertuduh PKI di Jawa Timur. Robert Cribb menerbitkan ulang liputan tersebut dalam versi lebih utuh–setelah mendapat salinan dokumen dari Carmel Budiardjo–dalam buku yang dieditnya, The Indonesian Killings of 1965-1966: Studies from Java and Bali.

RfJ dibuat pada 29 November 1965, bulan di mana Jenderal Basuki Rachmad terakhir kali menjabat sebagai Pangdam Jawa Timur, sejak 1962.

Penulis RfJ menggambarkan secara singkat pemberangusan PKI oleh militer dan organisasi sipil selama Oktober-November 1965. Aksi-aksi tersebut berlangsung di beberapa kabupaten/kota di Jawa Timur,  misalnya, Banyuwangi, Jember, Bondowoso, Surabaya, Mojokerto, Kediri, Tulungagung, Blitar, Malang, Madiun, termasuk Karesidenan Madura.

RfJ yang berbahasa gado-gado tersebut (Indonesia, Inggris, dan Belanda) ini menyebutkan, penghancuran PKI di Madura berjalan mengerikan (gruesome) dibanding wilayah lain. Elite militer level kabupaten (Kodim) awalnya enggan terlibat membantai sehingga warga mengambil inisiatif sendiri.

Setelah  pimpinan militer di 4 kabupaten diganti, sinergitas bersama warga dikabarkan berjalan lebih massif. Massa bergerak membakari gudang-gudang tembakau milik warga Tionghoa karena dianggap yang membiayai PKI selama ini.

Toko-toko mereka juga tidak lepas dari pengrusakan. Beberapa pemimpin PKI ditangkap dan ditahan, termasuk dua pentolan PKI Jawa Timur, Dja dan Da, yang sempat melarikan diri keluar Madura.

Di Sampang, lanjut laporan itu, komandan polisi bernama S terbunuh saat pecah aksi massa. S yang merupakan pindahan dari Magetan dianggap sekutu PKI. Ia bahkan dituduh membela PKI dalam Peristiwa Madiun 1948. Pembunuhan terhadap S berlangsung sekitar pukul 16 dan mayatnya dibiarkan teronggok di alun-alun kota hingga jam 18.

Sangat mungkin mendidihnya kebencian massa terhadap S dikarenakan S pernah menangkap seorang kiai berpengaruh di Sampang, jauh hari sebelum 30 September 1965.

RfJ juga menjelaskan kemarahan warga pada gilirannya berubah menjadi sentimen anti-Jawa. Dalam pandangan mereka, orang Jawa-lah yang membawa komunisme masuk Madura. Sentimen ini pada akhirnya bisa diredam aparat militer dengan meminta bantuan elit NU dan Anshor yang memang punya pengaruh kuat di Madura.

Aparat tidak menemukan kesulitan meredam karena beberapa elite NU Pamekasan merupakan mantan inspektur mobile brigade, satuan elite kepolisian.

Pembawa Palu Arit
Penjelasan di atas sesungguhnya dapat dipahami. Meskipun Madura tergolong daerah miskin, secara historis PKI sulit berkembang di sana. Sangat mungkin kultur Islam santri yang menghalangi penyebaran komunisme.

Dengan demikian, hipotesis saya, hanya dua jenis orang yang menggunakan isu palu arit untuk memprovokasi Pamekasan beberapa hari lalu. Pertama, orang yang baru pertama kali belajar marxisme, leninisme, dan komunisme sehingga bertindak alay dan kekanak-kanakan. Tipe ini layaknya seperti orang yang baru pertama kali kenal media sosial; apa pun akan dijadikan status–bahkan saat ke kamar mandi sekalipun. Ia bertindak tanpa mempertimbangkan konsekuensi secara dewasa. Alih-alih, sosok seperti ini hanya akan menjadi kaki-tangan politikus yang tidak bisa move on dari pelanggengan pembodohan isu 65.

Tipe kedua adalah orang yang sangat lihai dan licik, yang mengenal betul watak serta historisitas PKI di Pulau Garam. Ia punya motif politik tertentu dan memainkan isu PKI dengan memanfaatkan sentimen negatif pendataan kiai dua minggu lalu [Hantu PKI di Pendataan Kiai]

Dari dua tipe ini, kira-kira, siapa sebenarnya penggambar palu-arit di Pamekasan tempo hari? Seperti biasa, saya ragu aparat akan menemukannnya.

Aan Anshori
Aan Anshori
Kordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD), aktifis GUSDURian.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.