Akhir-akhir ini berkembang wacana pembubaran organisasi masyarakat yang dianggap radikal dan bertentangan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pancasila, UUD 1945, dan atau Bhinneka Tunggal Ika. Dan salah satu ormas yang santer diwacanakan untuk dibubarkan adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), sebuah ormas Islam transnasional (lintas bangsa dan negara) yang ingin menjadikan Indonesia sebagai bagian dari kekhilafahan dunia.
Dan hari ini, Senin (8/5) pemerintah memutuskan mengambil langkah untuk membubarkan dan melarang kegiatan yang dilakukan HTI. Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengatakan, kegiatan HTI terindikasi kuat bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, sebagaimana diatur dalam UU Ormas.
HTI adalah ormas yang berafiliasi dan berinduk kepada Hizbut Tahrir, organisasi politik keislaman internasional yang bermarkas di Yordania atau Inggris (negara berpenduduk mayoritas non-Muslim) dan hendak mendirikan khilafah di dunia. Hizbut Tahrir didirikan di Palestina tahun 1953, antara lain, oleh Taqiyudin an-Nabhani (Khilafah Islamiyah dan Sejumlah Ketidakmungkinan). Alih-alih Syi’ah, Hizbut Tahrir tampaknya lebih dekat dengan nuansa dan tradisi politik kaum Sunni.
Hizbut Tahrir mengacu kepada dan menggunakan legitimasi historis sistem khilafah Khulafaur Rasyidin (empat khalifah) pasca Nabi Muhammad SAW, kekhalifahan Bani Umayah, kekhalifahan Bani Abbasiyah, dan kekhalifahan Bani Utsmaniyah. Sistem kekhalifahan bersifat internasional dan runtuhnya khilafah Turki Utsmani (Ottoman Empire) pada tahun 1924 menandai hancurnya sistem khilafah.
Setelah membubarkan khilafah, para elite politik Turki mendirikan negara Turki yang bersifat kebangsaan, sesuai arus besar sejarah nasionalisme abad ke-20. Dalam konteks ini pejuang kemerdekaan di Nusantara pun menganut nasionalisme, sehingga dibentuklah negara kebangsaan (nation state) Indonesia, yang memiliki preseden sejarahnya dari Sumpah Pemuda tahun 1928.
Ketika khilafah Turki Utsmani sebagai eksistensi dan simbol kekuasaan umat Islam melemah, negara-negara Eropa yang mayoritas penduduknya Kristen justru digdaya menjajah negeri-negeri mayoritas umat Islam. Hal ini membuat umat Islam meradang akibat merasa dizalimi dan dipecundangi. Oleh karena itu, Islam turut menafasi perlawanan atas imperialisme dan kolonialisme, baik dalam gerakan yang bersifat kedaerahan maupun setelah muncul konsepsi kebangsaan.
Ketika penduduk terjajah di benua Asia dan Afrika dapat memerdekakan diri, gairah keislaman dalam diri sejumlah aktivis Muslim tampak ikut menentukan pembentukan negara. Dalam kasus sejarah India, sejumlah aktivis Islam memilih memisahkan diri dan mendirikan Pakistan. Dalam kasus sejarah Indonesia, para aktivis DI/TII pernah eksis lalu diberangus, sedangkan para aktivis Muslim lainnya memilih memasukkan nilai-nilai dan pranata keislaman ke dalam negara Indonesia.
Namun, setelah kemerdekaan, negeri-negeri Muslim bukan hanya banyak yang terbelakang dan berkembang, tetapi juga pengaruh Islam di dunia internasional tampak lemah. HTI bukan saja mengungkapkan kritiknya atas berbagai masalah–sebagaimana dilakukan berbagai gerakan oposan lainnya di negeri ini–tetapi juga dengan bergaya pedagang obat panacea (obat berbagai penyakit), menyerukan pembentukan khilafah sebagai solusi. HTI getol mewacanakan bahwa masalah apa pun akan beres jika khilafah ditegakkan.
Muncul kesan kuat bahwa, bagi HTI, banjir terjadi akibat tidak tegaknya khilafah dan oleh karena itu dapat ditangani dengan menegakkan khilafah. Padahal, banjir diakibatkan drainase (kanal air) yang buruk dan solusinya bukan dengan khilafah, akan tetapi dengan memperbaiki drainase. Jika banjir turut disebabkan oleh bertambahnya air akibat pemanasan global, maka solusinya bukan menegakan khilafah, melainkan dengan mengurangi penyebab terjadinya pemanasan global.
Muncul tiga dugaan atas model kampanye HTI. Pertama, kurangnya ruang untuk menjelaskan konsepsi khilafah secara lengkap. Kedua, siasat untuk menarik minat khalayak sehingga mengkaji konsepsi khilafah lebih mendalam. Ketiga, metode pemasaran yang panik, yaitu wacana khilafah sebagai solusi bagi seluruh permasalahan hanyalah angin surga dan bohong belaka.
Dugaan lainnya menyatakan bahwa meski HTI mengakui Islam sebagai ideologinya (mabda) sesuai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dan tidak pernah melakukan kekerasan fisik, tampaknya tujuan menegakkan khilafah itu bertentangan dengan dua hal. Kesatu, NKRI. Kedua, UUD 1945. Tentu saja berbagai dugaan tersebut harus dibuktikan melalui penelitian yang jernih, rinci, dan presisi dalam proses lebih lanjut.
Setelah HTI diteliti secara jernih, rinci, dan presisi, maka wacana polemis pembubaran ormas semacam HTI harus segera diakhiri melalui mekanisme hukum di pengadilan yang adil dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Jika terbukti tidak bersalah, HTI harus dibiarkan berkembang dan nama baiknya kembali dipulihkan. Sebaliknya, jika terbukti bersalah, HTI harus diberi tiga kali peringatan terlebih dahulu sebelum benar-benar dibubarkan oleh pemerintah dan dinyatakan sebagai ormas terlarang.
Andaikata HTI dibubarkan karena terbukti bersalah di pengadilan, hal itu jangan dianggap Indonesia menentang Islam. Akan tetapi harus dipandang sebagai kurang cocoknya atau belum diterimanya tafsir politik HTI di Indonesia. Sebab, tanpa khilafah dan HTI, ajaran Islam dan tujuan umat Islam masih bisa diwujudkan melalui perjuangan yang konstitusional. Dalam konteks ini HTI bisa mempelajari gerakan Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Al-Irsyad, Al-Wasliyah, bahkan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan terutama gerakan politik Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Akhirnya, alih-alih memperpanjang kecurigaan Islam politik dengan negara dan berposisi sebagai “tamu”, apalagi menjadi “penumpang gelap” di negeri ini, sebaiknya gerakan Islam Indonesia justru memposisikan diri sebagai pribumi dan berusaha merealisasikan tujuan pembentukan negara Indonesia yang jelas-jelas islami tanpa harus bersitegang dengan NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Baca juga: